Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Surat Undangan

Bab 3 Surat Undangan

Sampailah mereka di rumah Alleta. Fathan perlahan turun dari motornya, ia melihat rumah yang tidak terlalu besar. Bahkan bisa dibilang sederhana. Alleta lalu mengajak Fathan untuk segera masuk dan menemui orang tuanya.

"Ibu," panggil Alleta yang menolehkan kepalanya mencari keberadaan ibunya itu.

Beberapa saat kemudian, muncullah seorang wanita yang belum terlalu tua. Cantiknya sama seperti Alleta. Fathan mendekati wanita itu dan memberikan sapaan kepadanya.

"Hai, Tante! Perkenalkan nama saya, Fathan."

"Oh iya, nama saya Alisha. Ibu dari Alleta, kamu temannya Al?" tanya Alisha.

Fathan menjawab dengan anggukan kepala.

Lalu Alisha mempersilahkan Fathan untuk duduk. Sementara Alleta langsung pergi menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Tidak mau berbasa-basi lagi, Fathan langsung saja mengutarakan niatnya datang ke sini. Perbincangan mereka cukup serius, dan ketika Alisha mendengar niat Fathan, ia cukup terkejut.

"Apa? Menikah?"

"Iya, Tante. Saya harap Tante akan merestui pernikahan kami."

Awalnya Alisha tidak setuju, pasalnya Alleta merupakan anak satu-satunya. Dan dia adalah orang tua tunggal bagi Alleta, tetapi saat mendengar kalau Fathan adalah anak semata wayang dari keluarga Gibrani. Penolakan Alisha berubah menjadi restu. Alleta yang telah selesai membuatkan teh hangat, ia meletakkannya di hadapan Fathan dan memepersilahkan Fathan untuk menikmatinya.

Fathan kemudian meraih cangkir itu, lalu diseruputnya teh hangat dengan secara perlahan. Sesuai namanya, teh itu begitu manis seperti pembuatnya.

"Ya, kalau Tante setuju-setuju saja," lanjut Alisha.

Alleta membulatkan matanya, bagaimana bisa Alisha setuju dengan pernikahan ini tanpa penolakan sama sekali.

"Ibu yakin?" tanya Alleta dengan wajah yang kurang yakin.

"Iya, Ibu yakin. Lagipula kamu juga ingin kuliah bukan?"

"Tapi, Bu."

Alleta menyangkalnya tetapi Alisah sudah memberikan restu untuk anaknya dan Fathan. Obrolan itu berlanjut hingga petang, dan Fathan sudah memesan surat undangan. Esok hari mereka akan memberikan surat undangan itu kepada teman-temannya.

**

Malam tiba.

Saat itu Alleta sedang duduk di tempat belajar. Sedari tadi ia hanya menatap kosong ke arah kertas putih yang ada di atas meja. Sementara tangannya memainkan pena dengan jari-jarinya. Di benak Alleta terus terngiang pernikahan dirinya dengan Fathan.

"Ini semua seperti mimpi," gumam Alleta.

Ia kemudian mencubit lengannya, dan terasa sakit. Alleta berpikir bahwa ini semua bukanlah mimpi, melainkan kenyataan.

"Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ayolah Al, apa yang harus kau lakukan?"

Alleta berpikir keras, masa depannya akan berakhir di pelaminan dalam waktu yang singkat. Tapi di sisi lain, Alleta memang ingin sekali melanjutkan pendidikannya. Sedangkan Alisha tidak mungkin menyetujuinya. Perasaan Alleta saat ini berkecamuk, hal ini bahkan jauh lebih rumit daripada menyelesaikan soal-soal matematika.

Alleta melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah larut malam. Akhirnya Alleta memutuskan untuk beristirahat karena esok hari ada banyak pekerjaan yang menanti. Saat Alleta hendak memejamkan matanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Segera Alleta mengeceknya, dan itu ternyata pesan dari Fathan.

Alleta menyernyitkan dahinya, karena tidak biasanya Fathan mengirimi pesan. Apalagi isi dari pesan itu adalah ucapan selamat malam dan selamat beristirahat. Tetapi ucapan itu mampu membuat senyuman di bibir Alleta.

**

Keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali, Fathan telah siap. Ia berdiri di depan cermin, menatap tubuhnya yang tegap sempurna. Fathan membetulkan tatanan rambutnya agar terlihat lebih rapi. Fathan memang terlihat tampan semua yang ia butuhkan bisa ia dapatkan. Bahkan di rumah ini Fathan adalah rajanya, ia tidak mungkin merasa kekurangan, tetapi sayang, peraturan orang tuanya yang menbuat Fathan tak nyaman berada di rumah. Fathan lebih sering berada di luar rumah, dan menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya.

Setelah cukup lama Fathan berdiri, mengagumi ketampanan dirinya. Fathan memutuskan untuk segera pergi ke sekolah. Ia sudah berjanji akan menjemput Alleta pagi ini dan mereka akan membagikan surat undangan yang telah Fathan pesan.

"Pagi, Pa!" sapa Fathan yang kemudian duduk bersama dengan orang tuanya di meja makan.

"Sudah mau berangkat sekolah?" tanya Farhan.

Fathan menganggukkan kepalanya.

"Lalu bagaimana kemarin? Apa orang tua Alleta menyetujui pernikahan kalian?"

"Iya tentunya, Pa. Aku sudah urus semuanya."

"Baguslah kalau begitu, nanti Papa siapkan gedung dan segala macamnya."

Farhan lalu pergi, dan Fathan melahap sarapan paginya. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan Alleta.

"Ma, Fathan berangkat dulu," ujar Fathan.

Tania membalas dengan senyuman membiarkan anaknya itu pergi.

Rupanya Alleta sudah menunggu Fathan sedari tadi, karena jalanan macet mengharuskan Fathan untuk mencari jalan lain. Sampainya di rumah Alleta, mereka langsung pergi tapi sebelum itu Fathan memberikan helm kepada Alleta. Guna untuk keselamatan mereka selama berkendara.

"Al tunggu," ucap Fathan.

"Ada apa?"

"Kamu cantik pagi ini."

Blush! Pujian yang dilontarkan oleh Fathan berhasil membuat rona pipi Alleta memerah. Ingin sekali Alleta menenggelamkan wajahnya agar Fathan tidak mengetahui hal itu.

"Pagi-pagi sudah mengeluarkan pujian," balas Alleta dengan menepuk pundak Fathan.

"Memang itu kenyataannya."

"Ya sudah, segera berangkat. Nanti telat, belum lagi ditambah jalanan yang macet."

Fathan setuju dengan itu, lalu mereka pergi menuju sekolah.

**

Tibanya di sekolah.

Fathan dan Alleta berjalan menyusuri koridor yang sudah ramai oleh siswa lainnya. Memang susasana seperti ini yang selalu ada pada setiap pagi. Fathan langsung menarik tangan Alleta agar mempercepat langkah kakinya. Di dalam kelas sudah ramai oleh teman-teman.

"Selamat pagi!" sapa Fathan.

Suaranya itu menarik perhatian mereka. Fathan berdiri di depan kelas dengan surat undangan yang ada di tangannya. Semua pasang mata menatap Fathan dengan aneh.

"Aku ada pengumuman penting untuk kalian," lanjut Fathan.

"Pengumuman apa?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku dan Alleta akan menikah, dan kami akan memberikan surat undangan ini."

Sontak hal itu membuat mereka terkejut. Bahkan ada yang sampai membelalakkan matanya, padahal sebelumnya Fathan dan Alleta tidak pernah terlihat dekat. Sementara itu, Alleta menundukkan kepalanya ia merasa malu dengan teman-temannya.

"Ini bukan lagi bergurau 'kan?" tanya Hera sahabat Alleta.

Alleta menjawab dengan anggukan kepala.

"Kamu serius Al? Kenapa mendadak seperti ini?" cecar Hera.

"Ceritanya panjang, aku akan menceritakan semuanya nanti."

"Kamu harus cerita semuanya sama aku, Al."

Fathan lalu membagikan surat undangan itu. Semua menatap dengan perasaan tidak percaya, karena begitu cepatnya Fathan dan Alleta memutuskan untuk menikah. Acara pembagian surat undangan telah selesai, Alleta kemudian duduk lalu disusul oleh Hera.

Hera mendesak Alleta untuk bercerita. Karena ia masih tidak percaya dengan itu semua. Alleta menceritakan awal mula ia bertemu dengan Fathan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.

"Jadi begitu ceritanya, lalu Ibu kamu bagaimana, Al?"

"Ibu setuju."

"Apa!? Ibu kamu setuju begitu saja? Tidak ada penolakan sama sekali?"

Alleta menggelengkan kepalanya.

Hera memikat pelipisnya yang terasa sakit. Sekarang tidak ada yang bisa Alleta lakukan, desakan keinginan untuk melanjutkan pendidikan telah membuat Alleta yakin bahwa ini adalah jalan satu-satunya.

"Aku harap kamu menemani aku, Ra," pinta Alleta.

"Itu sudah pasti, Al. Aku akan menemanimu di acara resepsi pernikahan nanti."

Alleta merangkulkan tangannya ke bahu Hera. Ia merasa paling beruntung mendapatkan sahabat sebaik Hera. Dan Alleta tidak akan menyia-nyiakan itu semua.

**

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel