1. Serba Salah Jika Di Depan Keluarga Suami
"Mas, mau tambah nasinya?" tanya seorang wanita cantik berkulit putih dengan mata teduhnya.
"Tidak, aku sudah kenyang. Ini sudah cukup."
"Mama, mau tambah nasinya?" tanya wanita cantik tersebut pada wanita yang rambutnya sudah didominasi warna putih.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Aku mau tambah nasinya kak," celetuk suara cempreng dari gadis imut yang duduk disebelahnya.
"Mana piringmu?"
"Jangan terlalu banyak nasinya kak," gadis imut tersebut memberikan piring kosongnya.
"Iya."
"Sudah kak, cukup! Jangan terlalu banyak!" pinta gadis cempreng tersebut. "Ditambah dengan telor mata sapinya satu."
"Pamela, sarapanmu banyak sekali! Nanti di kelas kamu mengantuk!" tegur Mama pada putrinya yang bersuara cempreng tersebut.
"Ih, mama ini cerewet sekali. Tidak mungkin aku tidur di kelas! Hari ini, aku ada ulangan matematika. Perutku harus kenyang agar bisa konsentrasi," jawab Pamela.
"Dasar perut gentong! Alasan saja ada ulangan matematika, tiap hari juga sarapanmu banyak!" ledek kakak dari Pamela yang duduk di sampingnya.
"Dasar sirik. Minta kalau mau nambah!" jawab Pamela mencibir.
Ronald sebagai kakak tertua hanya bisa menghela napas melihat kedua adik perempuannya yang tak bisa akur. "Pamela, cepat habiskan sarapannya kalau mau ikut denganku berangkat ke sekolah."
"Kak Ronald, jangan buru-buru pergi. Aku belum selesai sarapannya," pinta Pamela.
"Dasar perut gentong," ledek Irene kembali memicu pertengkaran sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.
"Hush! Jangan begitu Irene. Tidak boleh meledek seperti itu pada adikmu!" tegur Mama keras, kemudian melihat pada anak laki-lakinya. "Ronald, nanti siang mama mau pergi arisan."
"Arisan? Bukankah baru minggu kemarin mama pergi arisan?" celetuk wanita cantik yang duduk di sebelah Ronald.
"Adeline, jangan ikut campur urusan Mama! Kamu istrinya Ronald, tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur dengan urusan mama," bentak mama ketus menatap tajam wajah menantunya.
Ronald memberikan isyarat dengan mata pada istrinya agar tidak bicara lagi.
"Iya ma," jawab Adeline langsung menunduk, pura-pura membersihkan bibirnya dengan tisu.
"Nanti Ronald transfer," ucap Ronald.
"Ke rekening yang biasa," ucap Mama senang. "Uangnya kasih lebih, mama ingin membeli peralatan make up."
"Iya ma," jawab Ronald.
"Aku juga kak," celetuk Irene. "Minta uang jajan."
"Baru 3 hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran.
"Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela."
"Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan memakai mobil sendiri," tebak Pamela.
"Iya dong!"
Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok."
"Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung.
"Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi keklub malam. Seksi bener!" ledeknya.
Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!"
"Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu ini paling boros dalam urusan uang. Kak Ronald itu banting tulang mencari uang buat kita semua setelah papa meninggal, tapi kakak dengan seenaknya menghambur-hamburkan uang! Apa kakak tidak kasihan dengan kak Ronald?!"
"Perusahaan yang Kak Ronald pegang sekarang, itu juga punya papa! Jadi, aku ada hak untuk minta uang!" teriak Irene semakin emosi menatap nyalang pada Pamela.
"Irene! Pamela! Tutup mulut kalian!" teriak Mama tak kalah kencang dari suara Irene. "Apa yang kalian ributkan?"
Irene menatap Pamela penuh amarah, begitu juga sebaliknya, Pamela menatap Irene dengan tidak kalah sewot.
"Bocah ini yang mulai ma!" tunjuk Irene pada Pamela.
"Kau yang mulai!" Pamela tak mau kalah.
Adeline hanya bisa menghela napas melihat kedua adik iparnya yang saling beradu mulut. Jika dirinya ikut campur dan melerai mereka berdua, maka sudah bisa dipastikan, nanti dirinya yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Irene. Karena dibandingkan Pamela, sikap Irene jauh lebih kasar memperlakukan dirinya, dibandingkan dengan Pamela yang masih ada sisi baiknya.
"Ada apa dengan kalian berdua ini?! Kenapa selalu ribut kalau sedang berkumpul?! Kamu juga Irene, apa tidak bisa mengalah sedikit pada adikmu?!" bentak Mama sewot.
Pamela mendelik puas pada kakaknya. Merasa di atas angin karena mama membelanya.
"Dan kamu juga Pamela, bicara yang sopan pada kakakmu. Biar bagaimanapun, dia adalah kakakmu yang harus kamu hormati."
Giliran Irene yang meledek Pamela dengan menjulurkan lidahnya. "Rasain gentong!"
Ronald hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kedua adiknya yang tidak pernah bisa akur.
"Kalian ini sudah besar, kenapa seperti anak kecil? Selalu saja bertengkar!" tegas mama kesal. "Apa harus salah satu dari kalian mama masukin ke asrama?"
"Tidak! Aku tidak mau!" jawab Irene dengan cepat. "Pamela saja yang masuk asrama."
"Eh, sembarangan! Aku juga tidak mau, kakak saja yang masuk asrama biar ada sedikit pengiritan di rumah ini," jawab Pamela.
"Makin kurang ajar mulutmu itu!" amarah Irene yang sudah mereda, tersulut kembali mendengar ucapan adiknya.
"Stooop! Hentikan!" teriak mama kencang habis kesabaran. "Kalian berdua yang akan mama masukan ke asrama kalau kalian tidak bisa berhenti!"
Adeline hampir saja meloncat kaget begitu mendengar mama mertuanya berteriak. "Ya Tuhan, aku sampai kaget," ucapnya dalam hati.
Ronald melihat arloji di tangannya. "Ini sudah siang, aku harus segera berangkat ke kantor. Pagi ini ada meeting penting."
"Ronald, jangan lupa arisan mama," Mama mengingatkan putranya.
"Iya ma, tenang saja. Nanti aku akan minta sekretarisku untuk transfer ke rekening mama."
"Ok, thank you."
"Lalu aku?" tanya Irene.
"Uang sakumu baru tiga hari yang lalu aku transfer. Tunggu satu minggu lagi, baru ditransfer," jawab Ronald.
"Tidak bisa begitu kak! Satu minggu itu sangat lama," rengek Irene. "Bagaimana aku bilang pada teman-temanku nanti, kalau mereka mengajak aku jalan ke mall."
"Bilang saja tidak punya duit! Begitu saja repot," jawab Pamela bangun dari duduknya.
"Berisik!"
Pamela mencibir melihat Irene.
"Mas, mau berangkat sekarang?" tanya Adeline melihat Ronald.
"Iya, ini sudah siang."
Adeline bangun dari duduk, sudah kebiasaan rutin setiap hari jika suaminya berangkat ke kantor, dirinya akan membawakan tas kerja dan mengantarnya sampai suaminya masuk ke dalam mobil.
"Aku ikut dengan kak Ronald," ucap Pamela.
"Bagus! Aku jadi bebas, duduk sendirian di dalam mobil. Tidak menghirup udara yang sama dengan bocah tengil!" ucap Irene langsung pergi begitu saja melewati Ronald yang telah membuatnya kesal karena tidak diberi uang.
"Irene!" panggil mama begitu melihat pakaian yang dipakai anak gadisnya sangat ketat dengan rok mini yang pendek sekali. "Irene!"
"Ada apa lagi sih?" tanya Irene kesal menghentikan langkahnya, membalikan badannya melihat Melanie.
"Kamu itu mau ke kampus, mau belajar, tapi kenapa pakaianmu seperti itu? Cepat ganti!"
"Apa yang salah dengan pakaianku?!" sergah Irene.
"Itu roknya pendek sekali!" tunjuk Mama geram.
"Ini tidak pendek ma, biasa saja," jawab Irene melihat roknya sendiri.
"Cepat ganti!"
