Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Bibirmu Jadi Canduku!

"Kenapa ke sini?" tanya Irene kaget, Kevin membawanya ke tempat parkir. "Aku masih ada satu mata pelajaran lagi!"

"Kita akan bicara di dalam mobil!" jawab Kevin langsung membuka pintu mobilnya. "Masuk!"

"Tidak mau!" tolak Irene berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari pegangan Kevin. "Lepaskan tanganku!"

"Masuk!" bentak Kevin mulai habis kesabaran.

"Lepaskan!" Irene tak kalah sewot ketika melihat kulit tangannya memerah. "Tanganku sakit!"

"Makanya masuk!" Kevin tidak gentar. "Masuk atau aku akan berbuat kasar padamu!"

Tak ada garis takut di wajah Irene. Kedua bola matanya menatap nyalang wajah Kevin bak macan yang siap menerkam mangsa.

"Ada apa ini?" pertanyaan bersuara berat dari arah belakang membuyarkan kemarahan Kevin dan Irene, sang dosen sudah berdiri melihat keduanya. "Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, pak," jawab Kevin langsung merubah sikap jadi tenang. "Kita hanya sedang berdiskusi saja. Benarkan, Irene?!"

Mau tak mau Irene mengangguk. "Iya, pak. Betul apa yang dibilang Kevin. Kita hanya sedang berdiskusi saja."

"O ya?!" sepertinya dosen tidak percaya begitu saja. Dilihatnya Irene dan Kevin secara bergantian penuh curiga. "Selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin. Jangan bertengkar! Paham!"

Kevin jadi merasa malu, pura-pura garuk-garuk kepala tak gatal. "Iya, pak. Lagian kita berdua tidak bertengkar, hanya sedikit salah paham saja."

Setelah itu, dosen langsung pergi meninggalkan Kevin dan Irene yang terlihat memasang wajah masam.

Pertengkaran Kevin dan Irene kembali dilanjut. Dengan kasar, Kevin mendorong Irene yang keras kepala masuk ke dalam mobil.

"Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi ada mata kuliah!" sergah Irene.

Kevin berusaha sesabar mungkin, mengambil napas sejenak untuk meredam emosi. "Aku ingin menjelaskan tentang Sisil!"

Irene diam. Tatapannya melihat ke depan, bibirnya cemberut tertutup rapat.

"Waktu itu, Sisil minta tolong padaku agar mengantarnya ke toko membeli buku. Aku awalnya menolak ketika Sisil meneleponku, tapi sore harinya Sisil malah datang ke rumah dan memintaku untuk mengantarnya, padahal aku sudah menolaknya lewat telepon."

Irene tersenyum kecut. "Bulshit!"

"Sisil bertemu dengan ibuku dan minta ijin pergi denganku. Akhirnya mau tidak mau, aku pergi mengantar Sisil atas permintaan ibu," jelas Kevin.

Irene tidak percaya begitu saja, tapi Kevin tak pantang menyerah dalam meyakinkan Irene sehingga lama-lama Irene akhirnya melunak dari kemarahannya.

"Percaya padaku, sedikitpun aku tidak mungkin selingkuh darimu. Aku sayang sama kamu," jelas Kevin menatap dalam iris mata Irene.

"Ok, kali ini aku percaya. Tapi jika hal ini terjadi lagi, aku tidak akan memaafkan kamu!"

"Tidak mungkin terjadi lagi," ucap Kevin senang, akhirnya masalah bisa terselesaikan. "Tapi ngomong-ngomong, darimana kamu tahu aku pergi dengan Sisil?!"

Irene lalu menjelaskan bagaimana bisa tahu Kevin pergi bersama Sisil. "Waktu itu, temanku minta diantar beli baju. Kebetulan toko baju dan toko buku bersebelahan, jadi aku melihatmu bersama Sisil."

Kevin mengernyitkan kening. "kok bisa kebetulan begitu?!"

Irene mengangkat kedua bahunya. "Mana aku tahu. Waktu itu, temanku juga terus menerus memaksa minta diantar, padahal sudah kutolak."

Berbagai praduga kecurigaan akhirnya muncul dalam benak Kevin. "Siapa temanmu?!"

"Helen, si ratu make-up!"

Kening Kevin mengernyit. "Helen, si rambut warna warni?!"

"Iya! Siapa lagi di kampus ini yang berani rambutnya dicat warna warni selain si Helen," jelas Irene. "Memangnya kenapa?!"

"Si Helen ini teman akrabnya si Sisil. Kenapa aku merasa ada yang aneh di sini?! Sisil dan Helen memaksa kita untuk ikut dengan mereka. Tempat dan jam yang sama, itu seperti sudah direncanakan. Apa kamu tidak mencurigai sesuatu?!"

Irene sejenak terdiam, mencerna apa yang sedang dicurigai Kevin. "Maksudmu si Helen dan si Sisil ,,,,"

"Iya!" Kevin langsung memotong kalimat Irene. "Mereka berdua merencanakan sesuatu, Sisil mengajakku ke toko buku dan Helen mengajakmu ke toko baju. Apa kamu tidak merasa itu terlihat ganjil?!"

"Mungkin itu hanya kebetulan saja!" ujar Irene. "Terlepas dari itu semua, bagiku kamu tetap salah!"

"Salah?! Bukankah sudah aku jelaskan semuanya, kenapa aku bisa pergi dengan si Sisil?!"

"Kamu tidak bisa sembunyi dari alibi kecurigaan kamu itu! Di mataku, kamu tetap salah karena pergi tanpa minta ijin dariku!" Irene kembali sewot.

Kevin malah tersenyum. "Oh, jadi kamu marah karena aku tidak minta izin padamu?"

Irene membuang muka, tak mau melihat Kevin. "Aku pergi harus minta ijin, sementara kamu sendiri, pergi seenak jidatmu sendiri! Dasar curang!"

Kevin malah terkekeh. "He-he-he."

"Ketawa lagi!" gerutu Irene kesal kemudian membuka pintu mobil tapi tidak bisa terbuka.

"Kamu maafkan aku dulu, baru pintunya aku buka," ujar Kevin.

Irene menatap galak. "Buka pintunya!"

Bukannya takut, Kevin malah menarik tubuh Irene dan mendaratkan kecupan manis di bibir Irene. Cup!

Irene mendorong tubuh Kevin. "Jangan sentuh aku!"

"Apa kamu bilang?!" Kevin tak terima. Tubuh Irene kembali ditariknya dan mendaratkan bibirnya, tapi kali ini bukan hanya sebuah kecupan melainkan sebuah lumatan.

Kedua bola mata Irene melebar. Bibirnya telah dilumat rakus oleh Kevin. Beberapa detik dirinya berontak, tapi permainan bibir Kevin berhasil meredam amarah, sehingga Irene akhirnya mengikuti permainan bibir Kevin.

Di antara ciumannya, Kevin tersenyum. Usahanya tak sia-sia, akhirnya Irene telah berhasil ditaklukan. Tapi, detik berikutnya Irene mendorong kuat tubuh Kevin hingga terjengkang ke belakang.

"Berani sekali kamu menciumku!" bentak Irene kasar sambil membersihkan bibirnya dari saliva.

Kevin meringis, kepalanya membentur kaca mobil. "Aduh, kenapa kamu mendorongku?

Irene menatap nyalang. "Jangan berani menyentuhku! Kita sudah putus!"

Wajah meringis Kevin berubah jadi garang. Menatap tajam iris mata Irene. "Apa kau bilang?!"

"Kita sudah putus!"

"Katakan sekali lagi!" bentak Kevin tak kalah keras suaranya dari Irene.

Irene tersentak kaget, tapi karena egonya yang tinggi, kemarahan Kevin tak membuatnya takut. "Kita sudah putus!"

Kevin langsung menarik tubuh Irene. Dengan cepat meraih tengkuknya sehingga dengan mudah Kevin mendaratkan bibirnya. Walaupun Kevin melakukannya dengan singkat, tapi sukses membuat Irene kehabisan napas.

"Itu hukuman untukmu!" ucap Kevin setelah melepaskan ciumannya.

"Sialan! Apa yang kamu lakukan?" teriak Irene sewot.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel