Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pengasingan di Lembah Gelap

Hujan turun deras ketika Permaisuri Xian melangkahkan kakinya ke tanah yang dingin dan lembab. Aroma tanah basah bercampur dengan udara malam yang menusuk, menambah suram suasana pengasingannya. Hanya ada dua pengawal yang mengantarnya ke tempat ini, tidak ada arak-arakan, tidak ada prosesi, hanya dua kuda, satu lentera, dan sebuah perintah singkat:

Jangan pernah kembali ke istana.

Di dalam gendongannya, bayi kecil yang masih merah dan ringkih mulai menangis. Pangeran Li Wei, putri Tianlong, belum genap satu bulan. Tangisannya lirih, namun bagi Xian, suaranya lebih nyaring dari gemuruh guntur yang membelah langit.

Ia menarik napas panjang dan menenangkan putrinya.

"Kita akan baik-baik saja, Wei," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama seperti ia mencoba menenangkan anaknya." Nanti kita akan kembali ke Istana," imbuhnya lagi.

Salah satu pengawal, seorang pria tua bernama Zhang, menatapnya dengan ragu. Di matanya, ada sedikit rasa bersalah, tetapi perintah adalah perintah. "Yang Mulia," katanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang memukul tanah. "Tempat ini berbahaya. Kami hanya diperintahkan untuk mengantarmu kesini, setelah itu..."

Zhang tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi Xian sudah tahu kelanjutannya. Setelah ini, mereka akan pergi, meninggalkannya di tempat terpencil ini tanpa jaminan keselamatan.

Ia menegakkan tubuhnya, menatap Zhang dengan penuh martabat meski gaunnya telah basah kuyup dan rambut panjangnya mulai berantakan. "Pergilah," katanya dengan suara tegas." Aku akan baik-baik saja,"

Pengawal itu saling bertukar pandang sebelum akhirnya menunduk hormat. Mereka meninggalkan lentera dan sekarung kecil persediaan, lalu tanpa sepatah kata lagi, mereka menaiki kuda mereka dan menghilang ke dalam gelap.

Xian tetap berdiri di tempatnya sejenak, membiarkan dinginnya hujan meresap ke dalam tubuhnya. Saat suara langkah kuda semakin jauh, ia sadar bahwa kini hanya ada dirinya dan Li Wei.

Ia melihat sekeliling. Lembah ini sunyi, dikelilingi oleh hutan lebat dan gunung tinggi. Tidak ada jejak kehidupan kecuali sebuah pondok kayu tua di dekat sungai. Dengan langkah tertatih, ia berjalan ke sana, menggigit bibirnya agar tetap kuat di hadapan anaknya.

Saat ia membuka pintu kayu yang rapuh, udara dingin menerpa wajahnya. Di dalam, hanya ada tikar jerami di lantai, perapian kecil yang telah lama padam, dan rak kosong berdebu. Tidak ada kemewahan istana, tidak ada sutra lembut atau pelayan yang siap melayani. Tetapi setidaknya, ini lebih baik daripada udara terbuka.

Dengan hati-hati, ia duduk di tikar dan menyelimuti Li Wei. Bayi itu masih menangis, mencari sesuatu yang lebih penting daripada perlindungan, makanan.

Xian menyingkirkan jubah luarnya yang basah, lalu membiarkan Li Wei menyusu. Ia mengusap kepala putranya dengan lembut, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kau tidak boleh sakit, Wei," bisiknya. "Kau harus tumbuh kuat."

Di luar, suara serigala melolong, nyaring dan menakutkan.

Di dalam, Xian mengeratkan pelukannya pada sang pangeran, bertekad untuk melindunginya dengan segala yang ia miliki.

"Setelah ini, akan kubalas rasa sakit ini," ujar pelan Xian, ia tak bisa menahan rasa sakit hatinya.

Angin berhembus melalui celah dinding kayu, membuat api kecil yang baru saja ia nyalakan berkedip-kedip. Xian duduk di lantai sambil mendekap Li Wei yang akhirnya tertidur, wajah mungilnya tenang di pelukan ibunya.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya.

Ia, seorang permaisuri, kini hidup dalam pengasingan, dihukum atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Kaisar, pria yang pernah berjanji untuk mencintainya selamanya, telah mempercayai bisikan para pejabat istana lebih daripada dirinya. Ia dituduh berkhianat, bersekongkol dengan klan musuh untuk merebut takhta.

Tuduhan itu tidak hanya menghancurkan hidupnya, tetapi juga mengancam nyawa kedua putranya yang kali ini disembunyikan oleh Selir Mei.

Xian menggenggam selimut tipis yang membungkus Li Wei, tangannya bergetar.

Ia tidak boleh menyerah.

Bagaimanapun caranya, ia harus bertahan.

Ia harus menjaga Li Wei tetap hidup.

---

Pagi yang Penuh Perjuangan

Fajar menyingsing dengan lambat, sinar matahari pertama menyinari lembah yang berselimut kabut. Xian terbangun dengan tubuh kaku dan kepala pening. Semalaman ia tidak tidur nyenyak, selalu waspada terhadap suara-suara aneh dari luar pondok.

Li Wei masih tertidur di sisinya, wajahnya terlihat lebih tenang. Namun, tubuh Xian terasa lemah. Ia butuh makanan.

Ia memeriksa persediaan yang ditinggalkan pengawal tadi malam, sekarung kecil berisi beberapa potong roti kering, sekantong beras, dan sebotol air. Itu tidak cukup untuk bertahan lama.

Xian menarik napas dalam.

Ia harus mencari cara untuk bertahan hidup di tempat ini.

Setelah memastikan Li Wei dalam keadaan aman, ia keluar dari pondok. Hutan di sekelilingnya tampak lebat, dan suara burung serta gemericik sungai terdengar dari kejauhan. Jika beruntung, mungkin ia bisa menemukan buah liar atau ikan di sungai.

Dengan hati-hati, ia berjalan menyusuri tepi sungai, memperhatikan setiap semak-semak yang dilewatinya. Matanya menangkap beberapa buah beri merah kecil di antara daun-daun hijau.

Ia mengambil beberapa dan mencium aromanya.

Masih ragu apakah buah itu aman dimakan, ia mengingat pelajaran yang pernah ia dapatkan di istana—tentang cara membedakan makanan yang beracun. Ia mengingat bahwa buah beri yang berwarna terlalu mencolok bisa saja beracun, jadi ia memilih yang terlihat lebih alami.

Setelah mengumpulkan cukup banyak, ia kembali ke pondok dan duduk di samping Li Wei yang baru saja bangun.

Bayi itu menguap kecil dan menggerakkan tangannya ke udara, mencari sesuatu.

Xian tersenyum tipis. "Kau lapar lagi, ya?"

Ia menyusuinya kembali, meski ia tahu bahwa semakin sedikit makanan yang ia dapatkan, semakin sulit bagi tubuhnya untuk memproduksi ASI.

Waktu terus berjalan. Hari-hari berlalu dengan perjuangan.

Ia belajar menyalakan api dengan kayu basah, menangkap ikan dengan jaring sederhana yang ia buat dari serat kain, dan mengenali tanaman liar yang bisa dimakan.

Namun, semakin lama, tubuhnya semakin lemah.

Semakin sulit baginya untuk menghasilkan ASI.

Setiap kali Li Wei menyusu, ia merasa tubuhnya terkuras lebih cepat.

Namun ia tidak punya pilihan.

Selama ia masih bisa memberikannya, ia akan terus memberikan segalanya untuk putranya.

Bayangan di Balik Pepohonan

Pada suatu malam, saat ia sedang duduk di dekat perapian kecil sambil menidurkan Li Wei, Xian merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Seakan-akan, ada seseorang yang mengawasinya.

Ia menajamkan pendengarannya, mendengar desiran daun di luar pondok.

Tangannya bergerak perlahan ke arah belati kecil yang disembunyikan di balik pakaiannya.

Apakah mereka telah menemukannya?

Dengan napas tertahan, ia menunggu dalam kegelapan.

Namun, yang terdengar hanyalah angin yang berbisik di antara pepohonan.

Untuk saat ini, ia masih aman.

Namun, Xian tahu bahwa ini hanya permulaan.

Dan suatu hari nanti, mereka pasti akan datang untuknya.

Untuk Li Wei.

Ia harus bersiap.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel