BAB 14 - DATING WITH BAD BOY
“Kalau gak ada lagi yang mau dibahas gue balik duluan ya.” Agatha segera membereskan beberapa tumpukan file dan memasukkannya ke dalam tas, wajahnya yang teramat dingin membuat satu ruangan hening dan selanjutnya hanya decitan pintu yang terdengar.
“Ah iya gue kan mau ambil berkas-berkas untuk lomba musik.” Ucap Agatha saat ia telah sampai di parkiran, dengan langkah gontai ia menuju ruang musik. Kalau saja berkas itu tidak diminta oleh Bu Ina besok, ia akan mengambilnya kapan-kapan dan berhubung kunci ruangan musik ada padanya.
“Loh kok gak kekunci ya?” tanya Agatha saat dengan gampang membuka pintu, tiba-tiba suasana menjadi dingin seluruh bulu kuduknya merinding dengan seluruh keberanian yang ia miliki.
“Agatha.” Sebuah suara dingin menelusup masuk ke pendengaran gadis itu membuatnya terlonjak kaget dan mundur sampai ke pintu dan kemudian ia merasakan badannya menabrak seseorang, mereka jatuh bersama diatas lantai.
“Sadar dong lo tuh berat.” Ucap suara dingin itu membuat Agatha segera bangun dan berbalik badan untuk melihat siapa yang mengatai badannya berat.
“Elo?!” sentak Agatha kesal melihat Aldo yang sedang berusaha bangun.
“Iya gue, kenapa? kangen?” tanya Aldo menantang.
“Iya kangen, kangen pengen nonjok!” ucap Agatha mengepalkan tangan didepan wajah Aldo.
“Uh serem, ganas, lo cewek apa tukang pukul?” tanya Aldo tertawa dan seolah-olah takut.
“Udah deh pergi lo, jauh-jauh dari hidup gue!” sentak Agatha lagi membuat Aldo lagi-lagi hanya tertawa.
“Bye bu KeTos galak, jangan kangen ya.” Ucap Aldo melambaikan tangan.
Agatha kesal dengan perilaku Aldo kepada dirinya yang semakin hari semakin membuat amarahnya naik secara tiba-tiba di tambah satu sekolah sudah tersebar gosip murahan tentang dirinya, hidupnya semakin menyebalkan saja.
“Agatha?” suara dingin itu lagi-lagi masuk ke dalam pendengarannya dan membuat seluruh bulu kuduknya merinding dan ia segera membalikan badan lalu menyengir.
“Eh kak Alvin,” ucapnya bingung harus berkata apa.
“Kamu ngapain di sini?” tanya kak Alvin yang kali ini jauh lebih ramah, ini langkah yang sangat baik untuk dirinya mengenal lebih jauh dengan pangeran esnya.
“Oh iya, saya mau ngambil berkas-berkas untuk lomba musik.” Ucap Agatha masih salah tingkah dan hanya di balas anggukan. Suasana tak enak segera di hiraukan oleh Agatha dan ia langsung masuk mencari lemari biru tempat di mana berkas itu diletakan.
“Makasih ya sekali lagi, sejak kamu jadi Ketua OSIS rasanya ekskul musik kembali hidup, lebih tepatnya semua ekskul.” Alvin kembali menatap Agatha yang sibuk mencari berkas namun kegiatannya terhenti saat mendengar pujian beruntun dari seseorang yang selalu ada di pikirannya, mungkin ia sering mendengar pujian dari guru dan teman-temannya namun ini berbeda ia dipuji oleh orang yang sangat disukainya, seseorang yang begitu berbakat dalam segala bidang.
Agatha tersenyum. “Sama-sama kak, saya senang kalau kakak merasa begitu.” Ucap Agatha sopan.
“Bisa nyanyi?” tanya nya masih dingin.
“Gak bisa kak, ketawa aja saya fals.” Agatha terkekeh dan segera membalik badan saat sudah menemukan berkas-berkas yang ia cari, ia tersenyum saat melihat Kak Alvin tersenyum cukup lebar atau lebih tepatnya sedikit mengangkat kedua sudut bibirnya.
“Kalau main alat musik?” ia mengangkat salah satu alisnya, Agatha yang melihat segala ekspresi Alvin sedekat ini merasa jantungnya tidak terkontrol.
“Apalagi itu kak, saya gak bidang di seni musik.” ucapku tersenyum malu, memang Agatha yang dikenal sangat pandai dalam segala bidang contohnya dalam memimpin sebuah organisasi, dalam hal pelajaran, membuat tulisan-tulisan bermakna, dia juga tidak kalah cantik dengan cewek-cewek populer di sekolahnya seperti Steffi dan gengnya.
“Tapi kamu tertarik soal musik?” tanya Alvin lagi, setidaknya Alvin telah bisa berbicara sedekat ini dengan makhluk berjenis kelamin wanita setelah sekian lama ia menutup diri bahkan membentengi diri dengan tembok teramat tinggi dan tebal yang sulit di tembus oleh kaum hawa.
“Saya sih tertarik kak, cuman belum ada media buat belajarnya.” Ucap Agatha lagi masih berdiri di tempatnya.
“Kenapa gak ikut ekskul musik?” tanya Alvin.
“Waktunya bentrok sama OSIS dan ekskul teater wajib.” Ucap Agatha lagi, sedari dulu saat ia masuk pertama kali di sekolah ini sebenarnya ia ingin masuk ke ekskul musik hanya saja itu menjadi pilihan terakhirnya.
“Tiap orang punya minat dan bakat yang berbeda, jadi saya maklumi kalau hati kamu gak ada di ekskul musik ini. Tapi, setiap orang bisa belajar banyak hal. Gak harus ahli, setidaknya kamu paham dan tahu dasarnya.” Ucap Alvin bijak langsung saja masuk menancap di hati Agatha. Dia menjadi senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata bijak milik Alvin.
“Sini duduk, berdiri aja disitu.” Goda Alvin dan Agatha langsung tersadar duduk di bangku yang berada di dekat Alvin.
“Saya bisa ajarin kamu tentang dasar-dasar musik, anggap ini ucapan terimakasih saya karena kamu ekskul ini banyak peminatnya.” Alvin menatap dengan intens Agatha, sedangkan yang diperhatikan tidak berani menatap lawan bicaranya, sungguh situasi ini membuat Agatha gugup.
Memang ekskul musik banyak sekali peminatnya selama masa kepemimpinan Agatha sebagai Ketua OSIS karena ia sering mengadakan event untuk ekskul-ekskul yang kurang peminatnya.
Karena melihat tidak ada reaksi dari Agatha. “Kamu mau belajar alat musik apa?” tanya Alvin, ketika pertanyaan itu keluar Agatha seperti mendapat dorongan semangat penuh.
“Gitar” Jawab Agatha cepat dengan semangat 45 dan reaksi itu membuat Alvin lagi-lagi terkekeh, Agatha menjadi malu karna di tertawakan Alvin.
“Oke, saya ajarin basicnya dulu aja ya. Saya senang kalau ada orang yang mau belajar dengan semangat tinggi.” Ucapnya memuji Agatha.
Di ruangan musik terdapat dua insan yang sedang serius memainkan alat musik gitar, Alvin memperkenalkan bagian-bagian gitar lalu mulai mengenalkan Agatha pada kunci-kunci yang ada pada gitar dan selanjutnya suasana yang hening diselingi candaan kecil, Alvin terkadang terkekeh melihat Agatha yang salah dalam menekan senar, selanjutnya dua insan itu merasa dunia hanya milik mereka berdua saja.
“Kak makasih ya sudah mau ajarin saya banyak hal tentang gitar.” Ucap Agatha saat mereka sampai di halaman parkir sekolah.
“Sama-sama, kamu cukup cepat menangkap semua yang saya ajarkan. Kalau saya udah lulus kamu bisa gantiin saya sebagai coach di ekskul musik ya?” tanya Alvin terkekeh.
“Kakak bercanda ya? Saya gantiin kakak? Ilmu saya mah masih cetek kak belum sehebat kakak.” Ucap Agatha, ia merasa sangat nyaman entah kenapa ia bersyukur pada takdir yang membawanya sampai pada hari ini. Dimana ia bisa sedekat ini dengan pangeran es yang sedari dulu selalu menutup dirinya, ia merasa dunianya lebih berwarna yang dulunya abu-abu kini lebih mengenal warna-warni.
‘Ketika dia membuatku nyaman, aku hanya takut jatuh cinta sendirian’
“Gatha, lo gue anter pulang.” Saat Agatha masih sibuk membahas hal lainnya tentang gitar dengan pangeran impiannya ia, telinganya mendengar suara yang tak pernah ia harapkan, mendengar suara yang membuat harinya yang berwarna kembali hitam. Itu membuat perubahan air wajah Agatha nampak nyata apalagi saat ia berbalik badan dan menemukan seseorang dengan ciri khas berjaket kulit dan memiliki rambut yang sangat khas dengan tampang nakal, baju berantakan dan rambut yang tidak pernah rapi.
“Yauda saya duluan ya, Aldo jangan pulang kemaleman.” Begitulah pesan Alvin yang hanya dianggap angin lalu bagi Aldo, pikirnya Alvin bertingkah sok baik dengan dirinya selalu seperti itu dari dulu saat keluarganya masih utuh bahkan sampai detik ini ia sudah resmi menyandang status anak broken home.
“Ayo!” Ucapan itu akhirnya membuat Agatha sadar karena tadi sempat terdiam bagaimana mungkin Kak Alvin meninggalkannya dengan si cowok bad yang dengan melihatnya saja ia seperti bertemu masalah besar.
“Lo ngapain sih di sini?!” tanya Agatha kesal dengan nada yang sudah meninggi.
“Mau nganter lo pulang lah” Jawab Aldo singkat.
“Gue gak mau!” lagi-lagi Agatha dan Aldo akan memulai perdebatannya, beberapa murid yang memiliki jadwal ekskul hari ini melihat bagaimana sang Ketua OSIS sedang beradu argumen dengan bad boy yang paling disukai kaum hawa karena kenakalannya sekaligus ditakuti karena kegarangannya.
“Yauda kalau lo gak mau, gue duluan ya. Bye!” Aldo menjalankan motor sportnya tanpa sedikitpun memaksa Agatha, setelah Aldo keluar dari area sekolah, Agatha terpaku bingung melihat reaksi Aldo.
Bagaimana mungkin Aldo yang biasanya akan terus memaksa sampai mereka berdebat tak henti?
“Emang gue pikirin?!” ucap Agatha lagi saat tersadar mengapa ia harus memikirkan Aldo, justru ini keberuntungan karna hari ini ia terhindar dari cowok bad itu dan gosip receh itu tidak akan tersebar kembali.
Agatha memutuskan untuk menelepon sang papa, berharap hari ini adalah keberuntungan dirinya dengan kemungkinan Agatha akan mendengar papanya menjawab.
‘Iya Tha, Papa jemput kamu.’ Itulah kata-kata yang selalu ia ingin dengar dari papanya, semenjak ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia memang tumbuh menjadi gadis mandiri, jika saat SD papanya masih bekerja dari rumah dan bisa memperhatikan dirinya, sejak Agatha SMP perhatian itu tak lagi ia rasakan hanya hampa dan sunyi yang ada di rumahnya sedangkan Gea sang kakak sibuk mengejar pendidikan agar bisa membantu papanya di perusahaan milik keluarga.
‘Halo Pa, sekarang bisa jemput Agatha?’ tanya Agatha penuh harap.
‘Halo Tha, kalau sekarang papa gak bisa soalnya ada meeting sama client besar. Kalau kamu mau nunggu sekitar satu jam papa akan ke sekolah.’ Begitu cepat kata-kata itu sehingga tanpa sadar membuat Agatha tidak merespon, air matanya langsung saja mengalir.
‘Halo? Agatha? Kamu mau menunggu papa atau pulang sendiri?’ tanya papanya lagi karena tidak mendapat respon dari putri bungsunya itu.
‘Iya Pa Gatha tunggu papa aja, lagian Gatha lagi gak buru-buru kok.’ Agatha tersenyum dan air matanya kembali menetes.
‘Oke sayang, Papa meeting dulu nanti kalau udah selesai papa langsung ke sekolah kamu ya.’ Suara bariton milik sang papa tak lagi terdengar tapi, bagi Agatha percakapan singkat dengan sang papa sudah membuatnya sangat senang akhirnya keajaiban itu datang setelah bertahun-tahun ia sangat ingin merasakan diperhatikan kembali oleh sang papa sekarang kesempatan itu datang.
“Makasih ya Pa.” Ucap Agatha dan berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu di sana.
Agatha menunggu dengan sangat bersemangat, ia seperti tidak memikirkan waktu terus menantikan sebuah mobil sedan hitam milik sang papa akan datang menjemputnya. Sambil menunggu Agatha memainkan ponselnya sesekali melihat ekskul paskibra di sekolahnya, jika dulu sebelum ia menjadi Ketua OSIS, ia akan disibukkan dengan mengikuti latihan paskibra juga lomba-lomba antar sekolah.
Ia merindukan masa-masa itu. “Udah 1 jam, papa kok belum datang ya?” Agatha melihat kesana dan kemari.
“Apa kena macet?” tanya Agatha lagi mulai ragu akan janji sang papa.
“Bos.. bos bingung gue sama lo, badan lo di sini tapi pikiran dan mata lo ke seberang.” Ucap Zack menggoda sang ketua geng yang sedari tadi terus memperhatikan gadis yang berdiri gelisah di dekat gerbang sekolah.
Aldo dan gengnya memang sedang nongkrong di warung sebrang sekolah yang selalu menjadi tempat ngumpul mereka alasannya sang pemilik warung tidak masalah jika mereka berlama-lama nongkrong di sana karena Aldo akan membayar dua kali lipat makanan yang mereka semua makan.
“Maksud lo otak sama mata gue kepisah sama badan gue?” tanya Aldo terkekeh.
“Yeh bukan gitu bos, elah masa lo gak ngerti? Satu sekolah bahkan tahu si bad boy sedang gencar mendekati sang Ketua OSIS yang sangat amat disiplin itu.” Arah padangan Zack menuju seorang gadis berseragam putih dengan rok abu-abu sedengkul sedang cemberut dan terlihat kesal memegang ponselnya.
“Gue cabut.” Dua kata itu membuat sepuluh orang lainnya yang sedang asik bercanda pun menatap aneh ke arah Aldo yang sudah mematikan rokoknya. Zack hanya terkekeh melihat sang ketua geng mengendarai motornya mengarah ke gerbang sekolah selanjutnya Zack tau bahwa sang ketua geng sedang jatuh cinta.
“Papa beneran gak dateng ya?” Agatha cemberut, rasanya ia ingin menangis sekencang kencangnya sekarang. Matanya sudah berkaca-kaca meminta meluapkan segala gejolak hebat di hati yang ada di pikirannya hanyalah kemana papanya sekarang sudah hampir satu setengah jam ia menunggu namun tak ada tanda-tanda kedatangan sang papa, mengabarinya pun tidak. Sekarang air mata itu kembali menetes, Agatha menatap cuaca sore hari ini dengan hati yang hancur.
“Ayo gue anter balik.” Sebuah suara lagi-lagi membuat Agatha kesal, sekarang ia sedang gundah gulana karena papanya telah membohonginya dan mengapa suara menjengkelkan itu harus hadir lagi.
“Lo tuh kenapa sih ganggu gue terus, kalau lo mau pulang ya pulang aja! “ Agatha sangat kesal wajahnya memerah, matanya pun juga merah sedangkan dadanya naik turun mencoba menetralkan perasaan kacaunya saat ini, Aldo terdiam sebenarnya ia sudah dapat menebak reaksi apa yang ia dapatkan. Agatha tidak mau menatap orang yang ada di hadapannya ini sedangkan Aldo masih duduk manis di atas motor sport-nya. Handphone Agatha bergetar bukan menandakan telepon atau pesan masuk namun ponselnya sekarang sudah mati akibat kehabisan baterai.
Entah kenapa hari ini menjadi puncak kesialannya rasanya sekarang ia ingin menabrakkan diri di jalan atau sekedar membenturkan kepalanya ke tembok, jika saja otaknya sudah tidak waras mungkin tindakan yang tadi terlintas di pikirannya sudah ia lakukan namun kembali pesan sang mama mendengung di telinganya.
“Gue anter lo pulang sekarang, setelah itu gue janji gak akan gangguin lo lagi.” Begitulah kata-kata yang keluar dari bibir Aldo. Mendengar perkataan itu Agatha akhirnya mau menatap lawan bicaranya itu.
“Gue tetap gak mau!” Bentak Agatha yang membuat Aldo menghela nafas.
“Berarti lo mau tetap gue gangguin dong?” tanya Aldo berusaha mencairkan suasana.
“Ya gak juga!” Agatha mulai rileks setelah tadi hatinya seperti tersayat mengingat bagaimana sang papa berjanji untuk menjemputnya.
“Yauda kalau gitu lo gue anter pulang sekarang, setelah itu gue bakal tepatin janji gue.” Ucap Aldo lagi dengan nada dingin, hatinya tentu menolak perjanjian itu karena Aldo tidak ingin jauh dari Agatha.
Alvin bisa mengambil segalanya dari Aldo perhatian kedua orang tuanya, pujian dari banyak pihak, kasih sayang sang kakek, orang yang dicintainya dulu, namun tidak dengan gadis dihadapannya sekarang, Aldo akan berjuang dan berusaha sampai titik darah penghabisan.
“Oke gue mau, tapi inget janji lo!” ucap Agatha masih dengan nada yang gengsi ia memutuskan naik ke atas motor Aldo, dibalik helm senyum mengembang tercetak dari Aldo untuk Agatha, Aldo memberikan helm dan setelah memastikan gadisnya aman ia pun menjalankan motor membelah jalanan Jakarta yang pada sore hari sangat padat.
*******
“Loh ini kan bukan arah ke rumah gue?” pekik Agatha saat sadar ini bukan mengarah ke rumahnya.
“Lo mau culik gue ya?! Turunin gue sekarang atau gue teriak lo penculik anak dibawah umur!” teriak Agatha membuat pengendara lain bergidik ngeri mendengar suara cempreng milik Agatha, sedangkan yang menimbulkan suara bising itu tidak peduli yang diperdulikannya hanya keselamatan gadisnya, jadi ia akan tetap fokus berkendara. Agatha menggebuk-gebuk punggung Aldo, dan pukulan Agatha yang cukup kencang tak membuat Aldo berhenti, ia malah bersemangat memacu laju motornya dan hal itu membuat Agatha kaget setengah mati jadi ia dengan refleks memeluk Aldo kencang, Aldo kaget namun segera menetralkan raut wajahnya ia senang saat seperti ini dimana Agatha memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya.
“Makanya jangan bawel!” Bisik Aldo namun tetap terdengar oleh Agatha.
“Lo gila ya mau buat gue mati?! Kalau mau mati sendiri aja jangan ngajak-ngajak! Dasar cowok bad!” teriak Agatha menyatu dengan hembusan angin sore hari yang begitu kencang menghempas wajahnya.
Akhirnya mereka sama-sama terdiam tak ada perbincangan, hanya ada angin sore menemani perjalanan mereka, seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Agatha tak mengerti mengapa dia selalu saja menuruti keinginan cowok di depannya ini. Sekarang ia merasa sudah lama sekali tidak keluar jauh dari komplek rumahnya selain ke sekolah bagaikan burung yang baru terlepas dari sangkarnya.
“Gak mau turun? Masih betah ya meluk gue?” tanya Aldo saat sadar Agatha melamun padahal laju motornya sudah berhenti disebuah tempat makan kaki lima yang ada di dekat taman, langsung saja Agatha melompat turun dari motor dan melihat sekelilingnya.
