9
Seminggu berlalu...
Pagi-pagi Rengga dikagetkan oleh gedoran di pintu apartemennya. Suara keras membuat Rengga setengah berlari, saat membuka pintu ia terdorong oleh tubuh Saga yang menerobos masuk dan memukul-mukulkan tangannya ke tembok, Rengga menarik Saga dan mendorong hingga terbentur tembok.
"Ada apa, jangan semuanya pakai emosi," Rengga menarik Saga dan mendorongnga ke sofa hingga terduduk.
Napas Saga masih memburu ia remas rambutnya dengan kasar.
"Akan aku bunuh dia Ngga, akan aku bunuh, dia menghancurkan perusahaanku," desis Saga.
"Apa yang kau katakan, siapa yang kau maksud?" tanya Rengga.
"Afalmer, Aaal kau dengaaaar," teriakan Saga membuat mata Rengga membulat.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Rengga.
"Aku tak punya musuh hanya dia yang punya kemampuan untuk membuat perusahaanku seperti ini," sahut Saga terlihat emosi.
"Kau yakin dia, ada bukti, jangan semuanya kau kaitkan dengan dia, dia tak pernah memusuhimu, kau yang selalu menabuh genderang perang lebih dulu," ujar Rengga dan Saga menatap wajah sahabatnya yang selalu nampak datar.
"Terbuat dari apa hatimu Ngga, setelah dia mencuri milikmu, kau masih membelanya?" tanya Saga masih terlihat marah.
"Kami ada dalam situasi sulit, nasib yang mengantarkan wanitaku padanya, aku berkesimpulan Diandra bukan jodohku, dan Al tak pernah memusuhiku, dia malah minta maaf padaku, apa alasanku memusuhinya, kau pun harusnya begitu jika mamamu lebih menyayanginya datangi mamamu, tanyakan alasannya, bukan membabi buta menyalahkan Al, kau cerdas Adilla Saga Prabu, hanya sayang kau kadang mengedepankan emosimu," ujar Rengga menepuk pundak sahabatnya.
Saga bangkit dan melangkah ke pintu.
"Ga mau ke mana?" Rengga berteriak.
"Mau menemui mama," Saga menyahut tanpa menoleh dan menutup pintu dengan keras.
"Sagaaaa, Saga, jauh-jauh dari Siangapura hanya ngamuk-ngamuk nggak jelas." Rengga bergumam sendiri dan melangkah ke kamar mandi.
****
Almira kaget saat badan menjulang Saga melangkah masuk menuju ruang makan.
Ia menatap mamanya yang menoleh sekilas lalu menimati lagi jus jambu dan pancake yang masih mengepul.
"Biasakan salam saat masuk, sekalipun tidak ada orang," ujar Dini, mama Almira, juga mama tiri Afalmer dan Saga.
"Mana anak mama yang bak raja itu aku ingin bertanya padanya, apa yang dia lakukan pada perusahaanku?" tanya Saga dengan suara keras, Almira nampak tak suka melihat mamanya dibentak dengan suara keras dan tak sopan.
"Dia menemui anak dan istrinya," sahut Dini cuek tanpa melihat Saga.
"Heh aku ingin membuat perhitungan dengannya akan aku bunuh jika terbukti dia yang membuat perusahaanku collaps," ujar Saga sambil menggebrak meja.
Dini menoleh dan menatap wajah di sampingnya.
"Harusnya kau yang dibunuh oleh Al, yang telah terbukti bersekongkol menyebarkan berita bohong pada seluruh media, benar-benar terbalik, benar-benar menurun sifat brutal dan jelekmu dari wanita jalang itu, tak ada yang dibuang, wajah, tingkah-laku dan semoga saja nasib," Dini kembali mengalihkan tatapannya pada jus jambu dan meminumnya lagi.
Mata Saga terbelalak dengan mulut terbuka.
"Apa maksud mama, jangan membuat cerita bohong," Saga berdiri di dekat wanita yang ia panggil mama, Almira segera mendekati mamanya pula, kawatir Saga berbuat yang tidak-tidak.
"Tanyakan pada papamu, kan dia masih hidup, siapa nama wanita yang tiba-tiba masuk dalam rumah tangga kami, wanita tak jelas yang mau saja dihamili tanpa nikah, hahahah lalu hilang nyawanya saat melahirkanmu, dan dengan santai papamu membawa bayi yang masih merah untuk dirawat di rumah kami, masih untung kau sudah aku biarkan hidup, tidak aku buang ke jalan, meski akhirnya kau dititipkan ke nenekmu oleh papamu, karena aku tak tahan semakin besar wajahmu mengingatkanku pada wanita tak jelas itu," Dini meneguk sekali lagi jus jambunya hingga tandas.
"BOHOOONG," suara Saga terdengar bergetar dan menggelegar.
"Buat apa aku berbohong, datangi papamu, mumpung dia masih bisa bernapas, pergilah, aku juga tak suka kau berlama-lama di sini," ujar Dini dan melihat Saga yang melangkah lebar meninggalkan rumah besar itu.
Almira mendekati mamanya, mengusap lengan mamanya yang telah berurai air mata.
"Mama, benar semua itu?" tanya Almira dan Dini hanya mengangguk lemah.
****
"Selamat siang Di," Al muncul dengan buket bunga segar, bunga mawar putih. Mata Di membulat namun ia berusaha mengembalikan wajahnya agar kembali terlihat wajar, entah Al bertanya pada siapa mengapa ia akhirnya tahu jika Di menyukai bunga mawar putih, selama enam bulan menjadi istri Al, tak sedikitpun ia menyinggung masalah bunga.
"Terima kasih Al," mata Di berkaca-kaca mengingat almarhum mamanya yang juga sangt menyukai mawar putih.
Al hanya tersenyum dan menyesal tak pernah membuat Di bahagia.
"Mengapa tiba-tiba muncul?" tanya Diandra.
"Hari ini hari ulang tahunku, aku ingin merayakannya berdua denganmu Di," ujar Al pelan. Mata Di terbelalak.
"Ah maaf aku tak tahu Al, banyak yang aku tak tahu tentangmu, kita makan di mana, terserah kamu," ujar Di.
"Boleh kita makan berdua saja Di, setelah itu baru kita ajak Key," pinta Al dan Di hanya bisa mengangguk.
****
"Maaf aku tak menyiapkan apapun Al karena aku tak tahu jika hari ini kau berulang tahun," ujar Di setelah mereka duduk berhadapan di sebuah rumah makan.
Al menggeleng, dan samar-samar terlihat senyumnya, senyum yang selalu membuat Diandra berdebar.
"Kau mau aku ajak makan,aku sudah sangat berterima kasih, tapi nanti, aku akan meminta kado padamu, boleh?" tanya Al sambil menyentuh tangan Di, Di terlihat gugup dan hanya mengangguk dengan canggung.
"Boleh Al, mintalah apa saja," sahut Di sambil berusaha menenagkan jantungnya yang bertalu-talu dengan cepat, ia tarik dengan perlahan tangannya dari genggaman tangan besar Al, namun Al menahannya.
"Biarkan Di, sebentar saja," pinta Al, meski akhirnya ia lepaskan saat makanan dan minuman yang mereka pesan datang.
"Boleh aku mulai meminta kadoku Di?" tanya Al dan Diandra mengangguk.
"Aku akan menyuapimu," Al tersenyum, menarik bibirnya ke samping meski ta lama.
Diandra tak bisa menolak karena ia terlanjur mengatakan boleh minta apa saja, ia biarkan Al menyuapinya meski Diandra yakin wajahnya telah memerah.
Sesekali Al mengusap bibir Di dengan jempolnya saat ada makanan yang sedikit berlepotan.
"Al aku malu, lagi pula tanganmu kotor," ujar Di, Al menggeleng.
"Malu pada siapa, tidak ada orang di sini, di ruang yang aku pesan ini hanya ada kita berdua, ini ruang vip, lalu masalah jariku kotor tak masalah, aku ingin menebus kesakitanmu meski ini tak ada artinya,"
Kata-kata Al membuat Di ingin menangis.
Setelah Di selesai makan Al, mulai menyuapi dirinya sendiri.
"Kau tak ingin menyuapiku?" goda Al dan Di membulatkan matanya.
"Eemm kkaa..kau mau aku suapi?" tanya Di gugup dan Al mengangguk, perlahan Diandra menyuapi Al, ia berusaha tidak menatap mata Al yang terus menatapnya, ia berpura-pura konsentrasi pada makanan dan bibir Al yang mengunyah makanan.
Setelah selesai Al nampak menelpon seseorang dan tak lama muncul orang yang terlihat sangat patuh pada Al, menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna offwhite lalu ia ke luar lagi meninggalkan mereka berdua.
"Aku boleh meminta kadoku lagi padamu Di?" tanya Al dan Diandra mengangguk.
Al bangkit, membuka kotak kecil dan berlutut di depan Diandra.
"Menikahlah lagi secara agama denganku Di, aku meminta dengan sangat, aku tak tahu ini cara yang benar atau bagaimana, akuuu...aku mencintaimu Diandra," ujar Al dengan wajah memelas.
Diandra terlihat kaget dan gugup karena ia tak mengira Al akan melakukan itu, mata Di berkaca-kaca dan hanya mendekap tangannya di dada.
