Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 9 Bertanggung Jawab

Adik Ipar Malang

Bab 9 (Bertanggung Jawab)

POV Lilis

Meski wajahnya tetap datar, tapi dari matanya memancarkan penyesalan. Aku menangis dengan perasaan antara lega dan bersalah. Lega, karena dia telah mengakui perbuatannya dan merasa bersalah, kepada Kak Laras.

Ibu dan Tante Maya mendadak lemas. Ibu dipapah oleh Kak Devan, sedang Tante Maya dibantu oleh Om Rifan untuk kembali duduk.

Kak Laras berteriak dengan histeris dan kalap, tak terima dengan pernyataan suaminya. "Tega kamu, Evan. Kamu tega hianati aku!" Wajahnya yang cantik dengan polesan make up, kini bercampur dengan air mata. "Kamu pasti dijebak oleh Lilis, kan, Evan? Cepat bilang saja!" Sungguh bucinnya Kak Laras, sudah jelas suaminya salah, masih menyalahkan orang lain.

"Apa benar sepeti itu, kalau kamu dirayu atau dijebak oleh Lilis?" tanya Ayah memastikan.

"Aku melakukan itu karena kekhilafanku sendiri. Lilis sama sekali tak menggoda atau merayuku. Aku ... memang menginginkan tubuh Lilis saat itu."

Tubuhku bergetar mendengar pengakuannya. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri, dia menginginkan tubuh ini.

Bugg!

Kak Devan memukul Kak Evan tepat di rahangnya. Hingga Ayah menahan tubuh Kak Devan yang akan maju dan memukul wajah Kak Evan lagi.

"Hentikan Devan! Kau tak perlu mengotori tanganmu untuk memberikan pelajaran padanya. Di keluarga mereka, mempunyai aturan tersendiri untuk menghukum anggota keluarga yang bersalah," kata Ayah.

Muka Kak Devan nampak seakan-akan sangat marah mendengar perkataan Kak Evan.

Kak Laras menghampiri suaminya sambil memeriksa keadaan wajah Kak Evan. Bukan hanya tanda merah cap telapak tangan saja, melainkan bengkak biru di rahang yang kini menghiasi wajah tampan Kak Evan.

"Ini semua gara-gara kamu Lilis. Kalau kamu nggak merayu Evan, pasti semuanya nggak akan seperti ini." Kak Laras masih menangis sambil menunjuk-nunjuk mukaku. Tampak sekali wajah yang dulu menyayangiku, kini menjadi sangat benci.

"Sudah, hentikan! Kembali kalian ke tempat duduk masing-masing. Masalah ini belum selesai. Masih ada yang harus dibahas sampai tuntas." Perkataan Ayah menghentikan Kak Laras yang hendak berjalan ke arahku. Semua kembali duduk di sofa, termasuk Kak Evan yang sebelumnya berlutut.

"Bagaimanapun sekarang di dalam perut Lilis sudah tumbuh janin, berusia satu bulan lebih. Kita tidak bisa membiarkan janin itu tumbuh tanpa ada yang bertanggung jawab." Ayah kembali membicarakan hal pokok dari pertemuan ini.

"Cucu pertamaku ..." lirih Tante Maya. Ada binar di matanya saat menyebut cucu. Beda dengan Kak Laras yang tersenyum kecut sambil memandangi mertuanya.

"Jadi begini, Pak Rifan dan Bu Maya. Bagaimanapun, Evan tetap harus bertanggung jawab dengan janin yang ada di perut Lilis. Saya harap Anda berdua dapat memahami situasi ini. Saya sebagai orang tua dari Laras dan Lilis berharap Evan dapat bertanggung jawab dengan keduanya. Dari pada saya harus memperkarakan ini ke polisi, sama saja saya akan malu, karena Lilis hamil tanpa suami dan nama baik perusahaan kalian juga pasti tercoreng. Malah kita sama-sama akan rugi." Ayah menjelaskan panjang lebar kenapa tidak melaporkan Kak Evan ke polisi. Perhitungan Ayah sangat matang. Menimbang dulu baik dan buruknya sebelum melakukan sesuatu.

Tante Maya wajahnya agak cerah mendengar pernyataan Ayah. Aku menebak dia pasti sangat senang mendengar aku akan menjadi menantunya juga. Dari dulu dia selalu berandai-andai memiliki anak laki-laki lagi yang seumuran denganku, kemudian kami akan dijodohkan.

Saat Tante Maya akan membuka mulutnya, Kak Laras sudah berbicara lebih dulu.

"Jadi, Ayah akan menyuruh Evan menikahi Lilis, kemudian membuatku menjadi janda? Begitu?" tanya Kak Laras dengan mendengus.

Ayah menghela nafas kasar. "Bukan begitu juga, Laras. Kamu juga putri Ayah. Bagaimanapun, anak dalam perut Lilis juga anak dari suami kamu. Evan harus bertanggung jawab."

"Tapi aku nggak mau dimadu. Aku cuma ingin jadi satu-satunya istri Evan. Evan pun hanya milikku!" teriak Kak Laras dengan lantang.

"Kamu jangan egois Laras. Lalu Lilis, siapa yang akan bertanggung jawab? Perutnya juga akan membesar," sanggah Tante Maya.

"Kenapa nggak dig*g*rkan saja kandungannya? Dengan begitu Lilis akan bisa sekolah lagi, dan keluarga kita nggak akan menanggung malu karena aib yang dibuat oleh Lilis."

Aku langsung memegangi perut, untuk melindunginya. Benar-benar tercengang dengan ucapan kakak kandungku itu.

Plakk!

Kini gantian Kak Laras yang mendapatkan tamparan dari mertua perempuannya. Wajahnya menampakkan terkejut, tangannya memegang pipi bekas tamparan Tante Maya. Aku menutup mulut tak percaya, orang yang terkenal ramah bisa menampar menantunya.

"Keterlaluan kamu, Laras! Bagaimanapun itu juga anak dari suamimu, anak Evan." Tante Maya berdiri sambil berkacak pinggang.

"Mama menamparku? Aku ini menantumu, bukan Lilis. Mama lebih membela Lilis dari pada aku, menantumu sendiri?" tanya Kak Laras dengan mata berkaca-kaca.

"Terlepas dari aku membela Lilis atau nggak, kamu tidak bisa seenaknya mempermainkan nyawa. Janin itu tidak berdosa. Lagi pula itu akan menjadi cucu pertama keluarga kita. Tak kan kubiarkan seseorang menyakiti cucu pertamaku." balas Tante Maya.

"Itu memang akan menjadi cucu pertama, Mama, dan juga anak dari suamiku. Tetapi itu bukan dari rahimku, Ma. Haruskah aku menerima dengan lapang? Sedang dokter sendiri bilang kalau aku ini tidak mandul." Kak Laras berkata sambil terisak. Tante Maya tak menjawab lagi, mungkin iba dengan kondisinya.

"Laras, Sayang. Kamu tenang dulu, ya. Kita akan pikirkan jalan keluarnya. Kamu dan Lilis sama berharganya bagi kami." Ibu berusaha menenangkan Kak Laras, walau Ibu pun tak sanggup membendung air matanya.

Semua kembali ke tempat duduk masing-masing, mengatur nafas agar bisa lebih tenang. Bagaimanapun harus bisa menemukan jalan keluarnya.

Jujur, kalau disuruh menikah dengan Kak Evan, aku memilih menolaknya. Selain karena dia itu suami Kak Laras dan tak ingin menyakiti hatinya, aku punya trauma tersendiri dengan Kak Evan. Rasanya tak tahan kalau harus berdekatan. Lalu, bagaimana bisa kalau harus jadi suami istri?

Suasana hening merajai, mungkin bergelut dengan pikiran masing-masing. Aku pun juga begitu. Hingga sebuah suara membuat jantungku hampir berhenti berdetak.

"Aku akan menikahi Lilis, dan akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya." Kak Evan mengucapkan dengan tegas.

"Tidak! Aku tak kan pernah merestui pernikahan ini. Aku masih istri kamu, Evan. Aku istri sah di mata agama dan negara. Asal kamu tahu, bahwa menikahi kakak beradik yang masih sedarah, itu dilarang oleh agama. Seorang ipar boleh menikahi adik dari istrinya kalau dia sudah menceraikan istri pertamanya, dan aku nggak akan pernah mau bercerai." Nafas Kak Laras memburu seakan sudah meluapkan segala unek-uneknya.

"Aku akan tetap menikahi Lilis, meski di bawah tangan, dan aku tak kan menceraikanmu. Bagaimanapun, anak yang dikandung Lilis itu anakku, darah dagingku sendiri. Itu juga akan menjadi anak kamu, Laras." Kak Evan mencoba memberi pengertian pada Kak Laras.

"Tapi, aku nggak mau dimadu. Cukup saja dulu saat kita masih berstatus pacaran, aku berbagi dengan wanita-wanita yang kecentilan menggodamu." Kak Laras berkata dengan melipat tangan di dada.

Pipi Kak Evan agak merah, sepertinya malu, karena ketahuan jadi casanova dulunya. Kemudian muka Kak Laras nampak seakan sedang berpikir.

"Baik, begini saja. Evan boleh menikahi Lilis, tapi hanya menikah siri. Setelah anak itu lahir, kalian berdua harus bercerai. Tentang anak itu, berikan pada kami. Biarkan aku dan Evan yang akan merawat anak itu. Lilis juga nggak boleh mengakui anak itu sebagai anaknya. Biar rahasia ini hanya kita yang mengetahui." Kak Laras kembali bersuara dengan entengnya. Dia pikir aku ini apa?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel