Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Si Pembuat Masalah

"Risa, sudah jam berapa ini? Kamu belum siap juga?" teriak ayah begitu keras dari lantai satu.

"Kalem, Yah. Risa lagi nyatok rambut dulu!"

Namaku Karisa Agatha Putri. Biasa dipanggil Risa, dan asli Bandung. Usiaku sekarang sudah menginjak 16 tahun. Aku bersekolah disalah satu SMU Negeri di kota Bandung yang berada di daerah Bandung Selatan. Cukup jauh memang dari daerah rumahku. Namun, setiap pergi ke sekolah, aku selalu diantar oleh ayahku. Kebetulan, kantor ayahku itu berada di daerah Soekarno Hatta yang tidak terlalu begitu jauh dari arah sekolahku berada.

Setiap pagi, aku selalu terlambat bangun akibat begadang semalaman menonton drama Korea favoritku. Padahal, hari ini adalah hari senin. Hari dimana pertama kali orang-orang memulai aktifitasnya. Dan, dimana setiap anak sekolah sepertiku, harus selalu mengikuti upacara bendera.

Aku melirik ke seluruh penjuru kamarku dengan mata menyipit. Kamarku sangat berantakan sekali, benar-benar seperti kapal pecah. Bukan seperti kamar seorang anak gadis, melainkan seperti kandang singa yang sedang mengamuk.

"Risa, nanti macet di jalan. Ayo, pergi sekarang!!" teriak ayah kembali.

"5 menit lagi, Yah!" sahutku setengah berteriak yang masih sibuk menyatok rambutku yang cukup sulit diatur.

"Kalau dalam hitungan ke-3 kamu tidak muncul juga, ayah tinggal. 1 . . . 2 . . . ."

Kalau ayah sudah mulai berhitung, itu pertanda buruk untukku. Ayah pasti akan merasa kesal dan aku harus segera bergegas turun ke bawah. Belum sampai hitungan ke-3, aku langsung meluncur ke bawah dengan keadaan yang sangat berantakan sekali.

Ayah menatap wajahku dengan bingung, saat aku menghampirinya yang sudah berada di teras rumah. Ayah memandangiku dengan tatapan tajamnya dari atas sampai bawah, hingga membuatku melirik ke arah seragamku yang memang terlihat sangatlah berantakan.

Baju yang belum sempat aku masukkan ke dalam rok, rollan rambut yang masih menempel diponi rambutku, dan juga sepatu kananku yang tampak berbeda dengan sepatu kirinya.

"Rapihkan dulu itu seragammu, Ris. Berantakan sekali," kata ayah seraya membuka pintu mobil, dan segera masuk ke dalam.

"Nggak sempet, Yah. Risa rapihkan di dalam mobil aja," kataku menjawab dan segera masuk ke dalam mobil menyusul ayahku.

"Neng Risa, ini rotinya di makan dulu. Ini sepatu neng Risa juga ketuker, ganti dulu!" teriak bik Sari sambil membawakan piring berisi roti bakar dan juga segelas susu coklat.

Melihat bik Sari berlari-lari kecil menghampiriku, aku mengurungkan diri untuk masuk ke dalam mobil. Ku makan roti yang berada ditangan kanan si bibik, dan ku teguk sampai habis segelas susu coklat yang diberikan bik Sari padaku. Setelah itu, aku ambil sepatu kets Convers berwarna hitam yang melingkar dileher si bibik

"Udah yah, Bik. Risa mau berangkat dulu. Takut kesiangan, nih."

"Ini topi sekolahnya Neng hampir ketinggalan," katanya kembali mengingatkan.

"Oh iya, lupa. Makasih ya Bik, Risa pamit dulu. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Di tengah perjalanan, aku kembali merapihkan rambutku yang berantakan, juga seragamku yang berkelabatan sambil menguyah sisa potongan roti yang diberikan bik Sari. Aku juga membenarkan tali sepatuku yang terlepas, dan merapihkan isi tasku yang terlihat sangat berantakan sekali.

"Risa, kalau tahu sekolah pagi harusnya kamu jangan suka begadang nonton drama Korea favoritmu itu. Lihat sekarang, kamu jadi kelabakan, kan?" kata ayah membuka suara ketika beliau sedang menyetir dan melirik sinis ke arahku.

"Udah mendarah daging, Yah. Nggak bisa berhenti."

"Kamu ini kalau di kasih tahu ngeyel terus. Oh iya, malam ini ayah mau ke Jakarta. Ada tugas dinas ke luar kota dari kantor. Pulang mungkin lusa, kamu bisa kan naik angkot ke sekolah?"

Aku mengangguk dan kembali berkutat untuk merapihkan isi tasku yang berantakan.

"Kalau ada apa-apa kamu telepon ayah saja."

"Siap, pak bos!!" seruku seraya memberi hormat.

Begitu sampai di depan sekolah, aku langsung mencium telapak tangan ayahku kemudian segera bergegas ke luar dari mobil.

"Jangan lupa sholat, makan yang banyak dan jangan keluyuran malam selama ayah tidak ada di rumah," nasehatnya yang membuatku hanya manggut-manggut begitu mendengarnya.

"Iya. Hati-hati di jalan ayah," kataku sambil melambaikan tanganku.

Begitu mobil ayah berlalu, aku langsung bergegas pergi. Sambil berlari-lari kecil, aku melirik ke arah jam tanganku. Jam sudah menunjukan pukul 07.15. Sial, aku terlambat! Kalau sudah terlambat begini, gerbang sekolah pasti sudah ditutup.

Benar saja dugaanku itu. Gerbang sudah ditutup dan aku tidak bisa mengikuti upacara bendera. Lebih menakutkannya lagi itu adalah aku pasti bakalan kena hukuman guru piket. Guru piket hari senin itu terkenal sangat killer dan ditakuti murid-murid di sini.

Aku celingak-celinguk melihat ke arah lapangan sekolah. Lagu Indonesia Raya sudah berkumandang dan aku terkunci di luar gerbang sekolah, sehingga aku tidak bisa masuk bersama murid-murid yang sering kali datang terlambat.

Aku melihat ada seorang pria yang baru saja datang dengan segerombolan teman-temannya. Mereka sangat berisik sekali dan mereka itu adalah sekumpulan laki-laki pembuat masalah di sekolah.

Namun, dari segerombolan pria-pria pembuat masalah itu, ada salah satu laki-laki yang menjadi perhatianku. Pria itu terlihat memakai seragam sekolah yang berkelabatan. Pakaiannya tidak rapih, rambutnya sangat berantakan dan dia sedang menggendong seekor kucing putih di dalam pangkuannya, sambil tertawa bersama teman-temannya yang lain.

Pria itu sempat melirik ke arahku. Begitu mata kami saling bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan mataku.

Sial, aku kepergok sedang melirik ke arahnya.

"Sa, lo terlambat juga?" tanya Dhea, si gadis berambut ikal sambil menepuk bahuku, yang ternyata adalah teman sekelasku.

"Iya, nih. Gue telat bangun gara-gara nonton drama Korea terbaru semalam. Jadinya, gue nggak bisa ikutan upacara, deh."

"Sama, gue juga telat bangun gara-gara semalam nonton drama terbarunya Hyunbin. Hari ini guru piketnya pak Uus, yah? Mampus, bisa kelabakan kita kalau di hukum pak Uus."

"Oh iya! Senin, yah? Duh, mampus kalau sampai pak Uus yang ngasih hukuman."

Iya benar. Yang dikatakan Dhea barusan benar. Pak Uus, guru piket paling sangar, galak, dan sering memberikan hukuman yang sangat berat kepada anak didiknya. Sekarang, tamat sudah riwayatku.

"Upacaranya kapan selesai, sih?" tanya Dhea tak sabaran.

"Sabar, sebentar lagi juga selesai," jawabku yang mulai memijat-mijat kaki kananku karena pegal.

"Sa, lihat-lihat, mereka berisik banget, yah?" bisik Dhea sambil melirik ke arah sekumpulan pria berwajah preman di pojokan gerbang sekolah.

"Nggak usah dilihatin, Dhe."

"Sayang dia nakal. Padahal, kalau dilihat-lihat wajahnya itu lumayan oke, loh."

"Siapa maksud lo?" tanyaku penasaran.

"Tuh," kata Dhea kembali menunjuk dengan dagunya hingga membuatku menoleh ke belakang, ke mana arah mata Dhea menunjuk.

Aku tidak tahu yang ditunjuk dan dimaksud Dhea itu siapa. Apa mungkin si pria berwajah garang yang sedang menggendong kunci putih itu?

"Emangnya, kalau dia nakal kenapa? Terus, kalau nggak nakal kenapa?"

"Kalau nggak nakal pasti banyak yang suka sama dia, Sa. Secara wajahnya ganteng banget."

"Bukannya sekarang lagi musim yah naksir cowo nakal kaya gitu?"

"Sayangnya, di sekolah kita nggak kaya gitu, Sa. Di sekolah kita kan paling anti naksir atau pacaran sama cowo bengal kaya gitu. Di sekolah kita itu sukanya sama cowo yang ganteng, pinter, tajir, , dan berperilaku baik."

"Itu karena cowo-cowo nakal di sekolah kita emang nggak ada yang ganteng. Makanya, nggak ada yang mau pacaran sana cowo nakal," kataku sembari tertawa kecil.

"Iya, soalnya sekolah kita itu emang sarangnya cowo-cowo nakal," katanya kembali tertawa.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Upacara bendera telah selesai dan murid-murid sudah dibubarkan. Dari kejauhan, sudah terdengar begitu jelas teriakan pak Uus yang melengking. Siap-siap memasuki wahana paling extream di sekolah.

"Makanya jangan terlambat! Sebagai murid yang baik itu harusnya kalian datang lebih awal. Sudah tahu masuk pagi, ada upacara, kena macet di jalan itu jangan dijadikan alasan. Itu hanya alasan klasik!" seru pak Uus yang sedang menghukum murid-murid yang terlambat, dengan berjalan jongkok sebanyak 10 putaran.

"Selesai berjalan jongkok, ambil sampah yang berserakan di area sekolah. Setelah itu, catat nama kalian di buku hitam itu. Saya mau membuat laporan ke ruangan BP. Kalian paham?"

"Paham, Pak!" jawab anak-anak serentak.

"Heh, kamu Arfan!" teriak pak Uus memanggil salah satu pria yang di belakangku.

"Sudah berapa kali kamu terlambat? Buku di catatan hitam itu sudah penuh dengan namamu dan kawan-kawanmu," katanya kembali sambil menunjuk pria itu dengan menggunakan penggaris panjang yang digenggamnya.

"Maaf, Pak," jawabnya pelan.

Aku menengok ke belakang. Ku lihat ada sesosok pria berwajah garang yang sedang berjalan jongkok di belakangku. Pria itu adalah pria yang aku lihat tadi di luar gerbang sekolah. Pria yang sempat menaruh perhatian pandanganku.

Pria itu sempat melirik ke arahku. Namun, dengan cepat aku langsung mengalihkan pandanganku agar tidak terlihat olehnya.

"Ganteng kan, Sa?" bisik Dhea.

"Siapa?"

"Arfan, si cowo nakal macam anak gangster," katanya menjawab hingga membuatku kembali menatap pria bernama Arfan itu dengan mata menyipit.

"Ganteng kalo di lihat dari ujung sedotan," jawabku asal.

"Mirip mantan gue, Sa."

"Semuanya aja elo bilang mantan lo. Setiap kali lihat ada cowo bening dikit aja, pasti dibilang mirip mantan lo."

"Ih, galak bener, deh. Gue kan cuma bilang mirip dikit, Sa "

"Bodo amat!!"

Setelah menyelesaikan semua hukuman, aku langsung bergegas menuju kelas. Aku lihat, pria bernama Arfan yang berwajah sangar itu berjalan di belakangku. Aku mulai merasa risih, karena sepertinya ia mengikutiku terus.

"Dhe, kayanya si cowo bengal itu ngikutin kita, deh!" bisikku sambil menggenggam pergelangan tangan Dhea begitu erat.

"Masa, sih? Coba gue li . . . . "

Belum sempat Dhea menoleh, aku langsung menarik tangan Dhea dengan kasar.

"Jangan di lihat, Dhe!"

"Terus gimana?"

"Lari!!" kataku yang langsung berlari dengan di ikuti Dhea dari belakang.

Saat aku sudah berada di depan kelasku, aku langsung masuk tanpa memandang ke belakang lagi. Namun, aku sempat melirik ke arah Arfan yang sepertinya sudah berjalan melewati kelasku. Sepertinya, kelasnya berada di dua kelas yang tak jauh dari kelasku berada. Iya benar, Arfan itu anak kelas 11 Ipa 3.

Dia baru saja memasuki kelasnya. Namun, saat ia hendak masuk ke dalam kelasnya, pria bernama Arfan itu melirik ke arahku lagi. Dia tersenyum lebar dan memberikan isyarat ciuman bibir dengan memonyongkan bibirnya ke arahku.

"Wong edan!!"

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kemudian kembali masuk ke dalam kelas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel