Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kembali dari Kematian

Xian berdiri membeku. Suara pertempuran di sekelilingnya terdengar seperti gema jauh yang nyaris tak ia sadari. Matanya terpaku pada sosok yang muncul dari kepulan asap dan reruntuhan.

Seseorang yang seharusnya sudah mati.

"Bagaimana bisa…?" suaranya hampir tak terdengar.

Sosok itu berdiri tegak, jubahnya berkibar tertiup angin malam. Wajah yang ia kenali. Mata yang pernah menatapnya dengan hangat, lalu hilang dalam kabut pengkhianatan.

"Liu Feng," Han Jian akhirnya bersuara, nada suaranya bercampur antara keterkejutan dan kewaspadaan.

Xian menggenggam Li Wei lebih erat. Jantungnya berdegup keras di dalam dadanya. Liu Feng. Pangeran kedua. Pewaris sah yang dianggap telah mati dalam kudeta bertahun-tahun lalu.

Tapi dia berdiri di sana. Hidup. Bernafas. Dan menatapnya langsung.

Sementara itu, Sang Bayangan Kaisar juga tampak terkejut sesaat, sebelum suaranya yang dingin memecah ketegangan.

"Kau seharusnya sudah mati."

Liu Feng menyeringai samar, tangannya meraih pedang panjang di pinggangnya. "Banyak orang mengira begitu," katanya, suaranya rendah tetapi penuh keyakinan. "Dan mungkin aku memang mati. Tapi malam ini… aku kembali."

Tanpa peringatan, ia bergerak lebih cepat dari angin.

CLANG!

Pedangnya berbenturan dengan milik Sang Bayangan Kaisar, menciptakan percikan api dalam kegelapan.

Xian terperangah melihat kecepatan Liu Feng. Ia bukan lagi pangeran lemah yang dulu ia kenal. Setiap ayunan pedangnya memiliki kekuatan mematikan, setiap gerakannya seperti telah terlatih bertahun-tahun di medan perang.

"Xian, kita harus pergi!" Han Jian menariknya dari lamunannya.

Xian mengangguk cepat, melangkah mundur sambil terus menggendong Li Wei. Tapi tepat saat mereka hendak melarikan diri.

Selir Mei muncul dari balik bayangan.

Dengan senyum liciknya, ia mengangkat sesuatu di tangannya. Sebuah belati mungil… dan ujungnya menempel pada leher seorang anak kecil.

Dada Xian mencelos.

Itu bukan Li Wei.

Tapi bocah laki-laki lain, sekitar lima tahun, dengan mata besar yang ketakutan. Bajunya kotor dan wajahnya dipenuhi bekas luka kecil.

Dan yang paling mengejutkan—bocah itu mirip dengan seseorang.

Sangat mirip dengan Liu Feng.

Xian menatap bocah itu, lalu Liu Feng, dan kemudian kembali ke Selir Mei. Jantungnya berdegup semakin cepat.

Selir Mei menyeringai, suaranya penuh kemenangan.

"Kau pikir hanya kau yang memiliki seorang anak, Xian?"

Mata Liu Feng membelalak, dan dalam sekejap, seluruh dunia Xian berhenti.

Waktu seolah melambat. Xian menatap bocah laki-laki itu, dari mata besarnya yang ketakutan, rambut hitamnya yang acak-acakan, dan ekspresi kebingungan di wajahnya.

Lalu, ia melihat Liu Feng. Sorot keterkejutan di matanya mengkonfirmasi segalanya.

Bocah itu adalah anaknya.

Dunia Xian seketika terasa berputar. Selama ini, ia percaya Liu Feng telah mati dalam kudeta, menghilang tanpa jejak. Tapi kini, bukan hanya ia hidup, ia memiliki seorang anak.

Selir Mei tersenyum puas melihat keterkejutan di wajah mereka. Ia menekan belatinya lebih dalam ke leher bocah itu, cukup untuk membuat setetes darah mengalir.

"Jangan bergerak," katanya pelan, nada suaranya penuh ancaman.

Liu Feng menggenggam pedangnya lebih erat, rahangnya mengatup. "Lepaskan dia."

Selir Mei tertawa kecil. "Dan menghilangkan kesenangan ini? Tidak, sayang sekali. Lagipula, kau yang meninggalkannya."

Xian melihat ekspresi Liu Feng berubah. Ada sesuatu di matanya, ada rasa bersalah.

"Dia tidak tahu," Selir Mei melanjutkan, suaranya berbisik menggoda. "Anak kecil yang malang ini tidak tahu siapa ayahnya. Dia mengira ibunya telah meninggal, dan sekarang—" ia menatap Xian, matanya bersinar licik, "dia mungkin akan melihat ibu barunya mati tepat di depan matanya."

Xian merasakan amarah membara di dalam dadanya. Tangannya mencengkeram Li Wei lebih erat, melindunginya seakan hidupnya bergantung padanya.

Han Jian bergerak sedikit di sisinya, mengamati setiap gerakan Selir Mei dengan waspada. "Apa maumu?" tanyanya dingin.

Selir Mei mendesah dramatis. "Oh, tidak banyak. Aku hanya ingin memastikan bahwa Liu Feng tidak berbuat sesuatu yang bodoh."

Liu Feng menatapnya tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya."

"Benarkah?" Selir Mei mendekatkan wajahnya ke bocah itu, membiarkan ujung belati menggores kulitnya sedikit lebih dalam. Bocah itu terisak pelan, tetapi tidak berani bergerak.

"Karena jika kau melakukan sesuatu yang tidak kusukai… aku akan memastikan kau kehilangan kedua anakmu malam ini."

Xian menghirup napas tajam.

Kedua anakmu?

Matanya membelalak, lalu beralih ke Liu Feng yang masih diam membisu.

"Li Wei…" bisiknya. "Kau tidak mengatakan—"

Liu Feng menutup matanya sejenak, lalu menghela napas berat. Ia menatap Xian dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Liu Feng," Xian mengulangi dengan suara gemetar. "Apa maksudnya?"

Liu Feng akhirnya berbicara, suaranya serak.

"Xian…" Ia menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Li Wei juga anakku."

Dunia Xian runtuh seketika. Dunia Xian seakan runtuh. Kata-kata Liu Feng menggema di benaknya, menenggelamkan suara di sekelilingnya.

Li Wei juga anakku.

Ia menggenggam bayi itu lebih erat, tubuhnya gemetar antara kemarahan dan keterkejutan. "Apa yang kau katakan… tidak masuk akal," bisiknya. "Kau berbohong."

Liu Feng menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Aku tidak berbohong, Xian."

Selir Mei menyeringai puas. "Betapa indahnya, bukan? Kau selama ini berusaha melindungi anakmu… tanpa menyadari bahwa kau juga telah membesarkan putra musuhmu."

Xian menatap Li Wei, matanya mencari sesuatu—kemiripan, kebenaran, atau mungkin harapan bahwa semua ini hanyalah kebohongan kejam. Tetapi, semakin ia menatap bayi itu, semakin ia melihatnya…

Li Wei memiliki mata Liu Feng.

"Kenapa… kenapa kau tidak pernah memberitahuku?" suara Xian pecah, dadanya terasa sesak.

Liu Feng menggeleng, ekspresinya penuh penyesalan. "Aku tidak bisa. Jika kau tahu, kau tidak akan pernah membiarkanku pergi. Dan aku harus pergi, Xian. Aku harus melindungi mu."

"Melindungi ku?!" Xian tertawa pahit, air matanya menggenang. "Kau meninggalkanku! Kau membiarkan aku dihukum, kau membiarkan aku diasingkan!"

"Kalau aku tetap tinggal, mereka akan membunuh kita semua," suara Liu Feng nyaris berbisik. "Zhao Jian… dia tahu tentang kita. Dia tahu tentang anak ini. Jika aku tidak pergi, dia akan memastikan tidak ada yang tersisa."

Xian menggeleng tak percaya. "Dan kau memilih untuk tetap diam selama ini? Kau membiarkan aku berpikir bahwa Kaisar adalah ayahnya?!"

Liu Feng menundukkan kepala. "Aku pikir itu lebih baik daripada kenyataan yang sebenarnya."

Selir Mei berdecak. "Oh, sungguh menyedihkan. Tapi sayangnya, kita tidak punya waktu untuk reuni keluarga yang menyentuh ini." Ia menekan belatinya lebih dalam ke leher bocah laki-laki yang masih dalam genggamannya. "Kita punya keputusan yang harus dibuat."

Han Jian, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. Matanya yang tajam menatap langsung ke Selir Mei. "Apa maumu?"

Selir Mei tersenyum. "Sederhana." Ia menatap Liu Feng. "Kau kembali ke istana. Bersumpah setia kepada Zhao Jian. Jadilah alatnya, dan anak-anakmu akan hidup."

Liu Feng mengepalkan tinjunya. "Kau tahu aku tidak akan melakukannya."

Selir Mei tertawa kecil. "Oh, aku tahu. Tapi pertanyaannya adalah… seberapa jauh kau bersedia berkorban demi mereka?"

Liu Feng terdiam, matanya penuh pergolakan.

Xian menatapnya, menahan napas.

"Aku menghitung sampai tiga," Selir Mei berbisik. "Satu…"

Xian menahan napas, tangannya gemetar.

"Dua…"

Liu Feng menatap anaknya, lalu Xian.

Kemudian,

Tiga.

Sebuah suara tajam terdengar.

Dan darah memercik ke lantai.Darah menetes ke lantai batu.

Xian membeku. Untuk sesaat, dunia terasa berjalan lambat. Ia melihat belati yang sebelumnya ada di tangan Selir Mei—sekarang tertancap di dada seseorang.

Liu Feng.

Ia berdiri diam, tubuhnya sedikit goyah, sementara darah mengalir dari luka di bawah tulang selangkanya. Tangan kanannya masih mencengkeram pergelangan tangan Selir Mei yang kini terkejut, sementara tangan kirinya mencengkeram bilah belati yang telah menusuknya, seolah menahan lebih dalam agar Selir Mei tak bisa menariknya kembali.

"Liu Feng!" Xian hampir berteriak, kakinya langsung melangkah maju.

Namun sebelum ia bisa mencapai mereka, sesuatu terjadi.

Liu Feng tersenyum.

Senyum kecil yang dingin, penuh ketenangan yang justru membuat bulu kuduk Xian meremang.

Dengan satu gerakan cepat, ia menarik belati dari dadanya sendiri dan dalam sekejap, ia membalikkan senjata itu, menusukkannya ke perut Selir Mei.

Terdengar suara cekikan tertahan.

Mata Selir Mei membesar, bibirnya bergerak seolah ingin berbicara, tetapi yang keluar hanyalah darah yang merembes dari sudut bibirnya.

Liu Feng mendekatkan wajahnya ke telinga Selir Mei dan berbisik pelan, hampir tanpa emosi.

"Kau seharusnya tidak pernah menyentuh anakku."

Selir Mei terhuyung ke belakang, tangannya mencoba menghentikan darah yang terus mengalir dari perutnya. Ia menatap Liu Feng, lalu Xian, sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan napas terputus-putus.

Lalu, ia roboh.

Diam.

Hanya suara angin yang berhembus melalui celah jendela istana tua itu.

Xian merasakan tubuhnya masih gemetar, tetapi ia segera tersadar dan berlari ke arah Liu Feng. "Jangan bergerak! Biarkan aku melihat lukamu!"

Liu Feng menyeringai lemah. "Ini bukan pertama kalinya aku tertusuk belati, Xian…"

"Tutup mulutmu." Xian merobek bagian bawah jubahnya untuk menekan luka di dada Liu Feng, tetapi darah terus mengalir, menghangat di telapak tangannya.

Han Jian yang sejak tadi diam akhirnya melangkah maju. "Kita tidak bisa tinggal di sini. Orang-orang Zhao Jian pasti akan segera datang."

Xian mengangkat wajahnya, matanya penuh kecemasan. "Tapi dia—"

"Aku baik-baik saja," potong Liu Feng, meskipun jelas wajahnya mulai pucat. "Tapi Han Jian benar. Kita harus pergi."

Xian menggigit bibirnya. Ia tahu mereka tidak bisa tinggal lebih lama, tetapi....

Tangisan kecil terdengar.

Mata Xian langsung menoleh ke sudut ruangan. Li Wei!

Bayi itu masih terbaring di atas bantal sutra merah, menangis dalam tidurnya. Xian segera berlari dan menggendongnya erat, mengecup kepalanya dengan air mata yang hampir jatuh.

"Aku di sini, Wei'er… Aku di sini…"

Saat ia berbalik, Han Jian telah membantu Liu Feng berdiri, menopangnya dengan satu tangan.

"Kita harus keluar sekarang," kata Han Jian tegas. "Zhao Jian pasti sudah tahu."

Xian mengangguk. Dengan Li Wei di gendongannya dan belati berlumuran darah di tangannya, ia melangkah maju.

Tetapi sebelum mereka bisa mencapai pintu.

Braak!

Pintu utama istana tua itu terbuka lebar dengan keras.

Dan di ambangnya, berdiri seorang pria berjubah hitam keunguan dengan mata dingin yang penuh kekuasaan.

Perdana Menteri Zhao Jian.

Ia tidak sendirian. Pasukan penjaga istana berbaris di belakangnya.

Mulutnya melengkung dalam seringai tipis. "Sungguh pemandangan yang menarik," katanya dengan nada rendah. "Seorang mantan jenderal yang sekarat. Seorang permaisuri yang lari dari pengasingan. Dan seorang bayi yang… seharusnya sudah mati."

Matanya beralih ke Liu Feng, lalu ke Xian.

"Kalian sungguh membuat semuanya menjadi lebih mudah untukku."

Ia mengangkat satu tangan.

"Tangkap mereka. Hidup-hidup."

Dan saat pasukan mulai bergerak, Xian tahu…

Mereka telah jatuh ke dalam perangkap.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel