Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4

Besoknya, seperti biasa, setelah sekolah aku masuk ke perpustakaan dengan langkah tenang.

‎Udara terasa lembap, bau buku tua dan debu halus menyambut seperti aroma nostalgia yang akrab.

‎Dan di sana, di meja pojok dekat jendela, aku melihat Takahiro sudah duduk—dengan postur sedikit membungkuk, pensil di tangan, dan senyum kecil di wajahnya.

‎“Apakah kamu sudah menunggu lama?” tanyaku sambil meletakkan buku diatas meja.

‎Dia menoleh cepat, senyumnya tak berubah.

‎“Tidak kok, Takamine. Aku juga baru sampai.”

‎Aku melirik meja. Botol minumnya sudah kosong.

‎Kalimatnya terdengar ringan, tapi jelas—ia sudah menunggu cukup lama.

‎Aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Kamu selalu datang duluan, ya.”

‎Dia terkekeh. “Kamu selalu datang setelahku, jadi seimbang.”

‎Kami tertawa pelan, lalu hening kembali. Suara lembut jam dinding terasa jelas di antara kami.

‎Momen itu nyaman, tapi juga sedikit… aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak perlu dijelaskan, tapi tetap terasa.

‎“Jadi, apakah kita akan membuat manga baru?” tanya Takahiro memecah keheningan.

‎Aku mengangguk pelan. “Eum, ya. Tapi kita butuh referensi dulu.”

‎“Referensi?”

‎“Ya. Aku pikir… bagaimana kalau akhir pekan nanti kita jalan-jalan? Mungkin ke taman atau ke pusat kota. Kita bisa cari inspirasi di sana.”

‎Takahiro tampak sedikit terkejut mendengar kata "jalan-jalan".

‎Ekspresinya seperti seseorang yang baru saja diberi alasan untuk tersenyum lagi setelah sekian lama menahan sesuatu.

‎"Kalau begitu... boleh," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang nyaris tak terdengar di antara suara lembut perpustakaan.

‎Aku menatapnya beberapa detik. "Kamu yakin?"

‎"Yakin. Lagipula, sudah lama aku nggak ke mana-mana selain sekolah dan rumah."

‎Aku pura-pura mencatat sesuatu di buku catatanku, padahal wajahku terasa hangat.

‎Di dalam hati, aku tahu—alasan “referensi” itu hanya setengah benar.

‎---

‎Akhir pekan datang lebih cepat dari yang kukira.

‎Aku menunggu di depan gerbang taman kota, membawa buku catatan untuk referensi. Udara siang menjelang sore terasa lembut, langit biru muda yang cerah perlahan berubah menjadi jingga.

‎Takahiro datang dengan pakaian kasual sederhana—kaos putih dan jaket denim hitam. Ia melambaikan tangan kecil, senyum khasnya yang menenangkan muncul lagi.

‎“Maaf, Takamine. Aku nggak telat, kan?”

‎Aku menggeleng. “Belum. Kamu malah tepat waktu hari ini.”

‎Kami mulai berjalan menyusuri taman. Daun-daun berguguran perlahan, beberapa anak kecil berlarian sambil membawa balon warna-warni.

‎Suasananya terasa damai. Terlalu damai.

‎“Tempat ini bagus ya,” katanya sambil menatap langit. “Kayak panel pembuka manga yang kamu suka.”

‎Aku tersenyum. “Aku juga kepikiran hal yang sama.”

‎Kami berhenti di dekat kolam kecil. Aku membuka buku catatan, mencoba menghayal suasana taman.

‎Takahiro duduk di bangku, memperhatikan.

‎“Kamu selalu serius kalau sedang memikirkan sesuatu,” katanya lembut.

‎“Dan kamu selalu memperhatikan orang yang sedang serius,” balasku tanpa menatap.

‎Dia tertawa kecil. “Mungkin karena aku ingin tahu apa yang sedang ada di imajinasimu.”

‎“Langit, pohon, bayangan, hal-hal biasa.”

‎“Tidak,” katanya pelan, “aku rasa kamu melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat.”

‎Aku berhenti mencatat. Kata-katanya membuatku diam sejenak.

‎“Mungkin,” jawabku, “karena aku takut melupakan hal-hal kecil itu.”

‎Ia menatapku lama.

‎“Takamine,” katanya akhirnya, “kalau suatu saat kamu kehilangan seseorang, kamu masih bisa membayangkan mereka, kan?”

‎Pertanyaannya membuatku menoleh.

‎“Kenapa tiba-tiba bicara soal kehilangan?”

‎Dia tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang lain di matanya—samar, berat, seperti luka yang belum sembuh.

‎“Entahlah. Aku cuma berpikir… kadang seseorang bisa pergi tanpa benar-benar sempat berpamitan.”

‎Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi suaraku seakan terjebak di tenggorokan.

‎Kami hanya diam—dua manusia yang tiba-tiba kehabisan kata di tengah suasana yang terlalu tenang.

‎Lalu angin berhembus pelan, menerbangkan satu lembar gambar dari sketchbook milik Takahiro.

‎Takahiro segera berdiri, mengejar kertas itu yang terbang ke tengah taman.

‎Saat ia kembali, ia menyerahkan kertas itu padaku dengan senyum kecil.

‎“Kalau kita kehilangan gambarnya, kita bakal cari lagi bersama, ya” katanya ringan.

‎Aku tertawa kecil. “Kalau aku kehilangan kamu, apa aku bisa menemukan mu?”

‎Dia terdiam.

‎Senyumnya tetap di sana, tapi pandangannya perlahan beralih ke langit.

‎“Kalau aku hilang… aku pasti ingin ditemukan olehmu, Takamine.”

‎---

‎Tidak terasa hari sudah hampir gelap. Senja turun perlahan, menciptakan siluet di wajahnya yang diterpa cahaya oranye lembut.

‎Aku ingin mengingat momen itu selamanya—tawa kecil, tatapan hangat, dan perasaan aneh di dadaku yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

‎Karena untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa di antara semua hal yang kucari untuk dijadikan referensi,

‎aku justru menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar inspirasi—

‎aku menemukan seseorang yang membuat dunia terasa hidup.

‎Dan aku tahu, meski kami belum mengakuinya…

‎ada sesuatu di antara kami yang perlahan tumbuh di luar halaman manga mana pun.

‎---

~ Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel