Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jejak di Hutan

Malam berlalu dalam ketegangan. Xian terjaga hampir sepanjang waktu, mendekap Li Wei yang tertidur pulas di dekapannya. Api kecil di perapian mulai meredup, meninggalkan cahaya oranye samar yang menari di dinding kayu pondok. Suara angin yang menderu sesekali bercampur dengan lolongan serigala di kejauhan.

Xian menajamkan telinganya. Ada sesuatu di luar.

Ia tidak salah dengar tadi, ada langkah kaki, ringan tetapi cukup jelas di atas tanah basah.

Tangannya segera meraih belati kecil yang ia sembunyikan di balik kain selendangnya. Nafasnya tertahan saat ia menunggu dengan jantung berdegup kencang. Apakah mereka datang lebih cepat dari yang ia kira?

Dari celah dinding kayu yang berlubang, ia melihat bayangan samar bergerak di antara pepohonan. Seseorang ada di luar sana.

Xian berdiri perlahan, memastikan Li Wei tetap tertidur sebelum berjalan mengendap ke pintu pondok. Ia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Jika seseorang benar-benar mengincarnya, ia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pintu sedikit, cukup untuk mengintip keluar. Bayangan itu bergerak lebih dekat.

Lalu tiba-tiba—

"Kau tidak perlu bersembunyi."

Suara serak itu terdengar dari kegelapan. Xian menegang. Seseorang benar-benar berbicara padanya.

Ia menggenggam belatinya erat-erat. "Siapa kau?" tanyanya dengan suara rendah dan waspada.

Sunyi sejenak. Kemudian, dari balik pepohonan, seorang pria muncul perlahan. Wajahnya sebagian tertutup kain hitam, hanya menyisakan mata tajam yang menatap lurus padanya. Ia mengenakan pakaian lusuh yang hampir menyatu dengan kegelapan hutan.

"Aku bukan musuhmu," katanya. "Aku datang untuk membantu."

Xian tetap tidak menurunkan belatinya. "Aku tidak membutuhkan bantuanmu."

Pria itu terdiam sejenak sebelum melangkah lebih dekat. "Mungkin tidak sekarang. Tapi jika kau ingin bertahan di tempat ini lebih lama, kau harus percaya seseorang selain dirimu sendiri."

Xian mengamati pria itu dengan waspada. Tidak ada senjata yang terlihat, dan sorot matanya tidak menunjukkan ancaman. Tapi setelah semua pengkhianatan yang ia alami di istana, bagaimana ia bisa begitu saja mempercayai orang asing?

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya tegas.

Pria itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Aku ingin menyelamatkan putramu."

Xian mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Pria itu melirik ke dalam pondok, ke arah Li Wei yang masih tertidur pulas. "Pangeran kecil itu... nyawanya dalam bahaya lebih besar daripada yang kau kira."

Xian merasakan ketegangan menyusup ke dalam tubuhnya. "Bagaimana kau tahu tentang kami?"

"Aku punya mata di dalam istana," pria itu menjawab singkat. "Dan aku tahu siapa yang menginginkan kematian anakmu."

Dada Xian berdebar. "Kaisar?"

Pria itu menggeleng pelan. "Bukan. Kaisar hanya pion dalam permainan ini. Orang yang sebenarnya menarik tali di balik layar jauh lebih berbahaya."

Xian menatapnya lekat-lekat, mencari kebenaran dalam kata-katanya. "Siapa?"

Pria itu menunduk sedikit, suaranya merendah, seolah takut jika rahasianya terdengar oleh angin malam.

"Perdana Menteri Zhao."

Xian tertegun. Zhao Jian? Ia adalah tangan kanan Kaisar, seorang pejabat tinggi yang dikenal licik dan haus kekuasaan. Tetapi, bagaimana mungkin—

"Zhao tahu bahwa Kaisar tidak akan membunuhmu dengan tangannya sendiri. Jadi, ia memastikan kau dibuang ke tempat yang tidak bisa kau selamatkan diri," lanjut pria itu. "Dia berpikir bahwa kau akan mati di sini, dan anakmu juga."

Xian mengepalkan tangannya.

Jadi, ini semua adalah rencana Zhao? Kaisar mungkin telah menjatuhkan hukuman buang, tetapi Zhao-lah yang memastikan bahwa ia tidak akan pernah kembali.

"Kenapa kau peduli?" tanyanya tajam. "Siapa kau sebenarnya?"

Pria itu menghela napas, lalu menurunkan kain penutup wajahnya. Di bawah sinar bulan yang samar, Xian bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Ia bukan orang biasa, mata tajamnya menunjukkan pengalaman bertarung, dan bekas luka di pipinya menandakan bahwa ia pernah melalui banyak pertempuran.

"Namaku Han Jian," katanya. "Aku dulu seorang jenderal di bawah perintah ayahmu."

Dunia Xian terasa berhenti sejenak.

"Ayahku?"

Han Jian mengangguk. "Jenderal Xian Fei. Aku pernah bersumpah untuk melindungi keluarganya. Dan sekarang, aku menepati sumpah itu."

Xian menatapnya, masih diliputi keraguan dan keterkejutan. Ayahnya telah lama meninggal dalam pertempuran, tetapi jika Han Jian benar-benar salah satu bawahannya, itu berarti ia adalah sekutu... bukan musuh.

"Tidak banyak waktu," Han Jian berkata serius. "Jika kita ingin menyelamatkan putramu dan merebut kembali haknya, kita harus bertindak sekarang."

Xian menatap Li Wei yang masih terlelap di dalam pondok. Hatinya dipenuhi oleh berbagai emosi—takut, marah, dan yang paling kuat dari semuanya: tekad.

"Kau punya rencana?" tanyanya.

Han Jian tersenyum samar. "Aku selalu punya rencana."

Xian menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Kalau begitu, kita mulai dari mana?"

Han Jian menatapnya dengan tajam.

"Kita mulai dengan bertahan hidup."

**

Malam itu, Xian tak bisa tidur. Setelah pertemuannya dengan Han Jian, pikirannya dipenuhi kecemasan dan pertanyaan. Jika benar Zhao Jian adalah dalang di balik pengasingannya, maka situasinya jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

Ia menatap Li Wei yang tertidur dalam dekapannya. Bayi itu tampak damai, tidak tahu bahwa nyawanya terancam dari segala arah.

Xian menggenggam tangannya erat. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu, Wei’er. Aku bersumpah.

Di luar pondok, Han Jian sedang berjaga. Xian bisa mendengar suara langkah kakinya di atas tanah basah. Pria itu tampak bisa dipercaya, tapi setelah semua pengkhianatan yang ia alami, Xian tak bisa membiarkan dirinya lengah begitu saja.

Ia harus tetap waspada.

Jejak di Sungai

Pagi harinya, Han Jian mengajak Xian ke tepi sungai untuk mengajarinya cara menangkap ikan dengan tombak kayu sederhana.

"Kau harus belajar bertahan hidup," katanya. "Tidak ada yang tahu berapa lama kita akan berada di sini."

Xian mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi kecurigaan.

Saat ia hendak melempar tombak ke air, sesuatu di seberang sungai menarik perhatiannya.

Jejak kaki.

Terlalu besar untuk milik hewan, dan terlalu dalam untuk seseorang yang berjalan biasa.

Seseorang telah mengintai mereka.

Xian langsung menoleh ke Han Jian, yang juga melihat jejak itu. Mata pria itu menyipit, ekspresinya berubah serius.

"Kita tidak sendirian," bisiknya.

Mereka bergegas kembali ke pondok. Saat mereka tiba, Xian merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Pintu pondok yang tadi ia tinggalkan tertutup, kini sedikit terbuka.

Jantungnya berdegup kencang.

"Li Wei!"

Ia segera berlari masuk, tetapi Han Jian menarik tangannya.

"Tunggu," katanya tegas. "Bisa jadi ini jebakan."

Xian menahan napas. Jika ada seseorang di dalam, mereka harus berhati-hati.

Han Jian menarik belatinya dan melangkah lebih dulu, matanya tajam menyapu setiap sudut ruangan. Xian mengikutinya dengan cemas, dadanya terasa sesak.

Saat mereka sampai ke tempat tidur jerami tempat Li Wei tadi berbaring.

Bayi itu hilang. Dan ada Surat Misterius.

Xian merasa tubuhnya lemas.

"Tidak… tidak mungkin…" Ia berlari ke seluruh ruangan, mencari tanda-tanda Li Wei. "Wei’er! Wei’er!"

Han Jian menemukan sesuatu di lantai. Sebuah gulungan kain, diikat dengan benang merah.

Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, ada secarik kertas dengan tulisan yang sangat dikenalnya.

"Jika kau ingin anakmu tetap hidup, datanglah ke Istana Bayangan sebelum bulan purnama. Sendirian."

Xian merasakan darahnya membeku.

Tulisan ini...

Milik Selir Mei.

Selir Mei adalah orang kepercayaan Kaisar—dan rival terbesar Xian di istana.

Han Jian membaca surat itu dengan ekspresi gelap. "Ini jebakan."

"Tentu saja," Xian menjawab, suaranya dingin. "Tapi aku tidak punya pilihan."

Han Jian menatapnya, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tetapi Xian sudah mengambil keputusan.

"Aku akan pergi," katanya mantap. "Dan aku akan membawa kembali putraku, dengan cara apa pun."

Han Jian menghela napas. "Kalau begitu, kita harus bersiap."

Namun, di dalam hatinya, Xian tahu satu hal.

Jika ini benar-benar jebakan, maka satu-satunya cara untuk menyelamatkan Li Wei adalah dengan menghadapi sesuatu yang lebih berbahaya daripada pengasingan.

Kembali ke istana.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel