Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Sebuah Firasat

7. Sebuah Firasat

"Mbak, kamu di panggil pak Burhan tuh," Rika tiba-tiba muncul saat Tari sibuk dengan angka-angka di layar.monitor di hadapannya. Dihentikan gerakannya pada papan keyboard lalu menyimpan hasil kerjanya.

"Dipanggil karena apa, Rik?" Tari masih tidak beranjak dari kursi kerjanya.

"Mungkin masalah surat pengunduran diri Mbak Tari tempo hari. Udah semingguan kan kayaknya Mbak ngajuin?" Tari mengangguk pelan. Ya, sudah satu minggu lebih ia mengajukan surat pengunduran diri itu namun baru hari ini ia mendapatkan kabar.

"Aku ke pak Burhan dulu kalau gitu ya, Rik?" Rika mengangguk. Tari pun berlalu meninggalkan meja kerjanya.

Lima belas menit kemudian ia sudah kembali ke meja kerjanya. Ia menghempaskan tubuh dikursi empuknya. Embusan napas lelah seketika terdengar. Ternyata memang semuanya tak semudah yang ia kira.

Ia masih harus menghadap pemimpin tertinggi hotel ini. Kali ini pihak HRD tidak begitu saja meluluskan pengajuan pengunduran dirinya. Banyak hal yang menjadi alasannya. Dan karena itulah mereka sudah melaporkan masalah ini kepada Surya.

Tari mendesah, lagi. Ini pasti akan menjadi hal yang begitu sulit. Setelah kembali dari Jakarta, ia sudah tidak berinteraksi lagi dengan pria itu. Akan sangat aneh jika ia sampai berdekatan dengannya. Pasti akan banyak orang yang memandang curiga. Seorang staff biasa seperti Tari akan terlihat aneh jika berdekatan dengan Surya si General Manager.

Lagi pula Tari merasa tak nyaman dengan hal itu. Surya sudah menunjukkan sikapnya. Maka Tari harus bisa menjaga diri sebaik-baiknya.

Beberapa kali Tari sempat berpapasan dengan pria itu. Tari hanya mengulas senyum dan sekedar menyapa saja, tidak lebih karena ada orang lain di sekitar mereka. Namun, pernah suatu hari Tari kebetulan berada dalam satu lift bersama Surya. Ya hanya satu kali. Dan pria itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Pria itu mengajaknya makan siang, namun Tari menolak. Tak cukup hanya di sana, Surya juga sempat mengatakan jika ia begitu merindukannya. Untung saja tak lama kemudian pintu lift berdenting dan tak lama kemudian ada orang yang memasuki lift.

***

"Besok jadi kan aku jemput kamu, Ma?" Andra bertanya saat mereka berdua sudah berada di ranjang empuk kamar mereka.

"Iya. Dong. Besok rencananya aku mau menghadap pak Surya, moga aja semuanya lancar." Tari benar-benar khawatir akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi saat bertemu Surya besok. Namun apapun itu, ia sudah mempersiapkan diri.

"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu, Ma? Aku khawatir kamu masih berat." Andra meraih kepala Tari merebahkannya dalam lengannya.

"Kok malah ngomong gitu? Mas nggak rela nih aku berhenti kerja. Kan lebih senang aku bisa di rumah terus. Tiap hari bisa masakin, nyiapin kebutuhan Mas dan anak-anak." Tari sedikit heran dengan pertanyaan suaminya. Bukankah pria itu sering kali begitu senang saat Tari lebih banyak di rumah. Namun sekarang kenapa pria itu terlihat ragu.

"Bukan gitu, Ma. Aku khawatir kamu bosan di rumah. Anak-anak kan sekolah sampai siang. Lagi pula kamu kan begitu mencintai pekerjaan kamu. Di sisi lain aku merasa terganjal. Aku takut jika kamu berhenti, tiba-tiba saja aku tidak bisa menyokong kebutuhan keluarga kita dengan baik." Tari mendesah. Namun sedikit merasa ganjil dengan perkataan suaminya. Memang Andra tahu, betapa besar rasa cinta Tari pada pekerjaannya. Namun sepertinya hal itu tidaklah cukup jadi alasan.

"Kok ngomongnya gitu? Mas tahu sendiri kan, pendapatan terbesar kita dari usaha yang Mas kelola. Meskipun aku nggak kerja kita nggak bakalan kekurangan. Mas tahu sendiri aku bukan orang yang suka hidup dengan menghamburkan uang. Saat ini kita juga sudah mempunyai segalanya. Kita hidup lebih dari cukup. Jadi berhenti mengkhawatirkan hal yang tak pasti." Andra mengangguk mengiyakan perkataan istrinya.

"Kamu harus jadi orang yang kuat, dan kamu harus tahu, sesulit apapun hidup kita kelak aku tak akan membiarkan kalian hidup susah. Aku akan selalu berusaha membahagiakan kamu dan anak-anak, Ma."

Tari menyunggingkan senyum dipeluknya tubuh suaminya erat. Inilah yang membuatnya semakin jatuh cinta kepada suaminya. Suaminya selalu memprioritaskan istri dan anak-anaknya. Delapan tahun menikah tak sekalipun mereka terlibat pertengkaran. Semuanya begitu sempurna.

***

"Tiga puluh menit lagi aku sampai, Ma. Nanti kamu langsung turun ke lobi aja ya. Aku mencintai kamu dan anak-anak. Jaga diri baik-baik." Suara Andra yang terdengar riang kali ini merasuk di telinga Tari saat ia menerima panggilan telepon pria itu.

Hari ini Tari sudah meminta izin untuk pulang lebih awal. Ia dan suaminya akan menghadiri akad nikah salah satu sepupu Andra di luar kota. Mereka harus bersiap dan harus tiba tepat waktu.

Tari memasukkan ponsel ke dalam tasnya, membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di meja kerjanya. Tak lama kemudian ia bergegas meninggalkan ruangannya dengan membawa berkas pengunduran dirinya yang sebelumnya ia ambil dari HRD.

Saat ini ia harus menemui Surya. Manajer HRD mengatakan sang bos besar berkeinginan untuk bertemu langsung dengan Tari.

Aneh. Tari merasa sedikit ganjil dengan hal itu. Namun ia harus tetap melakukannya. Maka akhirnya ke sinilah kakinya melangkah. Menuju ruangan Surya.

Melly, si sekretaris tampak sibuk di meja kerjanya. Tari pun mendekati wanita muda itu. "Mel, pak Surya ada ya?" tanya Tari.

"Oh, hai Mbak Tari. Emm... Bapak baru saja naik ke kamarnya di atas. Tadi beliau berpesan jika Mbak Tari datang, Mbak langsung naik saja." Tari mengerutkan kening.

"Ke kamarnya?" tanya Tari tak yakin.

Melly membalas dengan senyuman. "Iya, Mbak. Kayaknya pak Surya nggak enak badan. Makanya beliau langsung naik ke kamar."

"Masak ke kamar sih, Mel. Aku nitip kamu aja ya. Kamu yang sampaiin ke beliau." Tari masih menyisakan sedikit kewarasannya. Entah apa tujuan pria itu menyuruhnya ke kamarnya. Apa benar memang ia sakit atau hal lain. Tari tak tahu dan tak ingin tahu.

"Jangan, Mbak. Mbak Tari kasih langsung aja. Lagian kan pak Surya sudah tahu kalau Mbak Tari mau menghadap." Tari terdiam memikirkan kalimat Melly. Menimbang apakah ia harus menemui Surya atau tidak. Tapi jika ia tak melakukannya sekarang, proses pengunduran dirinya akan terhambat.

"Aku mau pulang lebih awal, Mel. Sudah izin tadi. Aku nitip kamu aja ya. Nanti kamu sampaikan aja ke pak Surya."

"Mbak Tari langsung aja deh naik. Tadi kan kan pak Surya sudah berpesan. Aku takut nanti disalahin, Mbak." Wajah Melly memelas.

Tari menarik napas berat. Dengan terpaksa ia mengiyakan ucapan Melly.

"Aku nitip tas di sini aja ya. Cuma sebentar kok." Tari bertanya sebelum berlalu dari hadapan Melly. Setelah mendapatkan jawaban iya, wanita itupun bergegas menuju lift untuk naik ke lantai tiga. Lantai di mana kamar Surya berada.

Tari mengeluh dalam hati. Kenapa juga pria itu tidak segera mencari rumah untuk ia huni. Kenapa harus tinggal di hotel sendirian tanpa istri yang menemani.

Langkah Tari semakin mendekati kamar Surya. Entah kenapa dadanya berdegub tak nyaman. Bukankah ia pernah berada dalam satu kamar dengan Surya beberapa hari lalu? Kenapa saat ini rasanya begitu berbeda. Ada rasa takut atau entah apa lagi yang bercokol di dada Tari.

Tinggal beberapa langkah ia tiba di depan pintu kamar pria itu. Terdengar suara pintu terbuka menampakkan seseorang keluar dari kamar Surya. Dirga, asisten Surya yang muncul.

"Pak Surya ada ya, Pak?" tanya Tari begitu pria itu menyadari kehadirannya.

"Oh, ada. Beliau sudah menunggu Ibu." jawab Dirga datar. Entah kenapa aura yang ditampakkan Dirga terlihat begitu dingin. Selama Tari mengenal Dirga beberapa waktu terakhir, pria itu terlihat layaknya robot. Dingin dan bagi Tari terkesan kejam jika dilihat dari wajahnya yang selalu datar. Seharusnya yang berwajah datar adalah sang bos bukan asistennya.

Setelah dipersilakan, Tari segera memasuki kamar Surya. Berkas pengajuan pengunduran dirinya ada di tangan. Semoga saja semuanya akan berjalan sesuai dengan rencananya. Harap Tari begitu memasuki kamar Surya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel