Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. PERTEMUAN KEDUA

Langkah Arlyn begitu ringan menapaki lantai mall yang mengkilat. Wajahnya terlihat sumringah sekaligus bingung. "Andai ada si Silvi di sini, pasti jalan-jalanku bakalan seru. Sendirian begini, aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya, celingak celinguk kayak orang bego."

Ponsel kesayangannya tiba-tiba bergetar, Arlyn langsung mengambilnya dari dalam tas selendang mungilnya. Matanya melebar begitu nama siapa yang tertera di layar ponsel. "Wah, panjang umur si Silvi."

Arlyn :

"Hallo Silvi."

Silvi :

"Hallo."

( Dari seberang telepon, Silvi mendengar suara musik. )

"Kamu ada di mana? Kok berisik.

Arlyn :

"Coba tebak! Aku di mana?!"

Silvi :

"Yang pasti bukan dikuburan! Ada suara musik di sana."

Arlyn :

"Bukanlah! Memangnya aku sedang uji nyali, ada dikuburan!"

Silvi :

"He-he. Lalu, kamu ada di mana?"

Arlyn :

"Di mall! Nganter nyokap nyalon."

Silvi :

"Yang bener?!"

Arlyn :

"Silvi yang cantiknya mengalahkan Miss Universe. Untuk apa aku bohong?! Yang ada, aku malah berdosa!"

Silvi :

"He-he. Iya, iya Bu ustadzah. Kamu ada di mall mana?! Kebetulan, aku juga lagi dijalan mau ke mall beli sepatu."

Arlyn :

"Mall tempat kita dulu beli tas, waktu ada discount gede-gedean."

Silvi :

"Ok, aku ke sana!"

Sambungan telepon langsung ditutup Silvi tanpa berpamitan. "Dasar jaelangkung, datang tidak diundang pulang tidak diantar. Main tutup telepon seenak perutnya!" gerutu Arlyn melihat layar ponselnya yang terputus.

Setelah menyimpan ponsel ke dalam tasnya, Arlyn kembali melanjutkan langkahnya. Baru beberapa meter berjalan, langkahnya berhenti ketika melihat tas kecil mungil dengan tali rantai berwarna emas yang terpajang di etalase kaca. "OMG, cantik banget tas hitam itu."

Arlyn mendekati kaca transparan yang menghalangi dirinya dan tas agar bisa melihat berapa harga yang tertera. "Pasti harganya mahal. Aku bisa diomelin Mama dari Sabang sampai Merauke kalau beli tas mahal-mahal," gumamnya.

Mata Arlyn melotot ketika melihat harga yang tertera. "OMG, mahalnya! Harganya bisa untuk kasih makan orang sekacamatan, ck ck ck."

Beberapa saat Arlyn terdiam melihat tas. "Tapi sudahlah, lupakan Arlyna keinginanmu! Amankan dirimu dari omelan Nyonya Dewi."

Setelah puas melihat tas hitam yang tidak bisa dibelinya, Arlyn kembali melanjutkan langkahnya. Tapi tiba-tiba, baru beberapa meter melangkah, terdengar suara orang berteriak dibelakangnya.

"Maling! Maling! Ada Maling!"

Arlyn langsung mencari asal suara, tapi belum sempat tersadar dengan keadaan. Tiba-tiba, seorang pria gemuk pendek berlari kencang ke arahnya. Arlyn melotot terpaku, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Entah apa yang terjadi, dalam hitungan detik tubuhnya telah berada dalam pelukan dada bidang tubuh kekar. Arlyn hanya bisa memejamkan matanya, ketika tubuhnya serasa melayang ditarik seseorang untuk menghindari pria gemuk yang akan menabraknya.

Sesaat Arlyn dan orang yang memeluknya terdiam, sampai keduanya tersadar ketika ada yang bertanya. "Kalian tidak apa-apa?"

Arlyn membuka mata, dengan cepat segera mendorong dada bidang yang tadi sempat menempel di pipinya. Belum juga kesadarannya terkumpul sempurna, Arlyn kembali tertegun ketika melihat iris mata hitam legam pria yang sudah memeluknya.

Aliran darah Arlyn serasa berdesir diiringi jantung yang tiba-tiba berdetak dengan cepat. Matanya tidak bisa berpaling dari iris mata hitam legam pria itu, seolah ada magnet yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu tersenyum dengan suara baritonnya. "Apa kamu terluka?"

Arlyn tidak menjawab, mendadak otaknya tidak bisa berpikir. Semua yang ada di dalam kepalanya seakan telah hilang, kosong.

"Nona, anda tidak apa-apa?" tanya wanita yang lebih dewasa darinya karena melihat Arlyn yang kebingungan.

Arlyn melihat ke sekelilingnya sudah banyak orang berkerumun, bahkan pria gemuk pendek yang tadi hampir menabraknya sedang dipegang erat beberapa pria besar.

Di tengah kebingungannya, Arlyn seperti mendapatkan malaikat ketika Silvi tiba-tiba datang. "Arlyn."

"Silvi."

"Ada apa?" tanya Silvi bingung melihat orang-orang berkerumun.

"Syukurlah Nona, anda tidak apa-apa." Seorang pria dengan pakaian security mall bicara pada Arlyn. "Untung saja, anak muda ini cepat menolong anda, jika terlambat sedikit saja, entah apa yang terjadi."

"Memangnya ada apa Pak?" tanya Silvi tidak mengerti.

"Tadi ada sedikit insiden, seorang maling hampir saja menabrak Nona cantik ini, tapi untung anak muda ini cepat menolongnya."

Silvi hendak melihat anak muda yang ditunjuk Bapak itu, tapi Arlyn segera menarik tangannya agar cepat pergi dari tempat itu. "Ayo, kita pergi!"

Setelah jauh dari tempat kejadian, Arlyn segera melepaskan tangan Silvi. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Silvi melihat wajah Arlyn pucat.

"Aku tidak apa-apa," jawab Arlyn.

Silvi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Itu ada coffeshop, kita ke sana. Kamu minum sesuatu di sana."

Arlyn menuruti apa mau Silvi, karena memang yang dibutuhkan dirinya saat ini adalah segelas air minum untuk menghilangkan rasa shock nya.

Di tempat kejadian yang membuat Arlyn shock, anak muda bertubuh tinggi berdada bidang sedang bicara dengan security lalu tidak lama kemudian dia pun pergi menuju eskalator.

"Gadis itu, gadis bermata indah itu, gadis yang sama di toko roti," tanpa sadar, bibir pemuda itu tersungging senyum manis. "Tapi sayang seribu sayang, gadis itu pergi begitu cepat. Aku tidak sempat menanyakan namanya."

Sampai di atas, anak muda itu terus melangkah menuju ke salon untuk menjemput wanita yang telah melahirkannya.

Seorang pegawai salon pria yang sedikit kemayu dengan riasan tebal dan bulu mata cetar membahana datang melenggok menghampiri. "Selamat datang Tuan ganteng."

Yang disapa bukannya menjawab, tapi malah melihat dari atas sampai bawah dandanan orang yang di depannya. "Ya Tuhan, makhluk apa ini?" gumamnya dalam hati.

"Hello, Tuan ganteng!" sapanya dengan suara lebih keras.

"Eh, I... iya," jawabnya kaget.

Terdengar suara dari belakang. "Ada apa Oneng? Suaramu mengagetkan orang!"

Oneng langsung menoleh ke belakang. "Ini Madam Siska, Tuan ganteng ini hanya terdiam melihat eke dari atas sampai bawah. Mungkin dia kagum dengan kecantikan paripurnaku. Hi-hi-hi."

Madam tersenyum melihat Oneng. "Kembali ke belakang, tadi ada yang mau dipotong rambut."

"Ok, siap Madam." Oneng langsung pergi berjalan melenggak lenggok seperti pohon bambu tertiup angin.

Belum Madam Siska bertanya pada anak muda ganteng yang ada di depannya, terdengar suara memanggil namanya. "Jeng Siska."

Orang yang dipanggil langsung melihat ke belakang. "Jeng Elsa. Sudah selesai?"

"Sudah Jeng," jawabnya tersenyum lalu melihat pemuda tinggi yang berdiri mematung. "Tian. Kapan kamu datang?"

"Baru saja Mom," jawab Tian.

"Oh, ini putramu?" tanya Jeng Siska. "Tinggi banget, terakhir aku melihatnya dia masih sepinggang, tapi sekarang?" Jeng Siska mendongak melihat Tian. "Ya ampun, Jeng Elsa kasih makan apa putramu ini, bisa setinggi dan seganteng begini?"

Mommy Elsa tertawa kecil. "Tinggi Tian sudah turunan dari Daddy nya yang punya tubuh tinggi juga."

"Oh, begitu." Jeng Siska tersenyum melihat Tian dari atas sampai bawah. "Apa Tian sudah punya pacar?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel