Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Bencana Itu Mulai Datang

8. Bencana Itu Mulai Datang

"Selamat siang, Pak. Mohon maaf mengganggu. Tadi saya mendapatkan pesan dari Melly jika saya harus menemui Bapak di sini," buka Tari begitu ia tiba di meja di hadapan pria yang sedari tadi membuatnya gundah.

Tak ada reaksi dari Surya. Pria itu tampak mengotak atik kamera di tangannya. Entah apa yang akan pria itu lakukan. Dulu, belasan tahun lalu saat mereka bersama seingat Tari pria itu selalu menyukai fotografi. Tari adalah sasarannya. Pria itu tak pernah bosan mengambil gambar-gambarnya yang biasanya terlihat luar biasa.

Beberapa kali terdengar bunyi kamera yang digunakan untuk memotret. Tari mau tak mau merasa jengkel. Apakah pria itu dengan tak tahu malu telah memotretnya?

"Kamu selalu terlihat cantik, Ri. Dari dulu hingga detik ini." Surya berkata tanpa melihat Tari. Pria itu seolah berbicara pada kamera di tangannya. Akhirnya perlahan Tari melangkah mendekati meja pria itu. Diletakkannya berkas pengunduran dirinya tepat di hadapan Surya.

"Mohon maaf sebelumnya. Saya diminta pihak HRD untuk menemui Bapak terkait proses pengunduran diri saya. Makanya saya di sini untuk meminta persetujuan dari Bapak untuk memproses hal tersebut."

Surya mendongak menatap lurus sosok Tari di depannya. Kamera yang sedari tadi dipegang ia letakkan di atas meja di hadapannya.

"Kenapa kamu ingin mengundurkan diri?"

Tari mendesah. Pertanyaan yang Surya ajukan akan berbuntut panjang. Ingin menjawab karena kamu namun lidahnya tak mungkin melakukan itu.

"Apa karena kata-kataku tempo hari? Kenapa harus menghindar? Kamu takut jatuh cinta kepadaku lagi? Atau kamu masih mencintaiku namun kamu tak ingin mengkhianati suami kamu?" Surya memberondong tanpa ampun. Dari semua pertanyaan itu hanya satu yang salah. Ia tidak mencintai pria itu. Namun hal mengerikan yamg ia takuti adalah kembali jatuh cinta kepadanya. Tari masih ingat betapa sulitnya ia menghapus nama pria itu saat pria itu dulu pergi meninggalkannya.

Meninggalkan dirinya setelah mengucapkan betapa pria itu mencintainya. Sungguh aneh. Jika memang pria itu mencintainya kenapa justru meninggalkannya? Bagi Tari, tidak ada yang namanya mantan terindah. Jika memang terindah maka sudah pasti tak akan ada kata mantan dalam hubungan mereka. Mungkin mereka akan terus bersama hingga mengikrarkan janji yang sah di mata hukum juga agama.

"Bukankah tak pernah ada kata putus di antara kita?" lanjut pria itu. "Kalau aku ingin mengambilmu kembali dari suamimu lalu kamu bagaimana?"

"Hentikan omong kosongmu itu, Mas."

"Itu semua bukan omong kosong." Surya bangkit dari kursinya bergerak cepat dan tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di hadapan Tari yang mulai menciut nyalinya.

"Aku mencintaimu sejak tiga belas tahun lalu."

"Bohong."

"Aku yang tahu perasaanku."

"Jika kamu mencintaiku tak mungkin kamu menikahi Airin," balas Tari lantang yang seketika membuat Surya tertegun.

"Aku sudah terlanjur terikat janji. Saat itu kami sudah bertunangan," jawab Surya memelas.

"Dan pria yang sudah bertunangan itu berselingkuh dengan mahasiswi baru yang masih polos yang tidak tahu apa itu arti mencintai."

"Maafkan aku. Aku terlambat bertemu denganmu. Aku justru jatuh cinta kepadamu saat sudah terikat dengan orang lain." Tari hanya mendengus.

"Aku ingin pergi dari sini, Mas. Tempat ini sudah tidak lagi membuatku nyaman. Ada rasa bersalah yang menggelayut di dadaku saat aku memikirkan suamiku. Aku sudah berkeluarga. Suami dan anak-anakku membutuhkanku. Aku ingin mengabdikan diriku untuk mereka."

"Lalu bagaimana dengan aku?"

"Kembalilah pada istrimu. Perbaiki semuanya."

Surya menggeleng. "Aku sudah pernah berkata kan, jika aku kembali bertemu denganmu maka aku yakin kamu adalah jodohku. Dan aku tak akan pernah melepasmu lagi," Surya menjeda kalimatnya.

"Aku akan mengambilmu dari suamimu."

"Kamu sudah gila!"

"Anak-anakmu masih kecil. Aku akan membesarkan mereka seperti anakku sendiri. Mereka lahir dari rahim wanita yang aku cintai."

"Jangan berkata konyol. Apapun yang kamu inginkan, kamu tak akan mendapatkan hal itu. Aku mencintai suamiku. Aku mencintai anak-anakku. Aku tak akan menghancurkan kebahagiaan keluarga kecil kami dengan menghadirkan kamu di dalam rumah tanggaku. Sekarang aku sampaikan sekali lagi. Aku mengundurkan diri. Entah kamu setuju atau tidak. Aku akan pergi dari tempat ini. Keluargaku lebih penting dari sekedar pria gila sepertimu." Tari berteriak emosi.

Ia sudah tak dapat menahan emosinya lagi. Segera ia berbalik menuju pintu kamar Surya. Ia harus pergi dari tempat ini. Kegilaan Surya sudah tidak dapat ditoleransi. Keutuhan rumah tangganya yang akan menjadi korban jika ia terus bersikap lunak pada Surya.

Saat tangan Tari sudah meraih gagang pintu dan membukanya, sentakan kuat seketika ia rasakan. Tubuhnya oleng menubruk tubuh kokoh di belakangnya. Belum sempat hilang kekagetannya tubuhnya kembali terdorong pada dinding keras. Tanpa persiapan, kepala bagian belakangnya pun ikut terbentur benda keras itu menyisakan pening dan nyeri yang menyakitkan. Tak sempat mengeluhkan kesakitannya, sebuah benda kenyal tiba-tiba sudah berlabuh di bibirnya. Meraup cepat layaknya kelaparan.

Mata Tari terbelalak seketika. Wajah Surya begitu dekat di hadapannya dan pria itu menciumnya dengan begitu rakus. Tari berusaha menggelengkan kepala untuk melepas ciuman itu namun pria itu menghimpitnya dengan begitu kuat dan sepertinya juga sudah kesetanan.

Dengan kurang ajar, pria itu menarik turun blazer yang ia kenakan menyisakan blus tipis berbahan lembut yang segera saja jadi sasaran kebuasannya. Pria itu menarik paksa blus itu hingga terdengar robekan keras. Detik berikutnya Tari merasakan perih yang cukup menyengat di lehernya pasti pria itu menghisap dengan begitu keras hingga meninggalkan bekasnya di sana.

Tari berteriak keras. Memohon untuk dilepaskan. Namun telinga Surya sepertinya sudah tuli. Pria itu dengan kasar membawa tubuh Tari ke atas ranjang besar kamar lalu menindihnya di sana.

Jika cara halus tidak bisa ia gunakan untuk mendapatkan Mentari-nya kembali, maka cara kotorpun akan ia lakukan. Itulah yang ada di otak Surya.

Maka tanpa memedulikan pemberontakan juga teriakan minta ampun juga minta tolong Tari, pria itu akhirnya menikmati apa yang sudah ia impikan sejak tiga belas tahun yang lalu. Impian untuk menyentuh Mentari-nya. Menjadikan wanita itu miliknya seutuhnya. Menyentuh dan merasakan setiap jengkal tubuhnya. Merasakan kehangatan wanitanya yang membungkusnya erat hingga nyaris membuatnya gila.

***

Sementara di dalam kamar Surya terjadi ketegangan luar biasa, di depan pintu kamar yang masih tak tertutup itu seorang wanita tampak kebingungan sekaligus ketakutan luar biasa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Ia berniat masuk untuk mengusik kegiatan panas itu dan menghentikan ulah buas pria yang seperti kesehatan memasuki wanita di bawahnya.

Setelah menarik napas berulang kali dan mengambil keputusan, tangannya segera terulur untuk mengetuk pintu yang tidak tertutup itu. Setidaknya ia ingin menghentikan ulah pria itu dengan cara yang masih bisa dibilang sopan.

Namun belum sampai tangan itu menyentuh pintu. Sebuah tangan lain menggenggamnya erat. Terkejut, wanita itu menolehkan kepalanya ke samping demi bisa melihat sosok yang menghalangi niatnya. Seketika matanya membulat kaget.

"Jangan terlalu ikut campur hal yang bukan urusan kita," ucap sosok itu pelan diikuti dengan gerakan tangannya yang meraih gagang pintu dan menutup pintu itu rapat hingga suara rintihan kesakitan juga erangan penuh kenikmatan yang masuk silih berganti di telinganya seketika hilang dari pendengaran.

"Itu tadi pemerkosaan!" Jerit wanita itu merasa tak terima sosok di depannya menutup pintu kamar di depannya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel