4. Hanya Alasan Agar Bisa Marah
"Sebelum lukisan itu jatuh, aku hendak mencari tukang kebun, Mang Jiwo," jelas Adeline dengan suara bergetar menahan segala rasa yang berkecamuk di hati.
Melani tidak percaya begitu saja. "Dasar bodoh!"
Adeline tidak berkata apa-apa lagi. Pembenaran apapun pasti tidak akan di dengar mertuanya, malah yang ada semakin memperkeruh keadaan.
"Nyonya," bibi mendekati Nyonya Melanie yang masih tersulut emosi. "Lukisan ini dan gucinya, biar bibi yang bereskan," ujar bibi takut-takut. "Bukankah, tadi nyonya bilang akan pergi arisan?!"
Melani seakan tersadar dari keadaan. "OMG! Hampir saja lupa!" ucapnya lalu melihat lukisannya lagi. "Sepertinya lukisan ini tidak rusak, hanya bingkainya saja yang pecah. Bibi hati-hati mengambil lukisan ini dari bingkainya, jangan sampai tergores!"
"Iya nyonya, jangan khawatir," jawab bibi lega karena majikannya mau mendengarkan ucapannya segera pergi ke tempat arisan.
"Pokoknya harus hati-hati!"
"Iya nyonya!" jawab bibi tak kalah tegas.
Nyonya Melanie lalu mengambil salah satu pecahan guci yang telah pecah. "Ya Tuhan, guci kesayanganku. Apa salahku sampai harus melihat semua ini?!"
"Nyonya sebaiknya segera pergi, nanti bisa datang terlambat," bibi mengalihkan perhatian Nyonya Melanie yang sedang menatap nanar pecahan guci.
Sebelum pergi, Nyonya Melani mendelik geram pada Adeline. "Awas kau! Akan ku adukan karena kau telah merusak barang-barangku!" gertaknya keras.
Bibi bernapas lega melihat Nyonya Melani berlalu pergi. Bibi kemudian mendekati Adeline yang menunduk sedih. "Nyonya yang sabar, jangan dimasukan ke hati."
"Kurang sabar apalagi saya bi?" bisik Adeline lirih. "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Mungkin suatu saat nanti, mama bisa menerima kehadiranku di rumah ini."
"Iya, nyonya. Yang sabar saja."
Adeline menghela napas, dadanya terasa masih sesak. "Sebentar lagi saya akan pergi belanja kebutuhan dapur. Bibi rapikan ini semua, jangan sampai ada pecahan kaca yang tertinggal."
"Jangan khawatir, bibi pastikan tidak ada pecahan kaca yang tertinggal," jawab bibi. "Nyonya bersiap-siap saja, bibi bisa merapikan ini semua sendiri."
Setelah itu, Adeline melangkah pergi dengan membawa wajah sedih. Sementara bibi segera mengambil sapu dan peralatan lainnya untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai.
Tak lama kemudian, datang Mang Ujang sopir pribadi keluarga. "Ada apa ini?" tanyanya.
Bibi yang sedang fokus mengambil pecahan guci terlonjak kaget. "Aaaa!" pekiknya kencang.
"Kenapa banyak pecahan kaca di lantai?" tanya Mang Ujang bingung.
"Lukisan di dinding ini jatuh. Mungkin pakunya lepas," jelas bibi. "Tolong bantu angkat lukisan ini."
"Mau dipindah ke mana?" tanya Mang Ujang bantu bibi mengangkat lukisan yang lumayan besar.
"Taruh di sana dulu? Saya mau membersihkan dulu serpihan kaca di lantai.
Mang Ujang memperhatikan lukisan tersebut. "Untung hanya kacanya saja yang pecah. Kelihatannya, lukisan ini masih aman."
"Benarkah?!" tanya bibi ikut melihat lukisan yang bingkainya patah dan kacanya retak dibeberapa tempat.
Mang Ujang kemudian melihat bagian belakang lukisan lalu mengambil potongan paku dari balik lukisan. "Beban lukisan ini sangat berat karena bingkai yang terbuat dari kayu. Lama-lama pakunya patah karena tidak kuat menahan."
"Oh, begitu."
"Ini lihatlah!" Mang Ujang memperlihatkan potongan paku yang ada di tangan. "Paku ini sangat kecil. Tidak seimbang dengan beban bingkai lukisan."
Bibi memperhatikan paku yang ada di tangan Mang Ujang. "Berarti lukisan ini jatuh karena pakunya yang patah."
"Iya, jatuh karena pakunya patah. Siapa yang memasang lukisan ini?!" tanya Mang Ujang.
Bibi sejenak terdiam mengingat-ingat. "Kalau tidak salah, Tuan Ronald dan Nyonya Melani yang memasang lukisan ini."
"Harusnya memakai paku yang lebih besar," jelas Mang Ujang.
Tak lama terdengar suara langkah sepatu dari arah tangga. Detik berikutnya, suara Nyonya Melani membahana memanggil asisten rumah tangganya. "Bibi!"
"Iya nyonya!" jawab bibi mendekati tangga, menunggu majikannya turun.
"Saya mau pergi arisan," ucap Nyonya Melanie. "Jaga rumah baik-baik. Kalau ada apa-apa, hubungi saya!"
"Iya nyonya," jawab bibi.
Nyonya Melani melihat Mang Ujang. "Darimana saja kau?! Dari tadi dicari-cari tidak ada!"
"Saya dari warung membeli rokok," jawab Mang Ujang.
Melani lalu melihat lantai yang sudah bersih dan lukisan yang sudah dipindahkan. "Bi, bagaimana lukisannya?!"
"Aman nyonya," jawab bibi. "Hanya bingkainya saja yang patah dan pecah."
Melani mendekati lukisan. "Dasar menantu bodoh. Entah apa yang ada diotaknya sampai harus merusak lukisanku ini."
Mang Ujang dan bibi saling berpandangan. Kemudian bibi mendekati Nyonya Melani. "Nyonya, lukisan ini memang jatuh sendiri."
"Darimana kau tahu kalau lukisan ini jatuh sendiri? Bukankah kau tidak melihatnya sendiri?!" ketus Nyonya Melani.
Mang Ujang mendekati Nyonya Melani. "Kalau melihat dari potongan paku yang menopang bingkai lukisannya, saya yakin lukisan ini jatuh sendiri." Mang Ujang memperlihatkan paku yang patah.
Melani memperhatikan potongan paku yang ada di tangan Mang Ujang.
"Bingkai dari lukisan ini terlalu berat, sehingga paku yang menopangnya tidak kuat. Nyonya bisa melihatnya, paku ini patah," jelas Mang Ujang.
"Apapun alasannya, tetap lukisan itu jatuh dan rusak!" ucap Melani ketus lalu dengan angkuhnya pergi meninggalkan kedua asisten rumah tangganya itu.
Melihat nyonya besarnya pergi, bibi geleng-geleng kepala. "Nyonya Melani sangat egois. Saya yakin, sebenarnya Nyonya Melani sudah tahu lukisan itu jatuh karena pakunya patah. Marah pada Nyonya Adel karena lukisan jatuh hanya alasan saja."
"Semua orang di rumah ini sudah tahu, Nyonya Melanie tidak menyukai menantunya," ujar Mang Ujang.
"Saya kasihan melihat Nyonya Adeline selalu dimarahi Nyonya Melanie. Ucapannya setajam silet kalau sedang marah."
Mang Ujang menghela napas. "Lebih baik kita lanjutkan merapikan ini semua. Tidak baik membicarakan orang lain."
"Iya."
Bibi dan Mang Ujang segera membersihkan dan merapikan ruang tamu yang tadi banyak pecahan kaca berserakan.
Tak lama kemudian, Adeline datang. "Bibi!" panggilnya.
"Iya nyonya," jawab bibi. Melihat Adeline sudah rapi dan cantik walaupun hanya memakai make-up tipis.
"Saya mau pergi belanja untuk keperluan dapur," ucap Adeline. "Jaga rumah baik-baik bi!"
"Jangan khawatir nyonya, bibi akan menjaga rumah ini dengan segenap jiwa raga," ujar bibi. "Nyonya perginya dengan Mang Ujang atau bawa mobil sendiri?"
"Mang Ujang tidak keberatan bukan kalau mengantar saya belanja?!" tanya Adeline.
"Tentu saja tidak, nyonya! Kalau begitu, saya ambil mobilnya dulu di garasi." Mang Ujang segera pergi ke luar.
"Saya pergi bi! Jaga rumah baik-baik." Adeline melangkahkan kakinya keluar dari rumah.
"Hati-hati nyonya!"
Adeline menunggu Mang Ujang keluar dari garasi. Tak lama kemudian dari arah pintu pagar terlihat sebuah mobil masuk dan berhenti tepat di depan Adeline.
