Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Lukisan Lebih Berharga Dari Harga Diri Menantu

Bibi hanya bisa menghela napas mendengar Nyonya Adeline mendapat ucapan ketus dari Nyonya Melani. Cepat-cepat bibi segera menyelesaikan mencuci piringnya. "Nyonya besar, nyonya tunggu saja di kamar, nanti bibi sendiri yang antarkan ke kamar."

"Ingat bi! Kau sendiri yang harus membuatnya!" ucap Nyonya Melani ketus. "Saya tahu, mana wedang jahe buatan bibi dan wedang jahe buatan manusia tak tahu diri!" Setelah itu, Melani langsung pergi ke luar dari dapur.

Adeline hanya bisa mengelus dada agar hatinya selalu bersabar. Sudah biasa baginya mendapat perlakuan dan kata-kata pedas dari mulut mertuanya. Apalagi, jika tidak ada Ronald di sampingnya, pasti kata-kata pedas berupa hinaan dan cemoohan akan meluncur deras dari mulut Nyonya Melani, mertuanya.

"Sabar Nyonya Adel, memang nyonya besar seperti itu," bibi rasa kasihan melihat nyonya mudanya tidak bisa berkutik jika menghadapi sikap mertuanya.

Adeline tersenyum melihat bibi. "Saya tidak apa-apa bi, sudah biasa bagiku melihat mama seperti itu."

"Nyonya sangat baik, punya hati lembut dan tidak pernah melawan. Sampai sekarang, bibi tak habis pikir, kenapa nyonya besar selalu saja marah-marah tanpa alasan?"

"Sudahlah bi, jangan membahas itu! Bagiku mama mertua sudah seperti mamaku sendiri. Apapun yang diucapkannya tidak pernah aku masukin dalam hati." Adeline membesarkan hatinya sendiri padahal dalam hatinya merasakan sakit hati yang teramat dalam, tapi demi menghindari pertengkaran dirinya rela diam dan mengalah.

"Nyonya benar-benar berhati malaikat, Tuan Muda Ronald sangat beruntung punya istri sebaik dan secantik nyonya," puji bibi.

Adeline tersenyum. "Tapi sampai kapan kita mau mengobrol? Bibi mau kena marah lagi dari nyonya besar karena wedang jahenya terlambat?"

Bibi terkekeh. "He-he-he Hampir saja lupa."

Adeline menarik kursi untuk duduk. "Buatkan wedang jahenya yang enak biar tidak kena tegur."

"Nyonya, apa nyonya masih ingat?" tanya bibi dengan tangan yang mulai sibuk untuk membuat wedang jahe.

"Ingat apa?"

"Satu bulan yang lalu, nyonya besar pernah minta dibuatkan wedang jahe," jawab bibi.

"Iya, aku ingat. Kenapa?"

"Waktu itu, sebenarnya yang membuat wedang jahe untuk Nyonya Melanie adalah Nyonya Adel, tapi bibi yang memberikannya pada nyonya besar di ruang tamu."

"Lalu?" tanya Adeline.

"Nyonya besar memuji wedang jahenya, katanya sangat enak. Nyonya besar pikir, wedang jahe itu buatan bibi padahal Nyonya Adel yang membuatnya. He-he-he."

"He-he-he."

"Tapi barusan, nyonya besar bilang wedang jahe buatan Nyonya Adel tidak enak," ujar bibi. "Padahal tidak tahu saja, kalau dulu pernah memuji wedang jahe buatan Nyonya Adel setinggi langit."

Adeline menegarkan hati. Tersenyum hambar, mata yang begitu banyak kesedihan. "Tidak apa-apa bi, kita maklumi saja."

"Nyonya Adel terlalu baik, sekali-kali kalau nyonya besar bicara menyakitkan hati, nyonya lawan saja. Jangan mau diinjak-injak, apalagi tanpa mengetahui salah kita itu apa."

"Aku hanya menghindari pertengkaran. Tidak ada gunanya mau menjelaskan apapun juga. Bagi mama, aku ini selalu salah," ucap Adeline lirih.

"Menghindari pertengkaran memang bagus, tapi kalau terlalu diinjak juga tidak baik nyonya. Nanti kitanya jadi sakit batin."

Adeline tersenyum kecut, apa yang dikatakan bibi memang ada benarnya, tapi jika harus melawan mertuanya, sama saja dirinya melawan suaminya yang sangat sayang sekali pada mamanya.

Tiba-tiba bibi teringat sesuatu. "O iya, nyonya. Apa sudah bertemu dengan tukang kebun, Mang Jiwo?"

"Sudah tadi di depan. Kenapa?"

"Tadi Mang Jiwo mencari nyonya, katanya mau menanam bunga di dekat gazebo atau apa ya itu, bibi lupa."

"Oh, itu. Tadi sudah bicara dengan Mang Jiwo. Menurutku, tidak masalah mau menanam bunga melati atau bunga apapun di dekat gazebo, malah itu akan menambah indah taman," ujar Adeline.

"Menurut kita memang begitu, tapi akan berbeda ceritanya bagi ,,,," bibi menurunkan volume suara bicaranya. "Nyonya Melani, karena seleranya berbeda. Hi-hi-hi."

"Hush! Bibi ini dari tadi gibah melulu." Adeline tersenyum sambil geleng-geleng kepala, bangun dari duduk.

"He-he-he."

"Lanjutkan itu membuat wedang jahenya!" ujar Adeline. "Saya mau ke kamar untuk bersiap-siap pergi, sebentar lagi mau ke luar."

"Iya nyonya," jawab bibi.

Adeline pergi meninggalkan bibi. Suara sandal rumah yang dipakainya memecah kesunyian dalam rumah, tapi tak lama kemudian langkah kakinya berhenti ketika akan menaiki tangga. Adeline melihat lukisan yang terlihat miring di ruang keluarga.

"Kenapa lukisannya miring?" gumam Adeline mendekati lukisan bunga abstrak yang menempel di dinding.

Adeline memperhatikan pigura besar yang membingkai lukisan tersebut dari atas sampai bawah dengan seksama. "Apa paku yang menopang lukisan ini terlepas?"

Adeline memandangi lukisan tersebut. "Ini lukisan kesayangan mama, kalau terjadi sesuatu dengan lukisan ini, bisa hancur dunia persilatan. Sebaiknya aku minta orang untuk memperbaiki pakunya kembali."

Menengok ke kiri dan kanan berharap ada orang, tapi tidak ada satupun yang terlihat. Akhirnya, Adeline memutuskan untuk mencari bantuan, tapi baru beberapa meter melangkah, terdengar suara benda jatuh sehingga spontan Adeline melihat ke asal suara.

Praaaang ,,,

Kedua bola mata Adeline membulat. Terkejut melihat lukisan tersebut jatuh menimpa meja dan guci yang ada di bawahnya. Alhasil, kaca yang membingkai lukisan dan guci pajangan pecah berserakan.

Tak lama terdengar suara-suara langkah kaki datang mendekat.

"Ya ampun!" bibi tercengang melihat kondisi lukisan dan guci yang berserakan.

"Ya Tuhan!" teriak mama histeris dari belakang tubuh Adeline.

Spontan, Adeline membalikkan tubuh, melihat mertuanya.

"Lukisanku ,,," ucap mama tercengang, masih tak percaya dengan apa yang dilihat di depan matanya.

"Ini, ini, aa,,, aku, aku tidak tahu," Adeline terbata, aura ketakutan langsung menyelimuti hatinya.

"Pasti ini semua gara-gara kau!" tuduh Nyonya Melanie menatap nyalang pada Adeline bak macan melihat musuh.

"Bu,,,bukan aku ma," elak Adeline gagap.

Melanie semakin garang. "Dasar bodoh! Menantu tidak berguna! Kau apakan lukisan kesayanganku ini?!" bentaknya sewot.

Jantung Adeline berpacu cepat. Seketika tangannya gemetar sampai tidak tahu harus bicara apa.

Nyonya Melani kemudian melihat guci yang telah pecah berserakan. "Kau bukan hanya menghancurkan lukisan, tapi juga guci kesayanganku! Kau tahu berapa harga guci ini?!"

Adeline menggeleng. "Ti,,,tidak tahu ma."

"Harga guci ini, lebih mahal dari harga dirimu!" sarkas Nyonya Melani bicara.

Deg,,,

Hati Adeline bagai tersayat sembilu. "Sebegitu rendahkah dirinya di mata mertuanya?" jerit hati kecilnya.

Tak ada raut kasihan di wajah Melani meskipun melihat menantunya telah berkaca-kaca matanya. "Dasar menantu bodoh? Entah apa yang putraku lihat dari wanita sepertimu sampai mau menjadikan kau istrinya!"

"Ma ,,," ucap Adeline serak menahan air mata yang akan ke luar dari kelopak matanya.

Nyonya Melanie semakin garang. "Dasar benalu! Tidak tahu diri! Kau membenciku makanya kau menghancurkan barang-barang kesayanganku!"

"Aa,,aapa maksud mama? Aku,,, aku tidak melakukan apapun, tadi lukisan itu jatuh sendiri," jelas Adeline dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Tidak mungkin lukisan itu jatuh sendiri. Kau pikir lukisan ini bernyawa?!" bentak Melanie galak.

Adeline mencoba menguatkan hati untuk menjelaskan. "Aku tidak bohong ma. Lukisan itu memang jatuh dengan sendirinya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel