Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Malam itu, Lamia melihat bahwa Pandji ikut makan malam bersama di ruang makan. Banyak dari orang-orang menyambutnya dengan baik, dan sang Nyonya Besar juga tampak menyayangi sepupu dari pihak almarhum suami nya itu.

Lamia mendengar jika keluarga Ayah mertua nya adalah keturunan orang Inggris. Eyang Wardana di masa lalu merupakan seorang pejuang yang tinggal secara nomaden sebelum akhirnya menetap di Indonesia. Ia lalu mulai mengembangkan bisnis di banyak bidang, termasuk supermarket besar, hotel, resort, tempat hiburan dan lain-lain.

Karena beliau menyukai berkeliling dunia, dari sana dia membuat anak-anak perusahaan sehingga sukses sampai sekarang. Lamia tidak heran kalau ternyata keluarga suami nya ini terkenal dan kaya raya. Hanya saja ia masih sedih tentang fakta keluarga nya sendiri yang telah jahat menjual nya demi perusahaan.

Walau Lamia mengerti, kedua orang tua nya pasti terpaksa menyerahkan dirinya. Lamia masih sakit hati. Tidak peduli apa pun tentang keputusan mereka ini untuk menyelamatkan bangkrut nya perusahaan, Lamia tidak merasa jadi pahlawan keluarga. Tidak sama sekali.

"Apa kamu baik-baik saja?" Lingga bertanya saat siang hari itu Lamia mendatangi nya ke ruangan kerja nya. Lamia memang sengaja ingin menemui Lingga.

Sudah hampir lima hari ini, Lamia sulit sekali menemui Lingga di waktu-waktu biasa selain waktu makan malam. Karena waktu kerja Lingga yang padat hingga membuat pria itu harus bolak-balik melintasi lautan, Lamia segera mengambil duduk di depan Lingga yang saat ini tengah duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan itu.

"Apa kamu sedang sibuk?" Lamia bertanya.

Lingga adalah si pria dengan pemilik senyum paling manis. Walau ia sudah memiliki dua anak, yang satu sudah bekerja seperti dirinya dan yang satu bersekolah di sekolah menengah pertama, dia masih tampak gagah dan tampan. Bahkan Lamia bisa melihat betapa masih muda wajah Lingga saat ini.

Dengan mata biru, khas orang barat yang memancarkan penuh kehangatan. Lamia hampir jatuh cinta pada pria itu.

"Tidak terlalu. Ada apa?"

Lamia berdeham sejenak sebelum memberitahu kan keinginan nya. "Aku mau mengunjungi kedua orang tua ku. Apa kamu bisa mengatur nya untuk ku? Aku tidak tahu alamat mereka.

"Mas Lingga bisa bantu aku kan?"

Lingga tampak terdiam sebentar. "Kenapa tiba-tiba kamu ingin mengunjungi kedua orang tua mu?"

"Aku pikir,mereka belum tahu atas kecelakaan yang terjadi padaku."

"Ah, benar. Aku lupa memberitahukan itu pada mereka." Lingga mengangguk-angguk.

"Untuk apa pun, kamu bisa menghubungi Pak Dewa yang di percayakan Abi menjadi supir mu. Apa kamu ingat dengan Pak Dewa?"

Lamia segera mengangguk, dia tidak pernah melupakan siapa pun orang yang berlaku baik padanya. Pak Dewa saat itu dengan perhatian mengantarkan Lamia ke kamar ketika pertama kali dia menginjakkan kaki di mansion ini setelah hampir tiga hari terkurung di rumah sakit. Tatapan hangat kebapak-an nya juga keramahan nya, tentu Lamia tidak mungkin tidak ingat.

"Aku akan memberikan mu nomor telepon rumah keluarga mu lebih dulu karena Pak Dewa saat ini sedang mengajukan cuti, minggu depan, kamu bisa pulang di antar oleh nya."

"Cuti? Apa tidak ada supir lain yang bisa mengantar ku?"

"Sebenarnya ada, tapi mereka sudah memiliki jadwal tugas sendiri masing-masing. Para supir di mansion adalah kepunyaan tiap satu orang penting yang tinggal di mansion ini. Mereka di rekrut masing-masing dan di beri kepercayaan khusus, seperti bagaimana Abi merekrut Pak Dewa sebagai supir pribadi mu. Aku bisa saja menyuruh supir pribadi Aurel untuk mengantarkan mu ke rumah keluarga mu, tapi tidak bisa hari ini. Aurel memiliki jadwal les padat yang mengharuskan nya selalu di antar."

"Tidak masalah kalau bukan hari ini. Jadi, kapan dia bisa mengantar ku? Besok?"

"Sabtu. Itu hari senggang Aurel."

Lamia langsung menghitung dalam hati. Berarti lusa. "Baiklah. Hari sabtu. Aku berniat untuk menginap sampai hari senin, apa tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Setelah Pak Johan mengantar Aurel ke sekolah, dia bisa menjemput mu."

Lamia segera menganggukkan kepalanya dengan senang. "Terima kasih, Mas Lingga!"

"Terima kasih kembali, adik ipar." Lingga tersenyum, tatapan nya terlihat lekat dan banyak makna, membuat Lamia tidak bisa hanya sekadar untuk mengalihkan tatapan, tiba-tiba Lamia menunduk dengan wajah merona.

"Terakhir kali kamu bilang, Abi akan pulang. Kapan itu?"

Lingga terdiam sejenak. "Entah lah. Aku belum mengontak nya lagi."

"Apa aku bisa menelepon nya?" Lamia bertanya sedikit antusias. "Tidak ada foto yang bisa aku lihat, aku ingin dengar bagaimana suara nya dan membuktikan apa dia sama Tampan nya dengan mu atau tidak."

Lingga tertawa, mengangsurkan ponsel nya yang menunjukkan sebuah gambar. Dalam sekali lihat, Lamia tau bahwa Lingga tengah mau menunjukkan bagaimana rupa suami nya itu. Tidak ada foto keluarga yang terpajang di dinding mansion. Sheryn mengatakan bahwa Nyonya Besar tidak terlalu suka dengan adanya foto, maka dari itu setelah kematian suaminya, ia menyuruh untuk menyimpan semua foto nya di sebuah ruangan.

Lamia menerima ponsel yang Lingga berikan dan mengamati salah satu gambar dua orang pria yang saling berangkulan di sana. Mereka tampak masih muda dengan pakaian casual. Lamia mengenali sosok yang satu nya sebagai Lingga, sementara pria yang satunya lagi, pasti lah suaminya.

"Itu foto saat aku masih kuliah dan Abi baru masuk SMA. Tepatnya di sebuah taman hiburan, kamu lihat kumpulan permainan di belakang nya kan?"

Lamia langsung mengangguk sebagai respon, senyumnya kemudian nampak saat melihat sosok muda Abi yang sangat tampan dengan kemeja dan celana jeans. Rambutnya yang berantakan terlihat tertiup angin, jatuh asal menutupi kening nya. Dan

matanya.

"Kalian memiliki warna mata yang berbeda." Lamia menatap Lingga dengan dahi berkerut. "Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa. Tidak semua anak mengikuti gen Ayah nya kan? Abi mengikuti gen Ibu."

Lamia teringat Merry. Wanita tua dingin itu memiliki warna mata yang sama dengan mata Abi, hitam kelam seperti obsidian. Tampak dalam dan mengikat. Menarik siapa pun orang untuk tenggelam dan lebur di dalam nya.

"Setidaknya aku lega, aku menikahi orang Tampan."

Gumaman Lamia sekali lagi membangkitkan tawa Lingga. Pria itu entah kenapa begitu terhibur dengan ucapan blak-blakan dari wanita di depan nya ini.

"Memang nya kenapa kalau menikahi orang yang tidak Tampan?"

Lamia cemberut. "Tentu saja itu masalah. Aku yang cantik akan timpang kalau menikahi orang jelek. Orang-orang akan merendahkan suami ku, dan mulai berpikiran hal-hal buruk. Bagaimana pun sebagai seorang isteri, aku tidak mau suami ku minder saat disamping ku."

Lagi-lagi Lingga tertawa,mengangguk-angguk setuju. Lamia sendiri diam-diam menyimpan baik-baik potret suami nya itu di dalam ingatan, sebelum selanjutnya mengembalikan ponsel itu pada Lingga.

"Boleh aku bertanya? Berapa umur mu sekarang?"

Lingga menghentikan tawanya lalu menjawab. "Empat puluh dua."

"Jadi kamu menikah muda?"

"Tidak juga. Aku menikah saat umur ku 26 tahun."

Lamia sedikit bingung mendengar nya. Jika Lingga tidak menikah muda, bagaimana mungkin bisa memiliki anak yang sudah dewasa seperti Damar?

Seperti tahu hal apa yang Lamia tidak mengerti, Lingga tersenyum menjelaskan. "Aku dan Siska saat itu adalah sahabat di masa lalu. Di saat pesta perpisahan sekolah, teman-teman SMA ku mengadakan pesta kecil sendiri. Kami waktu itu terlalu terbuai oleh alkohol dan mabuk, yang pada akhirnya, aku dan Siska

melakukan hubungan itu." itu

Lamia masih bertanya-tanya di dalam hati saat Lingga melanjutkan. "Pada awalnya, kami memilih untuk melupakan nya. Menganggap itu semua seolah-olah tidak terjadi. Kami tidak pernah serius memikirkan masalah ini. Aku dan Siska berpisah untuk melanjutkan study masing-masing. Setelah lima tahun kami tidak saling menghubungi, kami tidak sengaja bertemu di salah satu Mall dan aku melihat Damar.

"Damar kecil?"

Lingga mengangguk. "Siska awalnya tidak mengaku kalau itu anak ku. Dia menyatakan kalau itu adalah anak dari mantan pacar nya. Awalnya aku percaya, karena aku tau bagaimana sikap dia dengan kekasih-kekasih nya selama kami berteman dekat di masa lalu, tapi ketika aku menemukan kemiripan di wajah anak itu dengan ku, aku memaksa nya untuk menyatakan yang sebenarnya."

"Dan saat Mbak Siska mengaku, kalian akhirnya menikah." Lanjut Lamia sigap mengakhiri ceritanya. Lingga menahan tawa saat melihat ekspresi naif wanita itu, mengangguk untuk membenarkan nya.

"Jadi, Damar terlahir karena kesalahan ku yang tidak bertanggung jawab. Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"

Lamia berpikir sesaat, menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering sebelum hati-hati bertanya. "Bagaimana aku bisa menikah dengan Abi?"

"Itu karena keinginan Ayah kami dan keluarga mu...." Lalu cerita yang sama mengalir keluar. Sebagian besar Lamia sudah tau mengenai kebangkrutan perusahaan keluarga nya yang di bantu oleh Rhandra dari cerita Sheryn saat itu. Ia tidak menyangka bahwa apa yang para pelayan tau, dan gosipi selama ini adalah hal yang benar-benar fakta.

Mencoba menekan hatinya yang sakit lagi, Lamia membalikkan pertanyaan.

"Kapan Aurel pulang?"

"Pukul lima sore. Dia memang selalu memilih langsung tidur setelah pulang dari kegiatan les nya." Lingga lalu memancing topik sebelumnya.

"Lamia, mungkin pernikahan kalian memang terkesan di paksakan. Tapi percayalah, ada saat dimana kalian pasti saling menyukai dan menjadi pasangan suami-isteri yang sesungguhnya. Kamu bisa mengambil contoh dari aku dan Siska. Masa depan kadang tidak bisa kita prediksi dan rencanakan semau kita. Akan ada sesuatu yang membuat itu semua keluar dari jalur yang seharusnya. Aku harap kamu tidak membenci kedua orang tua mu."

Lamia mengangguk, memaksa untuk memberikan senyuman sebelum memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Lingga tampak khawatir, berniat ingin mengantar wanita itu ke kamar nya yang dengan segera Lamia tolak.

Wanita itu ingin sendiri dulu. Dan pada dasarnya dari awal dia memang sendirian.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel