Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. ULAR PENOLONG

"Aku yakin, pasti kedua gadis itu yang melakukannya. Di hutan ini tidak ada lagi orang selain mereka berdua," jawab Didin.

"Iya betul, dari tadi kita tidak bertemu dengan siapa pun. Berarti kedua gadis itu memang yang melakukannya," kata Karto terlihat senang.

"Sepertinya kedua gadis itu yang memetiknya, tapi kelihatanya ini daun sudah lama mereka petik" jawab Sapto.

"Iya, betul apa katamu. Mungkin gadis itu sudah sangat jauh pergi dari sini. Jejak kakinya saja sudah hilang terkena air hujan," jawab Sapto. "Tidak ada jejaknya sama sekali."

"Iya betul," Didin melihat ke sekelilingnya, tidak ada tanda-tanda jejak kaki kedua gadis itu.

Sementara itu, Cinta dan Asih semakin menyembunyikan tubuhnya di balik pohon dan rimbunnya ilalang. Mata keduanya menatap tajam ke arah ketiga pria gila yang mengejarnya sampai sejauh itu.

"Mereka bertiga sungguh sangat gila. Apa kamu mendengar apa yang mereka katakan?" Tanya Asih berbisik di telinga Cinta. "Benar-benar gila."

"Iya, aku mendengarnya. Mereka ternyata sangat menginginkan tubuh kita sebagai pemuas nafsu gila mereka. Beruntung sekali kita bisa lolos, entah apa yang akan terjadi dengan kita? Andai kita tidak berhasil meloloskan diri."

"Iya betul, kita pasti sudah habis dimakan ketiga pria gila itu. Jangan sampai ketiga pria gila itu melihat kita," bisik Asih.

"Kenapa mereka hanya berdiri saja? Kakiku sudah sangat pegal berjongkok begini," bisik Cinta dengan menggerutu.

"Sabar, lebih baik kaki pegal daripada kita jadi santapan nafsu gila mereka."

"Iya, betul juga apa katamu," bisik Cinta. "Sabar, sabar. Sabar ya kaki pegal."

Asih dan Cinta memperhatikan setiap gerak gerik dari ketiga orang tersebut dari tempat persembunyiannya. Selagi terdiam, tiba-tiba saja ada sesuatu yang bergerak di kaki Cinta sehingga membuat Cinta nyaris berteriak ketika melihat apa yang ada di atas kakinya, tapi dengan cepat Asih segera membekap mulut Cinta dengan tangannya sangat kuat untuk mencegah keluarnya suara.

"Mmphh," Cinta memejamkan matanya, tubuhnya bergidik ada ulat bulu yang cukup besar sedang merayap dikakinya.

"Sst, jangan berisik. Tahan sebentar, nanti kita bisa ketahuan oleh ketiga pria itu," bisik Asih sambil menutup mulut Cinta.

Cinta yang sangat jijik dengan ulat, segera menepiskan kakinya berharap ulat bulu terlempar, tapi yang terjadi malah menginjak ranting sehingga malah menimbulkan suara ditengah keheningan hutan

"Suara apa itu?" Karto segera melihat darimana suara berasal.

"Seperti ranting patah," jawab Didin melihat pohon yang menjadi tempat persembunyian Cinta dan Asih.

"Apa suara itu berasal dari pohon ini?" Tanya Sapto berjalan mendekati pohon.

"Sepertinya sih dari pohon itu," jawab Didin melihat ke atas pohon rindang yang basah.

"Mungkin ada binatang yang menginjak ranting. Hujan sudah reda biasanya banyak binatang yang ke luar mencari makan. Bisa saja itu tupai dari atas pohon," kata Karto.

Tapi berbeda dengan Sapto yang rasa penasarannya lebih besar. "Aku ingin melihatnya. Itu binatang atau bukan?"

"Hati-hati nanti ada ular," Didin memperingatkan. "Setelah hujan, biasanya ular ke luar mencari makan."

Sapto mengambil ranting panjang kemudian mendekati pohon sambil menyibakkan ilalang yang menghalangi langkahnya. "Apa mungkin itu binatang? Aku mendengar seperti ranting yang terinjak."

Cinta dan Asih semakin menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon dan ilalang. Jantung keduanya berpacu dengan sangat cepat. Hanya berjarak beberapa meter lagi keberadaan mereka berdua akan diketahui, tiba-tiba seekor ular hijau jatuh dari atas pohon tepat di depan Sapto.

"Aaa! Ular!" Teriak Sapto langsung melempar ranting yang dipegangnya dan berlari meninggalkan kedua temannya. "Ular."

"Apa? Ular!" Didin dan Karto langsung ikut berlari mengikuti Sapto yang berlari dengan sangat kencang di antara pohon-pohon menerobos kabut.

"Terima kasih Tuhan," Asih dan Cinta bernapas lega, tapi kemudian Cinta langsung berdiri dan segera melihat kakinya. "Ulat, ulat. Ke mana ulatnya?"

"Sudah pergi," jawab Asih ikut berdiri.

Cinta mengelus dadanya. "Aku tadi hampir mati begitu melihat ulat bulu dengan manis berjalan di atas kakiku. Aku paling takut dengan yang namanya ulat."

Asih meringis. "Kakiku semakin sakit."

"Kakimu sakit?" Tanya Cinta melihat kakinya Asih.

"Iya, mungkin karena kebasahan jadi lukanya terasa perih."

"Iya, mungkin juga begitu. Kakimu harus segera diobati agar tidak infeksi," jawab Cinta.

"Iya, tapi kita sekarang masih ada di hutan ini. Ngomong-ngomong, aku tidak tahu kenapa ketiga pria gila tadi langsung berlari?" Tanya Asih.

"Aku tadi mendengar pria itu berteriak ular," jawab Cinta. "Kemudian lari tunggang langgang, aku juga melihat dia hampir menabrak pohon besar itu karena larinya yang begitu kencang."

"Syukurlah, ular telah menyelamatkan kita." Tapi berapa detik kemudian, mata Asih melotot karena binatang yang sedang dibicarakannya sekarang tepat berada di bawah kaki Cinta.

"Ada apa?" Tanya Cinta melihat perubahan ekspresi wajah Asih.

Mata Asih melotot, memberi kode pada Cinta agar melihat ke bawah.

"Aaa!" Cinta berteriak sekuat tenaga, langsung melompat menghindari ular yang sedang memperhatikan dirinya.

Begitu juga dengan Asih, ikut menghindari ular. Rasa sakit dikakinya sudah tidak dipedulikan lagi demi menyelamatkan diri dari ular yang sebesar jempol kaki.

"Kita pergi dari sini," ajak Cinta dengan jantung yang berdetak kencang masih melihat ular yang berjarak beberapa meter.

"Ayo," jawab Asih. "Kita pulang."

Cinta menggandeng tangan Asih untuk membantunya berjalan. "Tapi kita pulangnya ke arah mana? Di mataku semua terlihat sama, hanya pohon dan pohon apalagi sekarang ada kabut."

Asih berhenti. "Iya, kita pulang ke arah mana? Semuanya terlihat sama."

"Tadi ketiga pria gila itu berlari ke arah sana. Apa sebaiknya kita juga ke arah sana?" Tanya Cinta menunjuk ke arah kanan.

"Orang tadi berlari karena ketakutan untuk menyelamatkan diri dari ular. Apa mungkin jalan yang dia pilih itu benar?" Asih balik bertanya.

"Betul juga apa katamu. Lalu kita ambil ke arah mana?" Tanya Cinta.

Asih terdiam mengingat-ingat tadi dia berjalan dari arah mana. "Sepertinya kita tadi datang dari arah sana."

"Kamu yakin? Aku sudah lupa."

"Aku yakin. Pohon besar itu masih aku ingat," jawab Asih. "Ada bunga di bawah pohon besar itu."

"Kalau begitu mari kita lihat, kalau benar ada bunganya berarti kita pergi ke arah sana."

Asih dan Cinta berjalan mendekati pohon besar dan memang benar ada beberapa bunga di bawah pohon besar.

"Ternyata benar ada bunganya. Lalu sekarang kita mengambil jalan ke arah mana?" Tanya Cinta.

"Ke arah kiri," jawab Asih.

"Kamu yakin?" Tanya Cinta melihat ke sekelilingnya yang banyak pohon-pohon.

"Aku yakin," jawab Asih.

Tapi kemudian Cinta terdiam beberapa saat seperti sedang mendengarkan sesuatu. "Ssst!"

"Ada apa?" Bisik Asih.

"Ssst," Cinta menempelkan jari telunjuknya di bibir.

Tidak lama terdengar suara ranting patah seperti terinjak sesuatu.

Cinta dan Asih langsung berjongkok untuk bersembunyi di antara ilalang. Pandangan mereka langsung menyapu ke sekeliling.

"Suara apa itu?" bisik Asih merapatkan tubuhnya ke Cinta karena takut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel