Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Kita Putus!

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mang Ujang sampai ke supermarket yang menjadi tujuan majikannya berbelanja.

"Mang Ujang tunggu di mobil saja, ponselnya jangan mati. Setelah selesai belanja, saya telepon Mang Ujang untuk mengambil barang belanjaan."

"Iya nyonya!"

.....

Dilain tempat, di sebuah kampus kenamaan yang berada di ibukota tercinta kita ini. Nampak beberapa mahasiswa dan mahasiswi sedang asik becanda tanpa menghiraukan sekelilingnya. Sesekali terdengar tawa mereka berderai jika salah satunya ada yang sedang membuat guyonan lucu.

"Irene, lihat siapa itu!" Sarah, gadis hitam manis yang duduk disebelah menyenggol tangan Irene ketika melihat ada pria yang datang mendekat.

Sekilas Irene melihat pada pria yang dimaksud. "Biarin saja, aku tidak peduli. Dia sudah jadi mantanku."

"Apa?" tanya temannya kaget. "Serius?! Kapan kalian putus?!"

"Kemarin," jawab Irene datar. "Kalau kamu mau, silahkan ambil. Gratis!"

Pria yang sedang mereka bicarakan berdiri depan mereka berdua. Tatapannya tak lepas menatap Irene.

"Hai, Kevin," sapa Sarah yang duduk disebelah Irene basa basi.

"Hai, Sarah!"

"Ke mana saja kamu? Lama tidak kelihatan batang hidungnya," tanya Sarah mengurai kecanggungan antara Irene dan Kevin.

"Sibuk!" jawab Kevin duduk disebelah Sarah yang masih tersisa kursi kosong.

"Laganya sok sibuk, kayak pejabat saja! Presiden juga sibuk, tapi masih bisa kumpul sama teman-temannya!" ledek Sarah mendengus.

"Ha-ha-ha," Kevin tertawa terbahak. "Sibuk menata hati," ujarnya melirik Irene yang sibuk dengan ponselnya.

"Menata hati?" celetuk temannya dari arah belakang. "Cewek loe ada di sini, kenapa harus menata hati?!"

"Mungkin mereka lagi perang dunia!" ucap temannya yang lain. "Ha-ha-ha. Irene! Woi! Lihat tuh pacarmu! Yaelah, malah asik dengan ponselmu!"

"Dia bukan cowok gue lagi! Silahkan ambil kalau ada yang mau!" sergah Irene santai melihat teman-temannya.

"What?! You serius?!" serempak semua temannya mengeluarkan kata yang sama dengan ekspresi kaget.

Irene mengangguk beberapa kali. "Gue serius!"

Kevin melihat Irene. "Kamu benar-benar ingin putus denganku?!"

Irene menatap tajam Kevin. "Sejak kapan aku tidak pernah serius?!"

Kevin bangun dari duduk, berdiri depan Irene. "Aku belum setuju kita putus!"

"Tapi aku sudah menganggap kita putus!" bentak Irene mulai tersulut emosi.

"Tidak, kita belum putus! Kamu hanya cemburu melihatku jalan dengan Sisil! Demi apapun, percaya padaku! Dia itu hanya temanku yang minta tolong diantar beli buku."

"Kamu selingkuh dibelakangku! Jangan sembunyi dibalik kedok pertemanan! Aku benci itu!" Irene semakin geram.

"Astaga Irene!" Kevin terlihat putus asa. "Dengan apa lagi harus aku jelaskan?!"

"Aku percaya dengan apa yang aku lihat sendiri!" bentak Irene. "Dasar pembohong, tukang selingkuh!"

"Ya Tuhan, Irene! Aku dengan Sisil tidak ada apa-apa! Tanya Sisil kalau kamu tidak percaya!" Kevin mulai habis kesabaran.

"Tidak perlu! Aku percaya dengan diriku sendiri. Selingkuh tetaplah selingkuh, mau apapun alasannya selingkuh tetaplah selingkuh!"

Dengan kesal, Kevin menyisir rambut menggunakan ruas jari tangannya ke belakang. "Please, percaya padaku. Aku tidak selingkuh. Aku mencintai kamu! Tidak mungkin aku selingkuh dengan Sisil!"

Selagi Irene dan Kevin saling beradu mulut, Sarah dan teman-teman mereka yang lain hanya duduk diam, melihat dan mendengar seperti orang yang sedang menonton pertunjukan drama.

"Dengan cara apalagi aku harus menjelaskannya padamu? Percaya padaku, Irene," wajah Kevin memelas menatap Irene yang tak mau menatapnya.

"Sulit bagiku untuk percaya lagi padamu," jawab Irene ketus.

Kevin menghela napas. "Baiklah, baik! Aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku, tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku ini sangat mencintai kamu."

Seluruh aliran darah dalam tubuh Irene rasanya berdesir di sertai perasaan hati yang menghangat begitu mendengar Kevin mengatakan sangat mencintainya. Walau bagaimanapun hubungan mereka sudah berjalan selama dua tahun. Banyak suka dan duka serta hari-hari yang telah mereka lewati bersama. Tapi entah kenapa, hatinya begitu keras tidak mau memaafkan Kevin ketika melihat jalan berdua dengan Sisil.

"Aku akan mencari Sisil kalau kamu masih tidak percaya! Biar dia yang menjelaskan sendiri!" Kevin mengedarkan pandangannya melihat sekeliling mencari keberadaan Sisil.

Sarah menyenggol lengan Irene dan berbisik. "Sepertinya Kevin tidak bohong, aku melihat kejujuran dimatanya."

"Aku tidak percaya!" jawab Irene ketus seakan tidak peduli.

Tiba-tiba Kevin berteriak ketika matanya menangkap sosok tubuh yang terbalut celana jeans biru dan kaos putih. "Sisil!"

"Lihat itu Sisil!" bisik Sarah pada Irene. "Dia datang ke sini. Bicara dengan kepala dingin, jangan dengan emosi!"

"Hai!" Sisil tersenyum melihat Kevin. "Ada apa?"

Kevin melihat Irene yang membuang muka. "Irene, ini Sisil."

Sisil melihat Irene. "Hai, Irene," sapanya ramah.

Kevin menyenggol lengan Irene. "Tanya sama Sisil kalau kamu masih tidak percaya padaku."

Jantung Irene berdetak cepat, antara emosi dan kesal serta bingung campur aduk menjadi satu.

"Ada apa ini?" tanya Sisil bingung melihat wajah Irene yang cemberut.

Irene bangun dari duduk, "sorry, aku masih ada urusan!" ucapnya, kemudian mengambil tas dan buku yang ada disampingnya setelah itu pergi begitu saja dengan terburu-buru.

"Irene! Tunggu! Irene, dengarkan penjelasan Sisil!" panggil Kevin berlari menyusul Irene yang melangkah dengan sangat cepat.

Sisil melihat Irene yang dikejar Kevin dengan raut wajah bingung. "Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa ada yang bisa menjelaskannya padaku?!"

Sarah maupun teman-temannya hanya menghela napas, geleng-geleng kepala kemudian semuanya pergi meninggalkan Sisil.

Sementara itu, Irene sedikitpun tidak peduli dengan panggilan Kevin yang mengejarnya di belakang.

"Irene, tunggu!" Kevin mempercepat langkah kakinya agar bisa menyusul Irene.

Langkah Irene baru berhenti ketika Kevin berhasil memegang pergelangan tangannya. "Lepaskan!"

"Jalanmu cepat sekali, aku sampai kehabisan napas," ucap Kevin di antara deru napasnya yang naik turun.

Irene berusaha menepiskan tangan Kevin. "Lepaskan! Sakit!"

Kevin malah menarik pergelangan tangan Irene agar ikut dengannya.

"Kau mau membawaku ke mana?!" teriak Irene mulai histeris dengan tangan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Kevin.

Beberapa mahasiswa dan mahasiswa yang melihat mereka berdua nampak mulai terpancing akan menolong Irene.

"Hai, bro. Jangan kasar dengan cewe!" tegur salah satu senior.

"Iya," jawab yang lain menimpali. "Ini kampus, bukan ajang perkelahian."

Kevin pura-pura terkekeh. "He-he-he. Sorry bro. Cewek gue sedang ngadat. Biasalah, cewek kalau lagi ngambek memang begini."

Irene mendengus kesal. "Lepaskan tanganku!"

"Jika tidak mau menjadi tontonan orang-orang sekampus, hentikan tingkah konyol dan teriakanmu itu!" bisiknya di depan telinga Irene.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel