3. MELOLOSKAN DIRI
Cinta terus menerus memukul kepala pria berkulit hitam itu dengan wadah sayuran hingga pria itu jatuh tersungkur.
"Cepat! Kita pergi dari sini!" Asih menarik tangan Cinta.
"Ayo!"
Cinta dan Asih tanpa membuang waktu segera pergi berlari ke luar dari gubuk. Hujan yang belum reda sudah tidak mereka pedulikan, yang ada di dalam keinginan Cinta dan Asih hanya ingin cepat pergi untuk menyelamatkan diri dari ketiga pria tersebut.
Tanah licin dan hujan yang belum reda, Cinta dan Asih terobos. Tubuh dan baju yang keduanya pakai telah basah kuyup, tapi tidak menghalangi untuk terus berlari dengan tangan yang saling berpegangan erat.
Napas Cinta dan Asih sudah tidak beraturan dengan jantung yang berdegup kencang. Asih berhenti sejenak untuk mengambil napas dan menghapus wajahnya dari air hujan, begitupun dengan Cinta melakukan hal yang sama.
"Apa kita dikejar oleh ketiga orang itu?" Tanya Asih dengan napas naik turun.
"Aku tidak tahu, tadi terus berlari tanpa melihat ke belakang," jawab Cinta melihat ke sekeliling yang banyak pohon-pohon rindang. "Kita ada di mana?"
Asih pun melihat ke sekeliling dan baru tersadar kalau mereka telah berlari tanpa arah. "Aku tidak tahu kita ada di mana, tapi ini sepertinya hutan. Kita telah salah jalan."
Cinta melihat lagi ke sekelilingnya yang banyak ditumbuhi pohon-pohon di antara guyuran hujan. "Benar, ini sepertinya hutan. Kita telah salah arah, kita memasuki hutan."
"Benar, ini hutan," Asih melihat kesekelilingnya yang terlihat sunyi. "Kita berlari memasuki hutan."
"Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika kita kembali, mungkin kita akan bertemu lagi dengan ketiga orang tersebut, tapi jika kita terus ke depan, sudah pasti kita akan semakin memasuki hutan."
"Sejauh apa kita tadi berlari memasuki hutan ini?" Tanya Asih dengan napas yang belum normal.
"Tidak tahu, aku lupa. Tadi yang aku pikirkan terus saja berlari untuk menyelamatkan diri dari ketiga pria gila itu," jawab Cinta. "Apa mereka tidak mengejar kita?"
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya tidak," jawab Asih melihat ke belakang di mana tadi mereka berdua berlari, tapi yang terlihat hanya hujan dan pohon-pohon.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Tanya Cinta.
Selagi Cinta dan Asih sedang berbincang, samar-samar terdengar suara orang yang berteriak di antara suara hujan.
"Apa kamu mendengarnya?" Tanya Cinta dengan wajah kembali tegang.
"Iya, aku mendengarnya. Mereka ternyata mengejar kita," jawab Asih memasang telinga dengan penuh kewaspadaan.
"Sialan! Mereka tidak menyerah," gumam Cinta.
Terdengar lagi suara teriakan. "Di mana kalian? Jangan kabur!"
Wajah Cinta dan Asih semakin tegang, suara yang berteriak semakin jelas terdengar.
"Sebaiknya kita cepat pergi dari sini sebelum mereka bertiga datang," ajak Asih.
"Tapi ke mana?" Tanya Cinta. "Kita di hutan dan tersesat. Ke mana kita harus berlari?"
Asih melihat sekelilingnya yang banyak pohon-pohon. "Ke mana saja yang penting kita bisa selamat dari ketiga pria gila itu."
"Tapi aku juga takut, bukankah di hutan itu banyak binatangnya? Bagaimana kalau kita bertemu dengan hewan buas?" Tanya Cinta tubuhnya mulai menggigil.
"Tidak mungkin kalau kita tetap waspada. Aku lebih baik mati dimakan binatang buas, daripada kehormatanku diambil ketiga pria brengsek itu."
Wajah Cinta seketika langsung sedih dengan bibir yang terlihat mulai memucat karena kedinginan. "Kenapa aku mengalami kejadian seperti ini? Aku sangat takut."
Asih melihat Cinta dan memegang tangannya yang dingin dan basah. "Sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan, yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana caranya agar kita bisa selamat?"
"Tapi jika kita terus berlari ke depan, kita akan terjebak di dalam hutan ini ---," kalimat Cinta dipotong Asih.
"Kalau kita kembali ke belakang, kita akan menjadi boneka mainan ketiga pria brengsek itu. Aku lebih memilih terjebak di dalam hutan daripada tertangkap lagi oleh ketiga pria gila itu," sambung Asih.
Terdengar lagi suara orang yang berteriak dari arah belakang mereka sehingga membuat Cinta dan Asih terkejut.
"Di mana kalian? Ayolah, jangan mencoba kabur dari kami! Kemanapun kalian berlari, kami pasti menemukan kalian!"
"Di mana kalian!" Teriak mereka.
"Ayo! Kita harus cepat pergi sebelum mereka melihat kita!" Asih memegang tangan Cinta untuk mengajaknya pergi. "Mereka semakin mendekat."
Cinta menengok ke belakang, yang terlihat masih pohon dan hujan yang mulai reda. Terlihat sekali wajahnya yang bingung dan ketakutan.
"Tidak ada waktu untuk berpikir, mereka semakin mendekat." Asih menarik tangan Cinta untuk pergi.
Mau tidak mau, Cinta ikut bersama Asih melanjutkan pelariannya masuk ke dalam hutan. Melewati tanah yang penuh genangan air serta ranting-ranting yang sesekali menggores kulit kaki mereka berdua.
"Mereka tidak ada, kita sudah mencarinya sampai sejauh ini, tapi tidak ada jejak keberadaan mereka," kata pria bertubuh pendek.
"Tapi aku yakin mereka berlari ke arah sini. Hanya jalan ini yang mudah dilewati karena semak belukarnya tidak terlalu tinggi," jawab pria berkulit putih.
"Sapto, coba kamu lihat ini," panggil pria berkulit hitam sedikit berjongkok seperti sedang melihat sesuatu.
"Apa itu Didin?" tanya yang dipanggil namanya datang mendekat.
"Ini lihat! Bukankah sobekan kain ini sama dengan warna baju yang dipakai salah satu gadis itu?" Didin mengambil sobekan kain kecil dari ranting pohon.
"Sepertinya begitu," jawab Sapto. "Lihat ini Karto, apa sobekan kain ini sama dengan baju yang dipakai salah satu gadis itu?" Tanya Sapto pada pria bertubuh pendek.
"Iya sama, kain ini sama dengan gadis yang dari awal aku incar. Gadis itu sangat cantik dengan kulit putihnya," jawab Karto mengambil sobekan kain yang ada di tangan Sapto.
Sapto melihat ke sekelilingnya. "Kira-kira mereka berlari ke arah mana? Semuanya nampak sama di sini. Hanya ilalang dan pohon, apalagi sekarang mulai turun kabut. Hujan reda, kabut datang."
"Udara juga mulai dingin, apalagi dengan baju basah begini," Didin melihat baju yang dipakainya. "Bisa masuk angin."
"Kita lanjut mencari gadis itu atau kita pulang?" Tanya Sapto melihat kedua temannya.
"Aku penasaran dengan gadis yang sudah aku incar dari awal. Gadis itu sangat cantik," Karto membayangkan wajah Cinta yang sekarang keberadaanya entah ada di mana.
"Jika dibandingkan dengan istrimu yang setiap hari hanya di dapur dan kebun, gadis itu tentunya sangat cantik. Bahkan jauh lebih cantik," ledek Sapto. "Ibaratnya langit dan bumi. Kulit gadis itu sangat mulus, wajahnya sangat cantik meskipun tanpa riasan. Berbanding terbalik dengan istrimu yang hitam, apalagi dengan alisnya seperti golok yang sering kamu bawa ke kebun."
Didin tertawa terbahak mendengar ucapan Sapto. "Ha-ha-ha. Alis golok namanya."
"Kalian malah menghina istriku. Dia memang jelek, tapi goyangannya hebat di atas ranjang. Aku selalu kalah kalau dia sudah bergoyang pasti selalu cepat untuk keluar," jawab Karto.
"Pantas kamu bertahan dengannya. Senang melihat wanita cantik, tapi istri jelekmu itu kamu pertahankan. Ternyata selama ini kamu terbuai dengan goyangannya," jawab Sapto. "Ha-ha-ha. Goyangan maut."
