Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Apapun Selalu Salah Jika Di Depan Mertua

"Ini sudah siang, tidak ada waktu untuk ganti baju lagi!" jawab Irene ketus. "Dosen yang masuk mata pelajaran pertama bisa membunuhku, jika aku terlambat masuk," Irene langsung pergi dengan terburu-buru.

"Irene!" panggil Nyonya Melani dengan suara menggelegar.

Yang dipanggil tak sedikitpun menghiraukan teriakan mamanya.

"Dasar bocah keras kepala!" geram Nyonya Melani melihat putrinya tak menghiraukan panggilannya.

"Ma," Ronald mengelus lembut bahu Nyonya Melanie. "Sudah, biarkan saja. Irene masih muda, mama jangan terlalu tegang begitu. Nanti tensinya bisa naik."

Mama menghela napas. "Anak itu memang keras kepala."

"Nanti juga Irene akan berubah. Mama jangan khawatir," Ronald tak hentinya menenangkan hati mamanya. "Aku mau berangkat ke kantor sekarang. Mama baik-baik di rumah."

Adeline mengambil tas kerja yang ada di sofa, mengikuti suaminya pergi ke luar.

"Ma, aku berangkat ke sekolah." Pamela pamit sambil mencium pipi kanan dan kiri.

"Iya, belajar yang rajin."

"Ok. Bye mama."

"Bye," jawab Mama. "Belajar yang fokus!"

"Iya!"

Adeline berjalan di samping suaminya dengan tangan kanan membawa tas kerja. "Mas."

"Iya, kenapa?"

"Nanti siang, aku mau pergi ke supermarket untuk membeli keperluan dapur," jawab Adeline.

"Kamu perlu uang?" tanya Ronald.

"Tidak, uang bulanan yang kamu berikan padaku masih ada. Aku hanya minta ijin ke luar saja."

Ronald tersenyum melihat istrinya. "Pergilah Adel, beli apapun yang kamu mau dan juga beli kebutuhan untuk keperluanmu sendiri."

"Aku tidak perlu apa-apa."

"Beli saja sesuatu, misalnya baju atau make-up atau apapun yang kamu inginkan. Jangan terlalu menghemat, uang yang aku berikan tidak pernah kamu pakai," ucap Ronald.

"Baiklah. Nanti, kalau ada sesuatu yang menarik hati pasti aku beli."

"Ok! Sekarang aku berangkat kerja ya." Ronald mencium kening istrinya kemudian masuk ke dalam mobil yang sudah terbuka pintunya.

"Aku berangkat ke sekolah kak Adel," Pamela langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kakaknya.

"Iya," jawab Adeline tersenyum. "Semangat!"

Mobil perlahan bergerak melaju ke luar meninggalkan halaman rumah yang cukup luas, diiringi tatapan Adeline sampai mobil yang membawa suaminya menghilang, membaur bersama kendaraan lain.

Adeline menghela napas, dilihatnya sekeliling halaman yang nampak begitu asri dengan beraneka macam tanaman dan bunga mawar hasil dari tangannya yang telaten merawat bunga-bunga kesayangannya.

Rumah yang berdiri kokoh bergaya Eropa dengan didominasi cat berwarna putih dipandangi Adeline. "Sudah 3 tahun aku tinggal di sini, tapi entah mengapa hatiku selalu merasa menjadi orang asing di rumah suamiku sendiri."

"Nyonya Adel."

Adeline melihat pria tua datang mendekat. "Mang Jiwo, ada apa?"

"Saya mau menanam bunga melati di dekat gazebo, apa boleh nyonya?"

"Boleh Mang Jiwo, silahkan."

"Iya Nyonya Adel, terima kasih. Saya minta ijin dulu ke nyonya, soalnya Ibunya Tuan Ronald selalu marah kalau saya salah menanam bunga," jelas Mang Jiwo.

Adeline tersenyum. "Tanam saja bunganya Mang Jiwo, tapi yang rapi. Biar nanti saya yang bicara dengan mama."

"Iya nyonya." Mang Jiwo kemudian pergi menuju gazebo yang berada ditengah-tengah taman.

Adeline masuk ke dalam rumah, suasana sepi dan dinginnya lantai marmer menyambut dirinya yang baru saja masuk. Dilihatnya ruang tamu yang didominasi warna putih dengan gorden bernuansa emas serta sebuah lukisan bunga abstrak ikut menghiasi dinding ruang tamu.

Adeline melihat asisten rumah tangganya masih merapikan meja makan bekas mereka semua tadi sarapan. "Bibi, belum selesai?"

"Belum nyonya," jawab bibi.

"Biar aku bantu bi."

"Eh, tidak usah Nyonya Adel. Biar saya saja," tolak bibi.

"Tidak apa-apa bi." Adeline ikut membantu membawakan piring kotor ke dapur.

"Nyonya sudah banyak bekerja dari pagi hari. Setiap hari selalu memasak menyiapkan sarapan pagi untuk semua."

"Sudah kebiasaan aku bangun pagi, kalau tidak bekerja badanku malah pegal," jawab Adeline.

"Nyonya memang menantu idaman. Beruntung sekali Tuan Ronald mendapatkan istri seperti Nyonya Adel," puji bibi mulai mencuci piring kotor satu per satu.

"Biasa saja bi, menantu yang lain juga banyak yang seperti saya. Bahkan jauh lebih baik dariku."

"Ada, tapi sudah jarang punya menantu yang hebat seperti Nyonya Adel. Sejak ada nyonya di sini, rumah ini jadi ramai dan terlihat ceria. Padahal dulu sebelum nyonya menikah dengan Tuan Ronald, rumah ini seperti kuburan. Semua orang yang ada di rumah ini sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang selalu ada di rumah itu paling cuma Nona Pamela karena waktu itu masih kecil."

"Pamela sering ditinggal sendiri?" tanya Adeline.

"Iya, Tuan Ronald memang sibuk dengan perusahaan yang diwariskan ayahnya jadi wajar kalau jarang di rumah. Berangkat pagi, pulang setelah tengah malam."

"Lalu mama?"

Bibi melihat ke arah pintu kemudian berbisik. "Nyonya Melani sibuk dengan teman-teman arisannya, setiap hari selalu ada arisan. Hi-hi-hi."

Adeline tersenyum. "Masa setiap hari arisan bi?"

"Eh, betul itu Nyonya Adel, saya tidak bohong," jawab bibi dengan memasang wajah meyakinkan. "Setiap hari ada arisan, tapi kalau sudah menang tidak pernah bicara, giliran bayar arisan pasti teriak minta uang. Hi-hi-hi."

"Hush! Nanti didengar mama," tegur Adeline sambil tersenyum.

Bibi langsung menutup bibirnya rapat-rapat dan melihat ke arah pintu. "Bibi berani bicara begitu, karena tahu Nyonya Adel tidak akan mengadu pada Ibunya Tuan Ronald."

"Apa yang harus saya adukan? Tidak ada yang perlu diadukan. Bibi tidak berbuat kriminal, tapi mulut bibi itu harus dijaga."

"Hi-hi-hi. Iya nyonya."

"Nanti siang masak apa?" tanya Adeline mengalihkan pembicaraan.

"Belum tahu. Belum ada yang minta dibuatkan untuk makan siang, tapi sepertinya masak rendang saja."

"Iya, rendang saja," jawab Adeline.

"Jangan masak rendang!" Terdengar suara dari arah belakang mereka berdua. "Daging dan santan membuat darahku cepat naik!"

Adeline membalikkan badan. Melihat mertuanya datang dengan wajah kusam.

"Jangan masak rendang! Kamu mau membunuhku atau apa?!" tanya Melanie galak. "Setiap hari selalu masak, masakan berkolesterol tinggi!"

Adeline diam, sementara Bibi langsung melanjutkan lagi mencuci piring-piring kotornya.

"Rendang itu bisa memicu kolesterol mama cepat naik! Apa kamu berharap mama cepat mati?!"

Adeline tercengang dengan tuduhan mertuanya, "maksudnya apa ma?"

"Jangan pura-pura bodoh!" bentak Nyonya Melani ketus. "Dasar menantu tidak berguna."

Adeline bungkam, bibirnya tertutup rapat. Jauh di dalam hatinya menjerit, tapi apa dengan bersuara mertuanya bisa mengerti?

Diam-diam, bibi merutuki dirinya sendiri. Semua berawal dari ide darinya, memberi saran makan siang dengan menu rendang, tapi malah Nyonya Adel yang terkena sasaran mulut pedas dan tajam Nyonya Melani.

Suasana canggung memenuhi atmosfer dapur. Adeline yang selalu berada dipihak yang disalahkan mencoba mengambil hati mertuanya. "Apa ada yang lain lagi ma?!"

"Bukan urusanmu!" jawab mama ketus, mendelik melewati Adeline. "Bibiii!"

"Eh, iya nyonya," bibi terlonjak kaget, hampir saja piring yang sedang dipegangnya jatuh.

Kedua bola mata Melani membulat melihat piring kesayangannya hampir saja jatuh. "Ya ampun, bibiiii!" teriaknya histeris. "Cuci piring yang bener. Awas saja kalau sampai jatuh dan pecah!"

"I,i-iya nyonya," bibi malah semakin gugup. "Saya hati-hati kok."

Nyonya Melani mendengus kesal. "Selesai mencuci piring, buatkan saya wedang jahe! Kau mengerti?!"

"Biar aku yang buatkan ma," jawab Adeline menawarkan diri. "Bibi sedang sibuk mencuci piring."

"Saya menyuruh bibi, bukan kau!" bentak Melani galak. "Lagipula wedang jahe buatan kau itu tidak enak sama sekali. Jangan cari muka di depanku!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel