Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Story of Arfan

"Sa, tadi lo ketemu sama Arfan di lapangan sekolah?” tanya Jeni; perempuan berambut panjang yang langsung duduk di samping kursiku begitu aku menyimpan tas ranselku di atas meja.

“Arfan?” kataku bingung.

“Itu loh, cowo yang sering bermasalah di sekolah kita akhir-akhir ini.”

“Oh, Arfan itu. Iya, soalnya gue sama Dhea di hukum bareng gitu sama pak Uus. Kenapa?” tanyaku sambil mengeluarkan peralatan menulisku.

“Elo nggak digangguin sama dia, kan?” tanyanya kembali.

“Nggak, emangnya kenapa sih, Jen?” tanyaku kembali bingung sekaligus penasaran.

“Jangan sampai deh elo diganggu sama manusia satu itu. Soalnya, Arfan itu terkenal banget sebagai si pembuat masalah di sekolahnya dulu,” tuturnya menjelaskan.

“Sekolahnya dulu? Maksudnya?” tanyaku masih tak mengerti.

Jeni memperdekat jarak duduknya denganku. Ia setengah berbisik dan mulai menceritakan Arfan, pria berwajah sangar yang tadi bertemu denganku di lapangan sekolah.

“Elo nggak tahu gosip akhir-akhir ini, yah?” tanyanya sambil menatap wajahku hingga membuatku dengan cepat langsung menggelengkan kepala.

“Arfan itu siswa pindahan. Dia itu baru masuk sekolah kita di pertengahan semester 1 kemarin. Katanya gossip yang beredar, dia itu biang keributan di sekolahnya dulu. Preman sekolah, sering keluar-masuk ruang BP dan sering bermasalah gitu. Pokoknya, jangan sampai lo diganggu sama dia. Bahaya, Sa.”

“Bahayanya kenapa? Emangnya dia penjahat?”

“Orang yang sering bermasalah sama dia pasti bakalan berakhir di rumah sakit, Sa. Jadi, elo harus jauh-jauh dari cowo kaya Arfan itu.”

“Masa sih, Jen?” tanya Dhea yang sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Iya, gue kata anak kelas sebelah. Terus yah, yang mesti kalian tahu itu adalah katanya si Arfan suka kencan sama tante-tante berlipstik merah.”

“Hah? Masa, sih?” teriakku dan juga Dhea yang sangat terkejut dengan apa yang baru saja Jeni ceritakan.

“Serius gue. Masa iya gue bohong sama kalian.”

Begitu mendengar cerita dari Jeni, aku langsung manggut-manggut tanda mengerti. Pantas saja wajahnya kelihatan sangar gitu, ternyata dia memang sering membuat masalah di sekolahnya terdahulu. Sudah kubulatkan tekad, akan aku jauhi pria macam Arfan itu.

Saat jam istirahat, aku bersama kedua temanku; Dhea dan juga Jeni makan siang bersama di kantin sekolah. Baru saja kami duduk dan hendak memakan makanan kami, tiba-tiba saja keributan mulai terjadi begitu si pria berwajah sangar alias Arfan itu, datang dengan sekelompok teman-teman premannya.

“Dih, si Arfan lagi!” kata Jeni saat melihat Arfan dengan teman-teman satu gengnya.

Aku melirik ke arah keributan tersebut. Terlihat Arfan sedang mengusir beberapa anak kelas sepuluh yang sedang duduk bersama teman-temannya. Benar-benar sok berkuasa banget dia itu.

“Arfan si pembuat rusuh, kayanya dia gentayangan di mana-mana, yah?” cibir Jeni sambil melirik sinis ke arah Arfan dan teman-temannya.

“Setan dong dia?” kataku membalas.

“Setan berwajah tampan,” tutur Dhea sambil cengengesan.

“Tampan kalau kelakuannya bringas gitu mah, sama aja bohong. Gue sih, mana mau cowo macam kaya si Arfan itu,” jawab Jeni kemudian.

“Yakin lo, Jen?” tanya Dhea dengan mata menyelidik.

“Yakinlah gue, Dhe.”

“Kalau si Arfannya suka sama lo juga, pasti lo nggak akan ngomong kaya gitu, Jen. Percaya deh sama gue. Cewe itu suka gampang luluh sama cowo ganteng.”

“Ko, jadi bahas si Arfan, sih?” tanyaku yang mulai bosan mendengar nama Arfan sejak tadi pagi.

“Tahu tuh Dhea yang mulai. “

“Ko, jadi gue, sih?”

“Sa, cepetan makannya. Gue males lama-lama di sini ngelihat dia,” kata Jeni yang mulai mempercepat menghabiskan makanannya.

Aku mengangguk dan segera menghabiskan isi mangkok bakso milikku. Setelah habis, aku langsung membayar pesananku dan bergegas pergi dari kantin yang sudah dipenuhi dengan preman-preman sekolah karena sudah mengganggu kenyamanan kami semua.

Begitu melewati Arfan dengan teman-temannya, tiba-tiba saja aku tersandung meja hingga membuatku terjatuh dan menabrak tubuh Arfan dengan kepalaku.

Sial, kenapa kaya sinetron gini sih!

“Aww!” jeritku.

“Hey, lo punya mata nggak, sih?” teriak salah satu teman Arfan yang membuatku rasanya ingin sekali membalas teriakannya itu. Tapi, aku langsung mengurungkan niatku. Karena sepertinya, Arfan melengos pergi dan tidak mempermasalahkan kejadian aku menabraknya dengan tidak sengaja.

"Udah, dia nggak salah, ko,” kata Arfan kepada temannya.

“Sorry,” kataku akhirnya membuka suara sambil menatap wajah Arfan dengan gugup yang sepertinya sempat melirikku sebentar.

"Lain kali jalannya hati-hati. Jangan sampai jatuh lagi. Untung gue yang lo tabrak, coba kalau bukan? Bisa repot urusannya,” katanya menjawab.

Begitu Arfan mengatakan hal tersebut, aku langsung bergegas pergi menyusul Jeni dan juga Dhea yang sudah berada di depan. Aku benar-benar tidak sanggup untuk berlama-lama di sekitarnya atau pun menatap ke arahnya.

Sumpah, mukanya serem banget. Ke dua bola matanya itu sudah seperti pembunuh berdarah dingin.

“Hati-hati, Sa. Untung lo gak di apa-apain sama dia,” kata Jeni yang terlihat cemas.

“Di apa-apain juga nggak apa-apa, Sa. Ganteng ini,” kata Dhea sambil tertawa kecil.

“Ih, Dhea. Gue serius!”

“Gue juga serius kali, Jen. Arfan emang ganteng, kan?”

“Ganteng mata lo kaya kodok!”

“Mirip mantan gue kan, Jen?” bisik Dhea yang langsung membuatku dan juga Jeni membuang muka dengan kesal begitu mendengarnya.

“Noh, mantan lo si Mbul!”

“Ih, males banget, deh!”

“Udah-udah, ko malah pada ribut? Lagian, santai aja kali, Jen. Dia bukan setan juga. Sama-sama makan nasi, dia juga nggak akan ganggu.”

“Iya, tapi manusia semacam Arfan itu aneh, Sa. Pokoknya, jangan deket-deket sama dia,” kata Jeni kembali.

“Udah, dengerin aja kata kanjeng ratu, Sa. Biar cepet,” kata Dhea yang kali ini bersuara.

“Tapi, kayanya dia gak berbahaya juga kali, Dhe,” kataku menjawab.

"Nggak berbahaya gimana? Dia aja temenannya sama si Mbul dan gengnya. Otomatis, mereka pasti berbahaya, Sa.”

“Sama si Mbul? Wah, bahaya, dong!” kataku yang langsung panik.

“Ya udah, sih. Nggak usah ngomongin Arfan juga. Mending kita ke kelas aja, yuk,” ajak Dhea yang langsung menarik tanganku dengan Jeni bersamaan.

Mbul. Pria berbadan besar yang sangat terkenal di sekolahku. Bukan terkenal karena ketampanannya atau pun kepintarannya. Terkenal karena sering membuat masalah di sekolah. Sering ke luar masuk ruang BP, berkelahi dengan kakak kelas, sering banget ngisengin guru dan masih banyak lagi hal-hal menyimpang yang sering dilakukan oleh si Mbul itu.

“Noh, dari pada ngomongin Arfan dan gengnya. Mendingan ngomongin Arya. Dia ganteng, pinter, jago ngegitar, suaranya juga bagus,” kata Jeni mempromosikan Arya anak kelas 11 Ipa 2 yang sedang dikelilingi teman-temannya ketika ia sedang bernyanyi.

Kalau soal Arya, aku setuju dengan apa yang dikatakan Jeni barusan. Arya itu ganteng, tinggi, pinter, suaranya bagus lagi. Beruntung banget yang jadi pacarnya Arya. Pasti, setiap harinya bakalan dinyanyiin terus olehnya. Suaranya kan merdu banget. Mirip suaranya Sam Smith, benar-benar menenangkan hati.

Saat sedang mendengarkan Arya yang sedang menyanyikan lagunya Lany-If You See Her, Arfan dan teman-temannya datang dan ikut menikmati lagu yang sedang dinyanyikan oleh Arya. Arfan berdiri tak jauh dariku. Kami berdua sempat saling melirik satu sama lainnya. Karena merasa canggung, aku kembali melihat ke arah Arya bernyanyi.

Namun, begitu aku melirik ke arahnya lagi, Arfan masih saja menatap ke arahku.

“Ya!!” teriak Arfan memanggil Arya dan berjalan menghampirinya, “nyanyiin lagunya Lauv, dong. Bisa nggak?”

“Bisa, elo mau nyanyi lagu itu?” tanyanya.

“Iya. Dang, pinjem gitarnya,” kata Arfan sambil mengambil gitar milik Dadang; temannya Arya yang ikut nyanyi bareng Arya dan juga teman-temannya yang lain.

Hah? Arfan mau nyanyi sambil main gitar? Nggak salah? Emangnya dia bisa?

Tiba-tiba saja, sekolahku mendadak jadi seperti berada disebuah acara konser musik. Arya dan Arfan mulai memetik gitar dan menyanyikan lagunya Lauv-Superhero.

Suaranya Arfan ternyata nggak kalah bagusnya dari Arya. Murid-murid pun mulai berdatangan sambil mengelilingi Arya juga Arfan.

Serentak, mereka juga ikut bernyanyi bagaikan anggota paduan suara, sambil bertepuk tangan dengan kompaknya untuk memeriahkan suasana. Tak lupa juga dengan teman-teman satu gengnya Arfan yang membuat kegaduhan, dengan sedikit sentuhan lawakan mereka.

I met a superhero

I lost her i want her back

She did things to me that no one else could

And i miss that

Ohh …

Don’t wanna talk about it

Ohh . . .

I was so wrong about it

Ohh …

Can’t do a thing about it now

Now

Cause they say if you love her let her go

And they say if it’s meant to be you’ll know

Know

I met a superhero

I lost her i want her back

She did things to me that no one else could

And i miss that

I met a superhero

I lost her i want her back

She did things to me that no one else could

And i miss that

Ohh …

Don’t wanna talk about it

Ohh …

I was so wrong about it

Ohh …

Can’t do a thing about it now

Now

“Waw, ini surprise banget! Nggak nyangka kalau Arfan bagus juga suaranya!” seru Dhea yang terlihat begitu senang saat melihat kolaborasi Arya dengan Arfan.

Aku menatap ke arah Arfan. Ia juga menatap ke arahku sambil bernyanyi dengan suaranya yang bisa dikatakan bagus juga. Wajahnya yang menyeramkan mendadak hilang dan terlihat lebih bersahabat.

Begitu selesai bernyanyi, anak-anak serentak memberikan tepuk tangan yang meriah untuk dua orang penyanyi dadakan di sekolah kami. Setelah selesai bernyanyi, Arfan kembali menatap ke arahku. Dan, tiba-tiba saja ia mengedipkan mata kanannya dengan centil padaku.

“Nugelo!” seruku. (orang gila).

“Ke kelas, yuk?” ajak Jeni.

“Ayo. Bentar lagi juga bel masuk, ada ulangan matematika lagi. Hayu cepetan, gue belum bikin contekan!” seru Dhea yang langsung menarik tanganku juga Jeni seraya berlari.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel