4. KAKI TERLUKA
"Wajah jelek bisa aku ganti dengan membayangkan wajah wanita cantik. Aku membayangkan wajah artis jika sedang bergulat dengan istriku. Ha-ha-ha. Yang penting aku terpuaskan," jawab Karto tanpa rasa malu membicarakan istrinya sendiri.
"Dasar gila. Ha-ha-ha." Didin dan Sapto ikut tertawa.
Sementara itu jauh dari tempat Karto, Didin, dan Sapto, terlihat Cinta dan Asih sudah kelelahan dengan tubuh yang terlihat kedinginan.
"Istirahat dulu di sini. Aku lelah, kakiku juga sakit," Cinta langsung duduk di atas rumput. "Aku sudah tidak kuat berlari."
"Aku juga lelah," Asih menyandarkan tubuhnya di batang pohon yang tidak terlalu besar.
"Apa mereka masih mengejar kita?" Tanya Cinta.
"Tidak tahu," jawab Asih pelan, wajahnya terlihat pucat dengan tubuh kedinginan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Cinta melihat kakinya yang kotor dan terlihat ada beberapa luka goresan.
"Kalau mereka tidak mengejar kita, sebaiknya kita tidak usah berlari lagi. Aku sudah tidak kuat berjalan, kakiku sakit," Asih melihat kakinya yang sedikit terluka.
Cinta melihat kaki Asih yang terlihat berdarah di antara ruas jari kakinya. "Kakimu berdarah?"
"Iya, mungkin terantuk akar pohon. Aku tadi tidak merasakan apa-apa ketika sedang berlari, sekarang rasanya perih," jawab Asih melihat kakinya yang terluka di antara tanah yang menempel.
Cinta mendekati Asih dan melihat kakinya. "Bersihkan kakimu yang terluka itu dengan air hujan, jangan sampai kemasukan tanah nanti bisa menjadi infeksi. Tunggu sebentar biar aku ambilkan air dari daun-daun."
Asih merobek ujung bajunya untuk membersihkan tanah yang menempel dikakinya yang terluka.
Daun-daun lebar yang bisa menampung air hujan segera Cinta petik untuk membersihkan luka di kakinya Asih. Setelah dirasa cukup, Cinta segera membantu asih untuk membersihkan lukanya.
"Pelan-pelan," Asih meringis ketika jari tangan Cinta menyentuk luka yang sedikit terbuka kulitnya. "Rasanya sangat perih."
"Nanti luka ini ditutup kain agar tidak kemasukan tanah." Cinta dengan sangat hati-hati membersihkan tanah yang menempel sampai semuanya telah bersih.
"Terima kasih Cinta," ucap Asih begitu melihat kakinya telah selesai dibersihkan bahkan sudah ditutup kain yang tadi dirobeknya.
"Untung lukanya tidak terlalu dalam," kata cinta ikut bersandar dibatang pohon duduk disebelah Asih.
"Aku tidak tahu kapan kakiku terluka," kata Asih melihat kakinya. "Kita berlari seperti orang gila dari kejaran ketiga pria brengsek itu."
Cinta melihat ke arah darimana tadi dirinya berlari. "Apa mereka masih mengejar kita?"
"Semoga saja tidak. Aku sudah tidak sanggup berlari. Kakiku sakit, jangankan untuk berlari, untuk berjalanpun rasanya sakit."
"Mudah-mudahan saja mereka tidak mengejar kita lagi. Sebaiknya tunggu beberapa saat untuk memastikan keadaan aman," ucap Cinta melihat kulit tangannya yang juga tergores di beberapa tempat.
"Sejak ketiga pria brengsek itu masuk ke dalam gubuk, aku sudah bisa merasakan akan ada hal yang tidak menyenangkan. Aku bisa melihat dari tatapan salah satu pria yang bertubuh pendek itu, pria gila itu menatap kamu dengan tatapan lapar, seperti ingin menerkam dirimu," kata Asih teringat kembali dengan kejadian di gubuk.
"Aku juga melihatnya begitu, aku sangat ketakutan ketika pria gila itu memelukku dari belakang. Apalagi melihatmu dipegang oleh kedua temannya. Dalam hati aku berdoa minta pertolongan Tuhan, aku minta suatu keajaiban," tanpa sadar kelopak mata Cinta mengeluarkan air mata. "Aku sangat ketakutan."
"Aku juga sangat ketakutan. Terima kasih Cinta, kamu telah menyelamatkan kehormatanku. Entah apa jadinya, jika saat itu tidak ada kamu di gubuk. Aku pasti memilih mati jika sampai kehormatanku direnggut oleh ketiga pria gila itu," Asih memeluk Cinta yang duduk di sampingnya. "Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu."
Cinta dan Asih akhirnya berpelukan dengan air mata yang berderai keluar dari kedua kelopak mata mereka berdua.
Rupanya masalah mereka untuk lari dari kejaran pria gila belum selesai, tidak lama terdengar samar-samar suara orang sedang bercakap.
"Kamu mendengarnya atau itu hanya suara binatang?" Tanya Cinta melihat sekelilingnya yang terlihat mulai diselimuti kabut.
"Aku mendengarnya," jawab Asih memasang pendengarannya dengan tajam. "Itu sepertinya bukan suara binatang."
"Itu suara orang sedang bercakap," bisik Cinta melihat ke asal suara.
Wajah Asih menegang ketika melihat sebuah bayangan dari balik pohon di antara kabut tipis. "Lihat," bisiknya sambil menyenggol tangan Cinta.
Cinta melihat ke arah mana Asih melihat, seketika wajahnya pun ikut menegang. "Itu mereka."
"Cepat kita bersembunyi." Asih segera menarik tangan Cinta untuk bersembunyi dibalik pohon yang tadi dipakai bersandar.
Cinta segera bersembunyi mengikuti Asih yang nampak berusaha berjalan walau kakinya sakit. "Jongkok, jangan sampai kita kelihatan oleh mereka."
"Gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Tidak nampak dimana-mana, padahal dari tadi kita sudah jauh berjalan," ucap Karto sambil menepiskan ilalang yang menghalangi langkahnya.
"Iya, kemana kedua gadis itu berlari?" Tanya Didin.
"Lebih baik kita pulang saja," ajak Sapto. "Bajuku sudah basah begini, apalagi kabut mulai menebal. Nanti kita tidak bisa pulang karena tertutup kabut."
Didin dan Karto berdiri melihat ke sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya begitu sepi dan sunyi, hanya nampak pohon-pohon dan ilalang yang mulai diselimuti kabut.
"Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini" kata Sapto.
"Iya betul," jawab Didin. "Biasanya habis diguyur hujan deras, binatang liar akan ke luar untuk mencari makan. Terutama binatang melata, ular-ular akan keluar mencari mangsa."
"Ih,, aku takut dengan ular," kata Sapto. "Aku lebih baik berhadapan dengan macan daripada dengan ular. Takut!"
"Bukankah kamu lebih takut sama istrimu yang cerewet itu dibandingkan dengan ular?" Tanya Didin.
"Ha-ha-ha. Benar juga, aku lebih takut dengan istriku daripada dengan ular," jawab Sapto.
"Terus bagaimana ini?" Tanya Karto. "Kita lanjutkan mencari mereka atau kita pulang?"
"Terserah," jawab Didin.
"Kita pulang saja!" Jawab Sapto. "Sepertinya kedua gadis itu sudah pergi jauh. Kalau kita melanjutkan mencari mereka, takutnya semakin masuk ke dalam hutan, kita akan tersesat. Lihatlah! Kabut semakin tebal, jarak pandang kita akan terhalang. Itu akan sangat menyulitkan."
"Iya betul juga," jawab Didin.
"Ayo, kita pulang!" Ajak Didin hendak melangkah, tapi tatapannya jatuh pada daun-daun yang berserakan di tanah. "Tunggu! Lihat ini!"
"Apa?" Tanya Sapto.
"Lihat!" Didin mengambil satu daun dari atas tanah.
"Itu hanya daun, apanya yang aneh?" Tanya Karto.
"Ini memang daun, tapi lihat ujung tangkainya," Didin memperlihatkan ujung tangkai daunnya.
Sapto segera mengambil daun yang ada di tangan Didin. "Seperti bekas orang petik."
"Iya, itu maksudku," jawab Didin. "Daun ini bukan jatuh dengan sendirinya, tapi seseorang telah memetiknya."
Karto melihat daun yang ada di tangan Sapto. "Iya benar, ujung tangkai ini seperti dipetik. Apa mungkin kedua gadis itu yang melakukannya?"
