bab 6 Jamuan Makan Malam
Adik Ipar Malang
Bab 6 Jamuan Makan Malam
POV Lilis
"Lilis!"
Deg!
Suara bariton rendah ini ... kenapa dia ada di sini? Badan ini membeku, tapi kaki gemetar. Ingin rasanya lari, namun seakan ada paku di kaki yang menancap ke bumi. Aku tak tau kalau bisa se-trauma ini dengan dia.
"Berhenti di sana!" teriakku sambil mengangkat tangan.
Dia langsung berhenti dengan mata terbelalak. Sekarang kami berjarak tiga meter. Aku menatap sekeliling dan ternyata ada beberapa siswa yang sedang menatap kami, kemudian berlalu pergi. Langsung saja aku mengubah ekspresi di wajah ini, agar tak ada yang kepo.
"Lis, aku ..." katanya dengan lirih.
Aku masih memerhatikan apa yang akan dia lakukan, meskipun masih merasa takut. Kemudian dia membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna kuning polos dan menyodorkannya padaku.
"Ini ... terimalah." Aku masih diam saja.
Saat dia hendak melangkah, aku langsung mengangkat tangan lagi, agar dia berhenti melangkah. "Tetap di sana!" desisku.
"Lis, ini bekal dari Ibu, tadi lupa mau dikasihkan ke kamu. Ibu nggak mau kamu telat atau makan sembarangan."
Aku maju satu langkah, kemudian menyambar kotak bekal itu dengan cepat, lalu mundur lagi.
"Terima kasih," jawabku singkat. Kemudian membelakanginya, hendak pergi.
"Lis, bisa kita bi-"
Aku langsung berbalik badan dan memotong pembicaraannya. "Nggak perlu, Kakak Ipar. Nggak ada yang perlu dibicarain. Aku harap Kakak Ipar cukup mengerti batasan antara kita. Sebentar lagi bel masuk, aku harus ke kelas. Permisi." Aku pergi meninggalkannya dan tak menengok lagi ke belakang.
Kak Evan. Ya, yang tadi itu Kak Evan. Orang yang sudah dianggap seperti kakak kandung sendiri, tapi dengan teganya menghancurkan diriku. Tak tahu apa kesalahanku sampai tega melakukan hal bej*t seperti itu. Semoga pertemuan tadi tidak membuat mood belajarku rusak.
*****
Hari Minggu pun tiba. Aku dan Kak Laras membantu Ibu memasak makanan untuk jamuan nanti malam. Kalau Ayah, sedang merawat koleksi pohon bonsainya. Kak Devan? Entahlah. Dari tadi dia hanya duduk di pojok dapur, melihat kami bertiga sibuk wara-wiri. Sedang Kak Evan, dia bilang akan menjemput orang tuanya. Syukurlah, jadi aku tak perlu bertemu dengannya.
Hampir Magrib, semua makanan sudah siap. Semua anggota keluarga membersihkan diri untuk persiapan shalat berjamaah. Selesai berjamaah, kita semua duduk di ruang tamu mengunggu kedatangan keluarga Kak Evan.
Tak berselang lama terdengar suara pintu gerbang terbuka, disusul suara mobil memasuki halaman rumah. Sepertinya itu Kak Evan dan orang tuanya. Kami langsung menuju teras untuk menyambut suami dan mertua Kak Laras.
Pintu mobil belakang terbuka, menampilkan sosok laki-laki dan wanita yang masih terlihat gagah dan cantik diusianya yang paruh baya. Ya, dia Om Rifan dan Tante Maya, orang tua Kak Evan.
Disusul Kak Evan keluar dari mobil berjalan di belakang kedua orang tuanya. Terlihat sangat gagah dan tampan, dengan celana jeans hitam dan kemeja hitam pas badan yang membentuk dada bidangnya. Sayangnya, tak sebanding dengan kelakuannya yang tak bermoral.
"Assalamualaikum," ucap mereka serempak.
"Wa'alaikumsalam," jawab kami juga serempak.
"Apa kabar, Pak Arif dan keluarga?" tanya Om Rifan pada Ayah.
"Alhamdulillah, kami semua sehat." Ayah menjawab sembari berjabat tangan dan berpelukan dengan Om Rifan.
"Terima kasih, ya, Besan. Sudah mengundang kami semua untuk makan malam. Jadi merepotkan kalian." Tante Maya mendekati Ibu. Kemudian melakukan tradisi ibu-ibu pada umumnya, yaitu cipika cipiki.
"Sama-sama, Jeng. Nggak merepotkan, kok. Oh, ya, ke mana Elan? Dia nggak ikut?" Ibu menanyakan keberadaan anak pertama dari Om Rifan dan Tante Maya.
"Dia sedang menangani perusahaan cabang di luar kota yang baru dibuka bulan lalu." Om Rifan yang menjawab pertanyaan Ibu.
"Oh, begitu. Ya, tidak apa-apa," tanggap Ibu agak kecewa.
Aku, Kak Laras, dan Kak Devan bergantian menyalami Om Rifan dan Tante Maya. Saat Kak Devan hendak bersalaman dengan Om Rifan, laki-laki paruh baya itu menatap intens Kak Devan, kemudian berganti menatap ke Ayah.
"Ini, Devan. Dia anak dari sepupu aku yang tinggal di pegunungan sana. Nanti saya ceritakan. Lebih baik kita masuk dulu terus makan malam." Ayah mengajak Om Rifan berjalan beriringan masuk rumah. Kemudian disusul kami yang tersisa.
"Iya, ayok. Mumpung masih hangat itu makananya," ajak Ibu juga.
Makan malam berjalan dengan tenang, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu di piring masing-masing. Sempat melirik dari ekor mata, Kak Evan sedang makan sambil sesekali melirikku. Aku hanya terus makan sambil menunduk. Tak mengalihkan pandangan sama sekali dari piring di depanku.
Seusai makan malam, para laki-laki berpindah ke ruang tamu, sedang perempuan membereskan bekas makan barusan. Karena dikerjakan oleh empat orang menjadi cepat dan ringan dalam membereskan peralatan bekas makannya. Kami para perempuan menyusul para laki-laki berpindah ke ruang tamu. Ketika baru sampai di ruang tamu terdengar suara Om Rifan sedang bertanya pada Kak Devan.
"Oh, jadi kamu meneruskan perusahaan orang tuamu, Nak Devan?"
"Iya, Om. Benar," jawab Kak Devan sambil mengangguk dengan sopan. Terlihat berkharisma dan elegan, mungkin seperti ini jika dirinya sedang meeting dengan klien. Beda sekali kalau sedang bersamaku. Jail dan tengilnya minta ampun.
Kami lanjut berbincang ringan dan hangat. Ayah duduk di kursi tunggal, di sebelahnya Om Rifan dan Tante Maya duduk di kursi yang sama, Kak Evan dengan Kak Laras. Ibu, aku, dan Kak Devan duduk di kursi berisikan untuk tiga orang, dengan aku berada di tengah antara Ibu dan Kak Devan.
Tak berselang lama, Ayah meminta izin untuk ke ruang kerjanya sebentar, dan akan kembali lagi. Mata kami semua mengiringi kepergian Ayah, hingga suara Tante Maya mengalihkan perhatian semua orang dan membuat tubuhku menegang.
"Lilis, kamu sepertinya agak chubby, ya, sekarang. Lihat itu, pipinya gemesin banget," ujar Tante Maya dengan mengepalkan kedua telapak tangannya di depan dada. Pose perempuan Korea kalau sedang gemes.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum dipaksakan. Tanganku yang dingin refleks saling meremas. Apa sebegitu terlihat?
"Akhir-akhir ini porsi makanmu banyak. Terus kamu juga suka sekali mengonsumsi yang berhubungan dengan buah apel. Bukannya kamu gak suka buah apel, ya?" Pertanyaan Kak Laras membuat semua orang memandang ke arahku.
Semua tahu kalau aku kurang menyukai buah apel. Hanya karena alasan sepele. Dulu sewaktu kecil saat mendengar dongeng putri salju, aku jadi kasihan dan tak akan memakan buah itu. Takut bernasib sama seperti Snow White.
"Kenapa tidak tanyakan saja pada Evan?" Ayah tiba-tiba datang dan berbicara hal yang sangat mengejutkan. Semua orang di ruangan ini saling memandang dengan muka bingung dan keingintahuan.
*****
