Chapter 3
Keesokan harinya, kami menjalani hari seperti biasa.
Seakan semalam, hujan deras dan tangisan itu hanya mimpi buruk yang perlahan menguap bersama sinar matahari pagi.
“Pagi, Takamine!” sapa Haruto begitu masuk kelas.
Aku menatapnya, tersenyum. “Pagi juga, Takahiro.”
Ada sesuatu yang berbeda dari senyumnya hari itu.
Masih samar, tapi aku bisa merasakan—untuk pertama kalinya dalam waktu lama, senyum itu terlihat… hidup.
Kami berbicara seperti biasa: tentang pelajaran, teman-teman yang ribut, bahkan hal-hal kecil seperti cuaca dan makanan kantin. Semua terasa ringan. Dan di tengah percakapan sederhana itu, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku.
“Hey, Takahiro,” kataku spontan.
Dia menoleh. “Hmm?”
“Bagaimana kalau… kita bikin manga bareng?”
Dia mengedip, tampak terkejut. “Manga? Serius?”
Aku mengangguk mantap. “Kamu tahu kan aku suka menulis cerita. Tapi aku nggak bisa menggambar dengan bagus. Dan kamu…”
Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kamu jago gambar. Aku pernah lihat sketsamu di buku catatan waktu itu.”
Wajahnya sedikit memerah. “Kamu lihat itu? Itu cuma coretan waktu aku bosan.”
“Tapi bagus,” jawabku cepat. “Serius, kamu punya gaya gambar yang kuat. Ada emosi di tiap goresannya.”
Dia terdiam, menatapku lama—lalu akhirnya tertawa kecil. “Kamu benar-benar serius, ya?”
“Tentu. Kenapa nggak?”
Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kita bisa bikin cerita tentang dua orang yang… saling membantu untuk sembuh. Saling menemukan cahaya mereka.”
Dia tampak berpikir sejenak, lalu senyumnya melembut. “Kedengarannya… menarik.”
---
Kami mulai merencanakan ide manga itu di perpustakaan, tempat segalanya dimulai.
Rak buku, meja kayu lama di dekat jendela, dan cahaya sore yang menyinari halaman kertas kosong di depan kami—semuanya terasa seperti awal dari sesuatu yang penting.
“Judulnya apa?” tanya Haruto sambil memutar pensil di tangannya.
Aku menatap langit di luar jendela. “Hmm… mungkin ‘A Few F--cious Days’.”
Dia mengulang pelan, seolah mengecap kata-katanya. “Beberapa hari yang berharga…”
“Ya,” kataku pelan. “Tentang dua orang yang tahu mereka nggak bisa bersama selamanya, tapi tetap memilih untuk saling menemani. Karena setiap hari yang mereka punya… berharga.”
Haruto terdiam. Aku bisa melihat matanya bergetar samar, mungkin karena kata-kata itu terasa terlalu dekat dengan kenyataan kami.
"Takamine,” katanya akhirnya, “cerita itu… terdengar seperti kita.”
Aku menatapnya, tersenyum tipis. “Mungkin.”
Dia menunduk, menulis sesuatu di kertas. Pensilnya bergerak cepat, menggambar dua siluet manusia duduk di bangku taman. Aku terdiam memandangi goresannya.
Setiap garisnya lembut tapi penuh emosi, seolah setiap goresan adalah potongan dari hatinya sendiri.
“Lihat,” katanya, menyerahkan kertas itu padaku. “Mereka berdua kelihatan tenang, ya?”
Aku mengangguk. “Tenang… tapi juga rapuh.”
Dia tersenyum samar. “Seperti kita.”
---
Hari demi hari berlalu, dan manga kami perlahan terbentuk.
Kami menulis, menggambar, menghapus, tertawa, berdebat—semuanya terasa hidup.
Setiap kali aku datang ke perpustakaan, Haruto sudah duduk lebih dulu, menunggu dengan secangkir teh kaleng dan tumpukan kertas.
“Aku udah gambar halaman pertama,” katanya suatu sore.
Aku duduk di sebelahnya, penasaran. “Tentang apa?”
Dia menunjuk gambar itu. Dua karakter berdiri di tengah hujan, berpegangan tangan.
Sama seperti kami malam itu.
Aku menggigit bibir, menahan senyum sekaligus perasaan aneh di dada. “Kamu… masih ingat detailnya.”
“Bagaimana mungkin aku lupa?” jawabnya pelan. “Malam itu, aku baru sadar kalau aku masih hidup.”
Aku menatapnya, tapi dia mengalihkan pandangan ke jendela.
Sore itu langit berwarna oranye keemasan, seperti lembaran nostalgia yang hangat tapi menekan dada.
“Takahiro,” kataku akhirnya, “aku senang kamu bisa menggambar lagi.”
Dia menoleh, tampak heran. “Maksudmu?”
“Aku pernah baca teori,” kataku pelan. “Kalau seseorang bisa mencurahkan isi pikirannya lewat seni, itu tandanya dia mulai sembuh.”
Dia terdiam, lalu tersenyum lembut. “Kalau begitu, mungkin aku mulai sembuh karena kamu.”
Aku merasa pipiku memanas. “Aku cuma bantu sedikit.”
“Sedikit, ya?” katanya, menggoda. “Tapi kamu satu-satunya alasan aku masih mau bangun pagi.”
"Apakah itu yang disebut dengan harapan?".
Aku tertawa kecil, tapi di balik tawa itu, ada rasa takut.
Karena aku tahu—ketika seseorang yang rapuh mulai menggantungkan hidupnya pada orang lain, itu bisa menjadi tali pengikat… atau jerat yang perlahan menyesakkan.
---
Beberapa minggu kemudian, manga kami hampir selesai.
Kami berencana mengumpulkannya untuk lomba karya seni sekolah.
Sampulnya sederhana—gambar dua siluet di bawah pohon dengan tulisan tangan Haruto: A Few Precious Days.
Saat aku membacanya lagi, tiba-tiba aku sadar:
Cerita yang kami tulis… ternyata adalah potongan realita kami sendiri.
Karakter perempuan di manga itu punya kebiasaan membaca sendirian, tinggal di rumah kosong, dan takut kehilangan orang.
Sementara karakter laki-lakinya… selalu tersenyum untuk menutupi rasa sakit, dan menyembunyikan foto ibunya di buku catatan.
Aku menatap Haruto. “Kamu sadar nggak, karakter kita ini sebenarnya kita?”
Dia terdiam lama, lalu berkata pelan, “Mungkin… aku cuma pengen memastikan kalau kisah kita punya akhir yang bahagia, meski cuma di atas kertas.”
Aku menggenggam tangannya. “Maka, pastikan kita juga punya akhir yang bahagia di dunia nyata.”
Dia menatapku lama, lalu mengangguk. “Aku akan coba.”
Kami mencoba mendaftarkan hasil manga kami di sebuah lomba.
Hari pengumuman lomba tiba.
Kami tidak menang. Tapi entah kenapa, aku tidak kecewa sedikit pun.
Karena bagi kami, manga itu bukan sekadar karya. Itu adalah cermin—tempat kami melihat diri sendiri, menerima luka kami, dan belajar berdamai dengannya.
Sore itu, kami duduk di taman lagi, di bawah pohon besar tempat segalanya selalu bermula dan berakhir.
“Kamu tahu,” kata Haruto sambil menatap langit, “kalau hidup ini manga, aku pengen panel terakhirnya cuma kita duduk kayak gini. Nggak perlu akhir yang megah, cukup tenang.”
Aku tersenyum. “Dan di bawah panel terakhir itu, tertulis ‘To Be Continued’.”
Dia tertawa pelan. “Karena selama kita masih hidup, ceritanya belum selesai.”
Aku menatap wajahnya yang diterangi sinar matahari sore—hangat, jujur, dan akhirnya damai.
Dan dalam hati, aku tahu:
Cinta kami bukan kisah sempurna, bukan kisah tanpa luka. Tapi cinta yang bertahan di antara garis tinta dan kenyataan.
Cinta yang tidak menyembuhkan luka dengan sihir, tapi dengan keberanian untuk terus menggambar… meski tangan kadang gemetar.
---
~ Bersambung
