Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jalan Menuju Istana Bayangan

Malam turun dengan cepat, menyelimuti hutan dengan kegelapan yang nyaris pekat. Xian duduk di sudut pondok, matanya terus menatap surat yang ditinggalkan penculik Li Wei. Selir Mei. Nama itu bergema di kepalanya, membakar amarah yang telah lama ia pendam.

Di luar, Han Jian tengah mengasah pedangnya, kilatan logamnya memantulkan cahaya dari api unggun kecil yang mereka buat. Ia sudah memperingatkan Xian bahwa pergi ke Istana Bayangan tanpa rencana yang matang adalah bunuh diri. Tapi bagi Xian, tidak ada pilihan lain.

"Kita harus berangkat sebelum fajar," kata Xian akhirnya.

Han Jian menghela napas. "Kau sadar ini jelas jebakan, bukan?"

"Tentu saja," jawabnya dingin. "Tapi aku tidak peduli."

Han Jian mengangkat alisnya, menatapnya tajam. "Kalau kau mati, bagaimana dengan Li Wei?"

Xian mengepalkan tangan. Itu adalah pertanyaan yang tidak ingin ia pikirkan, tetapi Han Jian benar. Ia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai akalnya. Jika ia mati, Li Wei akan benar-benar kehilangan segalanya.

"Baik," katanya pelan. "Kita lakukan dengan rencana."

Han Jian mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah gulungan kain yang berisi peta tua.

"Istana Bayangan bukan bagian dari kompleks istana utama," jelasnya. "Itu tempat rahasia yang digunakan untuk menyembunyikan tawanan atau melakukan pertemuan yang tidak boleh diketahui siapa pun. Hanya ada satu jalan masuk, dan dijaga ketat."

Xian menatap peta itu dengan saksama. Ia tahu tempat itu, dulu ia pernah mendengar para selir membicarakannya. Tempat itu dikenal sebagai tempat di mana musuh-musuh istana menghilang tanpa jejak.

"Jika kita ingin masuk tanpa tertangkap, kita butuh bantuan," lanjut Han Jian.

Xian menatapnya curiga. "Bantuan dari siapa?"

Han Jian tersenyum tipis. "Dari seseorang yang membenci Selir Mei lebih dari kau."

Menjelang fajar, mereka telah mencapai tepi kota. Xian mengenakan jubah lusuh dengan tudung besar untuk menyembunyikan wajahnya. Han Jian berjalan di sisinya, menyelipkan belati di balik sabuknya.

Mereka berhenti di sebuah kedai teh kecil di sudut pasar. Han Jian masuk lebih dulu, sementara Xian menunggu di luar, tetap berada dalam bayangan.

Tak lama, seorang wanita dengan pakaian pelayan keluar dari kedai, berpura-pura menyapu jalanan. Namun, begitu ia mendekati Xian, ia berbisik, "Ikut aku."

Xian mengikutinya melewati gang-gang sempit hingga tiba di halaman belakang sebuah rumah tua.

Di dalamnya, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun sedang duduk dengan tenang, menuangkan teh ke dalam cangkir porselen. Rambutnya disanggul tinggi, dan gaunnya meskipun sederhana, terbuat dari kain berkualitas tinggi.

Xian mengenali wanita itu dalam sekejap.

Madame Xu.

Dulu, ia adalah salah satu selir favorit Kaisar sebelum ia jatuh dari kasih sayang dan dikirim ke sebuah biara untuk menghabiskan sisa hidupnya. Namun, dari cara ia duduk dengan tenang dan sorot matanya yang tajam, jelas bahwa ia belum sepenuhnya meninggalkan permainan istana.

"Aku sudah mendengar tentang nasibmu," kata Madame Xu, mengangkat cangkirnya. "Dan aku juga mendengar bahwa putramu kini berada di tangan Selir Mei."

Xian duduk dengan tegang. "Aku ingin masuk ke Istana Bayangan."

Madame Xu tersenyum samar. "Tentu saja. Tapi kenapa aku harus membantumu?"

Xian menatapnya lekat-lekat. "Karena jika Mei menang kali ini, kau tahu dia tidak akan berhenti sampai semua yang pernah menentangnya lenyap."

Madame Xu terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Benar juga."

Ia menatap Han Jian, lalu kembali menatap Xian. "Baiklah. Aku akan membantumu masuk. Tapi setelah itu, kau sendiri yang harus mencari jalan keluar."

Xian mengangguk. "Itu lebih dari cukup."

Madame Xu meletakkan cangkir tehnya dan bertepuk tangan dua kali. Seorang pelayan masuk, membawa sepotong kain hitam yang terlipat rapi.

Madame Xu mengangkat kain itu dan menyerahkannya pada Xian. "Pakai ini. Malam ini, kau akan menjadi bagian dari rombongan pelayan yang membawa makanan ke Istana Bayangan. Itu satu-satunya cara kau bisa masuk tanpa dicurigai."

Xian mengambil kain itu dan mengangguk. "Terima kasih."

Madame Xu tersenyum. "Jangan berterima kasih dulu. Kau belum tahu apakah kau akan keluar hidup-hidup atau tidak."

Malam tiba, dan Xian telah menyelinap masuk ke dalam rombongan pelayan yang membawa nampan makanan ke Istana Bayangan. Han Jian tidak bisa ikut masuk, jadi ia harus mengandalkan dirinya sendiri begitu berada di dalam.

Begitu melewati gerbang kayu besar, Xian merasakan hawa dingin yang menusuk. Istana ini memang bukan bagian dari istana utama, tetapi arsitekturnya tetap mewah dengan pilar-pilar besar dan lampion merah yang tergantung di sepanjang lorong.

Ia berjalan perlahan, menundukkan kepala seperti pelayan lainnya, mengikuti arus menuju ruang dalam. Namun, saat ia melintasi halaman tengah, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan.

Di tengah halaman, ada sebuah kereta kayu tertutup, dijaga oleh empat prajurit bersenjata.

Li Wei ada di dalamnya.

Xian menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak bereaksi. Ia tidak bisa bertindak sekarang, terlalu banyak mata yang mengawasinya.

Ia harus menunggu momen yang tepat.

Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara lembut tetapi beracun menghentikannya di tempat.

"Permaisuri Xian."

Jantung Xian berhenti sejenak.

Ia perlahan menoleh.

Di ujung lorong, berdiri seorang wanita dengan gaun sutra ungu, rambutnya dihiasi dengan sisir emas berbentuk bunga teratai. Wajahnya cantik, tetapi senyum di bibirnya penuh dengan kesenangan kejam.

Selir Mei.

"Lama tidak bertemu," katanya dengan suara halus, melangkah mendekat. "Aku tahu kau akan datang."

Xian tetap diam, tetapi tangannya perlahan bergerak ke arah belati kecil yang tersembunyi di balik pakaiannya.

Selir Mei tersenyum lebih lebar, lalu menoleh ke prajurit di sampingnya.

"Ambil anak itu dari kereta," perintahnya.

Xian menegang. Tidak.

Seorang prajurit membuka pintu kereta, dan seorang pelayan membawa keluar sosok kecil yang dibungkus kain tebal.

Li Wei.

Xian hampir kehilangan kendali saat melihat anaknya. Li Wei menggeliat kecil, matanya setengah tertutup.

Selir Mei menatap Xian dengan mata berbinar. "Jika kau ingin anakmu tetap hidup… serahkan dirimu."

Xian mengepalkan tangannya, napasnya memburu.

Ia tahu ini adalah jebakan. Jika ia menyerah sekarang, Li Wei mungkin akan tetap diambil darinya, dan ia tidak akan punya kesempatan lagi untuk melawan.

Namun, jika ia bertindak gegabah, Li Wei bisa mati di tempat.

Jantungnya berdebar.

Di kejauhan, ia menangkap bayangan Han Jian di atap istana. Ia masih punya sekutu.

Xian menarik napas dalam, menatap langsung ke mata Selir Mei.

Lalu, dengan suara rendah dan dingin, ia berkata:

"Kau harus membunuhku dulu."

Dan saat itu, lampion di atas mereka padam, tanda bahwa serangan telah dimulai.

Dalam sekejap, lorong Istana Bayangan berubah menjadi medan pertempuran.

Lampion-lampion yang tergantung di langit-langit mendadak padam satu per satu, meninggalkan kegelapan yang nyaris sempurna. Para prajurit langsung bereaksi, menarik pedang mereka dan berteriak memberi perintah. Tapi sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh.

SWISH!

Sebuah panah melesat dari kegelapan, menancap tepat di dada salah satu penjaga. Ia jatuh tanpa suara.

Selir Mei melangkah mundur dengan ekspresi kaget, matanya berkilat marah. "Serang!" teriaknya.

Xian tidak menunggu lebih lama. Dalam satu gerakan cepat, ia mencabut belati dari balik lengan bajunya dan melemparkannya ke arah prajurit yang berdiri paling dekat dengan Li Wei. Belati itu mengenai bahunya, cukup untuk membuatnya jatuh dan menjatuhkan Li Wei dari pelukannya.

"Wei'er!" Xian berlari menerjang.

Tetapi sebelum ia bisa meraih anaknya, seorang prajurit lain menarik pedangnya dan mengayunkannya ke arahnya.

CLANG!

Sebuah pedang lain menangkis serangan itu dari samping. Dari bayangan, Han Jian muncul, matanya tajam seperti elang dalam gelap.

"Kau terlalu lama," katanya sambil menangkis serangan lain dengan mudah.

"Jangan banyak bicara!" Xian melompat dan meraih Li Wei ke dalam dekapannya. Bayinya merengek ketakutan, tetapi masih hidup. Itu yang terpenting.

Namun, sebelum Xian bisa bernapas lega, suara langkah kaki berat menggema di lorong.

Lebih banyak prajurit datang.

Han Jian menghela napas. "Kita harus keluar sekarang."

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, sebuah suara dingin bergema di udara.

"Tidak ada yang akan keluar dari sini hidup-hidup."

Xian merasakan darahnya membeku.

Di ujung lorong yang gelap, sebuah sosok muncul. Tubuhnya tinggi dan ramping, jubahnya berwarna merah gelap seperti darah kering. Wajahnya separuh tertutup topeng emas yang berukir naga, tetapi mata hitamnya menatap mereka tanpa belas kasihan.

Han Jian menegang di tempat. "Tidak mungkin…"

Xian menatap pria itu dengan ngeri. Ada sesuatu yang aneh pada kehadirannya, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.

"Siapa dia?" bisik Xian.

Han Jian menggertakkan giginya. "Sang Bayangan Kaisar."

Dada Xian mencelos. Legenda hidup. Algojo rahasia istana.

Dan sekarang, ia ada di depan mereka.

Sang Bayangan Kaisar mengangkat tangannya. "Tangkap mereka."

Dan dalam sekejap, lebih banyak prajurit muncul dari balik dinding, mengepung mereka dari segala arah.

Xian mencengkeram Li Wei erat-erat, hatinya berdetak liar.

Tidak ada jalan keluar.

Tapi sebelum siapa pun bisa bergerak. Sebuah ledakan mengguncang istana.

Dinding di belakang mereka runtuh, dan dari balik kepulan debu dan api, seseorang muncul dari reruntuhan.

Seseorang yang seharusnya sudah mati.

Xian menatap sosok itu dengan mata melebar, jantungnya berhenti sejenak.

"Tidak mungkin..." bisiknya.

Sosok itu melangkah maju, jubahnya berkibar tertiup angin malam. Mata tajamnya bertemu dengan mata Xian.

Lalu, dengan suara rendah yang penuh dengan kepastian, ia berkata:

"Xian. Aku datang untuk membawamu pulang."

Dan di saat itu, semuanya berubah.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel