Bab 2 JARINGAN JALANAN
Suasana pagi masih terasa dingin, meski matahari mulai naik dari balik pegunungan utara. Rumah megah bergaya klasik milik Leonardo berdiri kokoh di tengah perbukitan sepi, dikelilingi pagar tinggi dan kamera pengawas dari segala sudut. Aroma terbakar dari kejadian semalam masih terasa menempel di pakaian pria itu. Ia belum sempat tidur, belum sempat duduk dengan tenang sejak ledakan yang meluluhlantakkan pabrik gudang utamat empat rahasia produksi Blue Sky miliknya.
Leonardo memasuki ruang kerjanya yang luas dan remang. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan kuno dan rak buku yang lebih banyak menyimpan senjata api ketimbang literatur. Ia melepas jas hitamnya, duduk di kursi kulit sambil menyalakan rokok. Matanya tajam menatap layar monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari berbagai titik kota.
“Dom…” gumamnya pelan, suara baritonnya nyaris tak terdengar, tapi sarat kemarahan.
Ia menunduk, menelapak jidat. Siapa pun dalang di balik ledakan semalam jelas tidak main-main. Itu bukan hanya serangan terhadap bisnis, tapi terhadap eksistensinya. Dan hanya satu nama yang muncul dari puing-puing malam itu: Dom. Tapi kenapa? Apa yang diincar? Dan mengapa sekarang?
Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Jack masuk, masih dengan pakaian hitam dan wajah lelah.
“Bos, jaringan jalanan sudah mulai kami sisir. Kami periksa pelabuhan, pasar gelap, terminal belakang kota. Beberapa informan mencium pergerakan kelompok asing yang masuk dua hari sebelum kejadian.”
Leonardo mengangguk pelan.
“Teruskan. Siapa pun yang menyebut nama dia, Saya ingin mereka di bawa hidup-hidup, seret ke hadapanku."
Jack mengangguk, lalu keluar dengan langkah cepat.
Langit mulai memucat. Sinar pagi menelusup masuk melalui tirai lebar. Leonardo bangkit dari kursi, berjalan keluar ruangan dan melewati lorong panjang menuju lantai atas.
Sementara itu…
Di kamar tamu yang disulap menjadi ruang perawatan darurat, Regina perlahan membuka mata. Pandangannya buram, kepalanya berat. Ia mencoba bangkit, tapi sekujur tubuhnya nyeri. Luka memar dan goresan memenuhi lengan, paha, dan pipinya. Baju kerja formal yang dikenakannya semalam sudah diganti dengan pakaian tidur longgar berwarna merah maroon.
Regina menoleh ke sekeliling ia tidak tahu di mana ini. Ruangan ini asing, terlalu megah untuk rumah sakit, terlalu sunyi untuk rumah biasa. Ia mencoba mengingat kejadian yang menimpa dirinya, namun saat ia mengingat kepalanya tiba-tiba sakit ''
Pintu kamar terbuka pelan. Seorang wanita setengah baya berpakaian seperti perawat masuk dengan nampan berisi bubur dan obat. Ia terlihat gugup namun berusaha ramah.
“Selamat pagi, Nona. Saya Maria, yang akan merawat Nona sementara waktu ini, Mohon makan dulu, agar cepat pulih.”
Regina bertanya kepada perawat itu :
"Saya dimana ini ? ucap regina yang terdengar lemas
"Nona ada di rumah Tuan Bos Leonardo'' Ucap perawat yang sambil membuka tirai jendela
"Siapa Leonardo? Jawab Regina sambil merasa heran.
Tetapi perawat itu tidak menjawab pertanyaan dari Regina,
“ Aku tidak mau makan, aku mau pulang.” Suaranya lemah, tapi keras kepala.
Maria mencoba membujuk. “Tubuh nona belum kuat. Luka-lukanya cukup parah. Tolong, setidaknya sedikit saja ”
Aku bilang, aku mau pulang.” Regina menolak lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak tahu siapa Leonardo, kenapa ia di sini, dan kenapa tubuhnya penuh luka. Ia hanya ingin kembali ke rumahnya, ke kehidupannya yang biasa.
Maria menunduk pelan. “Baiklah. Saya akan laporkan pada Tuan Leonardo.”
Langkah sepatu kulit bergema di lorong marmer. Pintu kamar terbuka. Leonardo berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam polos, lengan digulung hingga siku. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tetap tajam.
Regina menoleh dan untuk pertama kalinya, mereka bertatap langsung.
Leonardo terpaku beberapa detik. Wajah wanita di hadapannya... cantik. Tapi bukan cantik biasa. Ada sesuatu yang halus, rapuh, namun sekaligus kuat terpancar dari sorot mata Regina. Luka-luka di wajahnya justru menambah daya tarik itu seolah Regina adalah potret kemalangan yang belum runtuh.
Ia segera mengatur napas, kembali bersikap tegas.
“Siapa namamu?” tanyanya datar.
“Regina.”
“Kamu harus makan agar cepat pulih.”
“Aku ingin pulang.”
Leonardo maju beberapa langkah. “Tidak bisa. Keadaanmu belum aman dan pulih.”
“Kenapa kau menyelamatkanku?” Regina menantang. “Aku tidak mengenalmu.”
Leonardo menatap lurus ke matanya." Seharusnya kamu ber Terimakasih kepadaku karena telah menyelamatkan nyawamu, kalau kamu tak ku Selamatkan kamu bisa mati di jalanan.
Regina menegang. Kata-kata itu bagai belenggu yang mengikat pergelangan tangannya.
Leonardo berbalik, melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia sempat menoleh.
“Makanlah. Kita akan bicara lagi nanti.”
Pintu menutup. Sunyi kembali menguasai ruangan. Regina menatap ke arah nampan makanan di samping ranjang, tapi tangannya mengepal di atas selimut.
Di lantai bawah, Leonardo berdiri di balkon, menatap taman belakang rumahnya. Ia mengambil ponsel dan menekan tombol cepat menelpon anak buah nya.
“Jack, kunci semua akses keluar rumah. Jangan biarkan siapa pun keluar tanpa izin langsung dariku.”
“Termasuk perempuan itu?”
Leonardo terdiam sebentar. Angin pagi meniup ujung rambutnya yang sedikit berantakan.
Leonardo menyimpan ponselnya, berdiri diam di balkon, lalu menoleh ke arah langit yang mulai cerah. Tapi hatinya tetap gelap. Dom bukan nama asing, tapi juga bukan seseorang yang mudah ditelusuri. Orang itu seperti bayangan di balik bayangan tidak pernah terlihat, tapi kehadirannya selalu meninggalkan jejak kehancuran.
Ia melangkah masuk kembali ke ruang tengah. Beberapa anak buahnya sudah menunggu, Jack berdiri paling depan.
“Bos, kami temukan sesuatu. Beberapa jam sebelum ledakan, ada pria yang membeli detonator khusus di pasar gelap wilayah timur. Nama palsu, tapi dari ciri-ciri dan aksen bicaranya, kami curiga dia bagian dari jaringan Gangster.”
Leonardo mengangguk. “Teruskan penelusuran. Cari semua jejak transaksi, penyamaran, pengiriman bahan. Siapa pun yang bicara soal Dom, siapa pun yang pernah bertemu dengannya, aku ingin dia seret kehadapan ku malam ini juga.”
Jack mencatat cepat dan memberi kode pada anak buah lainnya.
“Oh ya…” Leonardo menambahkan sebelum mereka pergi. “Periksa juga sistem keamanan kita. Kalau pabrik bisa diledakkan dari dalam, berarti ada tikus yang menyelinap. Aku ingin tahu siapa pengkhianatnya.”
“Baik, Bos!”
Semua bergerak cepat, menyebar ke segala penjuru kota seperti semut tempur. Leonardo kembali berjalan santai, namun pikirannya tak pernah berhenti bekerja. Di tengah semua kekacauan ini, satu hal yang terus mengganggunya bukan hanya Dom… tapi wanita itu—Regina.
Di lantai atas, Regina akhirnya menyerah pada rasa lapar dan sakit yang mendera. Dengan enggan ia menyuapkan beberapa sendok bubur dan menelan obat yang diberikan Maria. Ia tidak bicara banyak, hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan. Tubuhnya terasa ringan setelah minum obat, tapi juga mengantuk luar biasa.
“Kalau Anda butuh sesuatu, tekan tombol ini,” ujar Maria, meletakkan remote kecil di dekat bantal.
Regina hanya menatapnya kosong, sebelum perlahan berbaring kembali. Matanya memandang langit-langit kamar putih bersih, tanpa cela, namun tetap membuatnya merasa terpenjara. Perlahan-lahan, kelopak matanya tertutup. Dunia yang keras dan bising menghilang, digantikan oleh kegelapan yang tenang.
Sementara itu, Leonardo kembali ke kamar tempat Regina dirawat. Ia tidak masuk, hanya berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Matanya memperhatikan perempuan itu yang kini tertidur lelap, napasnya teratur, wajahnya lebih tenang dari sebelumnya.
Ada jeda hening saat ia memandangi Regina. Sesuatu yang aneh bergerak di dadanya bukan rasa kasihan, bukan juga simpati. Lebih seperti rasa ingin tahu yang tak bisa dijelaskan. Siapa sebenarnya wanita ini?
Ia lalu menutup pintu pelan, meninggalkan ruangan dengan langkah berat.
Perang belum dimulai, tapi lawan sudah menunjukkan giginya. Dan Leonardo bukan tipe pria yang kalah di babak awal.
Jack berlari kearah Leonardo' tergesa gesa..
Ini dikirim ke gerbang, bos. Tanpa nama pengirim.”
Leonardo membuka amplopnya. Di dalam hanya selembar kertas bertuliskan: “Jangan pernah coba-coba menyentuh milikku , atau kau akan tahu akibatnya .”
