Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Salah

6. Salah

"Setidaknya bisakah kita memulai semuanya dari awal? Kita bisa berteman kan?"

Tari menarik napas berat. "Justru kamu yang tidak bisa melakukan hal itu. Di awal pertemuan kita kamu dengan tak tahu sopan santun sudah berusaha melecehkanku."

"Itu bukan melecehkanmu. Tapi menumpahkan rasa rinduku." Sela Surya membela diri.

"Menumpahkan rasa rindu dengan memeluk wanita yang tidak ada hubungan apapun lalu dinamakan apa? Jika ada orang lain yang melihat. Bisa saja menimbulkan prasangka tidak baik."

"Maaf. Lagi pula aku memelukmu saat hanya berdua saja kan? Tidak ada orang yang melihatnya."

"Aku ingin menjalani kehidupanku secara normal. Jangan menjadi sumber masalah pada kehidupan orang lain, Mas. Jaga sikap kamu."

Surya mengangguk mengiyakan. Senyumnya perlahan terbit. "Jadi kita bisa kan mulai berteman dari sekarang?" Surya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Aku Surya."

Senyum Surya menular. Tangan Tari terulur menyambut jabat tangan pria itu. "Aku Mentari. Senang bisa mengenalmu." Mereka akhirnya terbahak. Menit selanjutnya mereka habiskan untuk saling berbagi cerita.

Malam hari sebelum pembukaan diklat mereka sempat makan malam bersama. Pria itu ikut bergabung dengan para peserta diklat saat menikmati makan malamnya. Tidak masalah bagi Surya, setidaknya ia bisa menghabiskan waktu dengan Tari lebih lama.

Hari-hari yang Tari rasakan setelahnya menjadi begitu ringan. Surya mulai bersikap menyenangkan. Tidak semengerikan seperti pertemuan pertama mereka. Pria itu juga tidak pernah memaksakan keinginannya. Hal yang benar-benar membuat Tari merasa begitu lega. Perasaan tertekan bahwa ia sedang mengkhianati suaminya perlahan menghilang. Ia sudah menjalani hari-harinya dengan benar.

Surya sesekali mengajaknya untuk sarapan, terkadang makan siang atau juga makan malam. Setidaknya dalam satu hari Tari menyediakan waktunya untuk Surya meskipun hanya sebentar.

Sebenarnya Tari heran, kenapa pria itu justru ada di tempat ini dan meninggalkan pekerjaannya di Surabaya. Namun begitu mendengar penjelasan Surya jika pria itu sedang menyelesaikan beberapa hal yang sempat ia tunda sebelum kepindahannya minggu lalu, seketika membuat Tari merasa lega. Setidaknya pria itu memang sedang bekerja di tempat ini. Bukan hanya mengejarnya. Yah, anggap saja Tari terlalu percaya diri.

***

"Jam berapa kamu akan berangkat ke bandara besok?" Surya bertanya di setelah menelan makanan dalam mulutnya. Saat ini ia dan Tari sedang menikmati makan malam mereka. Tak seperti sebelumnya yang selalu menikmati makanan bersama-sama dengan para peserta diklat, kali ini mereka menikmati makan malam di rooftop hotel tempat Tari diklat.

Awalnya Tari menolak namun karena bujukan Surya akhirnya ia mengiyakan. Anggap saja sebagai salam perpisahan karena nanti jika mereka sudah kembali bekerja, mereka tak akan bisa bertemu dengan mudah.

"Jam tujuh dari sini," Tari menjeda kalimatnya. "Aku nggak enak Mas kalau kita makan di sini." Tari berucap pelan begitu salah satu pelayan mencatat pesanan mereka.

"Kenapa, kamu tidak suka tempat ini?" Tari menggeleng.

"Kalau ada seseorang yang mengenalku bagaimana. Di sini banyak orang yang menikmati makan malam mereka. Lagi pula apa istri kamu nggak keberatan kamu seharian nggak pulang? Hotel ini adalah milik keluargamu, pasti semua yang ada di sini mengenal kamu, Mas."

Surya menyunggingkan senyum. "Kamu nggak usah khawatir akan ada orang yang mengenalmu. Satu-satunya peserta dari Jawa Timur hanya kamu. Tak ada yang lain. Kalau masalah ada orang yang mengenalku ya sudah pasti. Sebelum aku pindah ke Surabaya, aku memang bekerja di sini. Kakakku yang memegang hotel ini."

Tari melotot tak percaya. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"

"Aku pikir kamu sudah tahu. Bukankah saat perkenalan dulu aku sudah menyebutkan jika sebelumnya aku bertugas di sini." Surya tersenyum geli. Tangannya meraih gelas di depannya lalu meneguknya hingga tersisa separuhnya.

"Iya sih. Seharusnya aku berpikir ke sana. Berarti semua orang di sini mengenalmu dengan baik?" Surya mengangguk.

"Benar-benar memalukan. Aku berkali-kali menghabiskan waktu bersama suami orang dan semua orang mengetahui hal itu." Tari menutup wajah dengan telapak tangannya.

"Kamu nggak usah berpikiran serumit itu, Ri. Aku sudah biasa makan siang dengan klien, makan malam dengan teman-temanku." Surya mulai terbahak.

"Tapi aku tidak pernah. Dan aku nggak mau lagi dekat-dekat sama kamu, Mas. Takut terjadi fitnah."

"Emang kapan lagi kita dekat. Besok kamu sudah berangkat. Di kantorpun belum tentu kamu mau bertemu denganku." Tari hanya mengedikkan bahunya tak peduli. Ia menikmati potongan kentang terakhir di piringnya.

"Sampaikan salamku untuk Mbak Airin ya." Tari akhirnya berucap setelah meneguk minumannya. Pandangannya lurus menatap Surya. Pria itu tampak terdiam sebelum akhirnya berucap.

"Aku tidak akan menyampaikannya." Alis Tari terangkat sebelah. Merasa heran dengan ucapan Surya.

"Kenapa?"

"Karena dia tahu hingga detik ini aku masih mencintaimu."

Hening. Tak ada kalimat yang terlontar baik itu Surya maupun Tari.

"Beberapa waktu yang lalu dia malah sudah mengajukan gugatan perceraian."

"Mas," Tari berseru pelan menutup mulutnya tak percaya.

"Dia tidak salah. Akulah yang salah. Sejak awal aku sudah membohonginya. Dia tidak bahagia dengan pernikahan kami begitupun aku. Mungkin karena itulah hingga saat ini kami belum dianugerahi keturunan meskipun delapan tahun telah berlalu."

"Kamu benar-benar tega, Mas. Bagaimana mungkin kamu ...," Kalimat Tari terpotong.

"Awalnya dia tak tahu. Tapi entah bagaimana, malam itu mulut sialanku tanpa sadar menyebut namamu saat percintaan kami sedang berada di puncak."

"Kamu benar-benar mengerikan, Mas."

Surya mendesah lelah. "Selama ini itulah yang aku lakukan agar kami bisa berhubungan layaknya suami istri normal lainnya. Cuma kamu yang ada di otakku."

"Hentikan kegilaanmu. Aku menyesal telah menawarkan pertemanan kembali dengan kamu. Kamu benar-benar gila."

"Itulah aku. Tiga belas tahun aku menunggu pertemuan ini tanpa berusaha mencarimu. Satu hal, aku selalu meyakini. Jika memang kita berjodoh maka kita pasti akan dipertemukan kembali. Dan ternyata benar kan? Kita kembali bertemu. Perlu kamu tahu, aku tak merencanakan pertemuan kita. Semuanya terjadi begitu saja."

"Akhiri kegilaan kamu, Mas. Perbaiki hubungan kamu dengan istrimu. Minta maaflah kepadanya. Jalani kehidupanmu, begitupun aku."

"Aku bahkan ragu untuk melakukan itu."

"Tidakkah kamu ingin menata rumah tanggamu lagi. Memperbaiki semuanya. Pernikahan kalian sudah begitu lama. Apa kamu tidak menyayangkan hal itu."

"Entahlah. Di kepala ku tidak ada bayangan tentang semua itu. Aku justru membayangkan pulang ke sebuah rumah sederhana setelah seharian lelah bekerja. Saat aku membuka pintu kamu menyambutku dengan wajah berbinar lalu memberikan ciuman selamat datang kepadaku. Di belakangmu anak-anak kita berlarian menyambutku saling berebut untuk membawakan tas kerjaku." Pandangan Surya tampak menerawang yang seketika membuat Tari bergidik ngeri. Inilah yang ia takutkan. Firasatnya benar-benar terbukti. Surya masih pantamg menyerah.

"Kamu sudah gila, Mas. Sudahi ini semua. Terima kasih untuk makan malamnya. Aku harap Mas melakukan saranku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dalam kerumitan hidup kamu." Tari bangkit dari kursinya bersiap pergi dari tempat yang sebenarnya begitu sayang untuk ditinggalkan.

"Tidak usah terlalu ketakutan, Ri. Cukup kamu diam di tempat kamu. Aku tak akan mengganggumu. Setidaknya aku merasa begitu lega akhirnya aku bisa kembali bertemu dengan kamu." Surya bangkit mengikuti gerakan Tari meninggalkan meja mereka. Awalnya Tari menolak pria itu mengantar hingga ke kamarnya, namun karena terus memaksa, akhirnya Tari hanya bisa menurut.

Begitu Tari mengucapkan selamat tinggal, pria itupun akhirnya pergi meninggalkan Tari yang telah membuka pintu kamarnya. Setelah menutup rapat pintu, Tari seketika menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Ditepuk wajahnya berulang kali meyakinkan apa yang baru saja ia alami bukan hanya sekedar mimpi.

Hari-hari yang mungkin akan terasa berat sudah di depan mata. Dan satu hal yang Tari syukuri, keputusannya untuk meninggalkan pekerjaannya sepertinya adalah keputusan yang paling tepat untuk saat ini.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel