Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Selamat membaca:)

......

Sembari menunggu Kaily dan Angginy berbelanja bulanan, Daisy memilih berkeliling daerah perumahan di sore hari menjelang maghrib. Malam minggu hari ini mereka bertiga memutuskan untuk menginap di rumah Kaily, sebab kedua orangtua gadis itu sedang melakukan pekerjaan keluar kota selama tiga hari. Daisy malas ikut ke swalayan, dia lebih senang berbaring sambil nyemil di depan telivisi yang menyala, atau sekedar jalan kaki berkeliling seperti ini.

Perumahan rumah Kaily sangat jauh berbeda dengan daerah perumahannya yang terkesan sepi, bahkan jarang ada anak-anak yang keluar rumah untuk melakukan berbagai macam permainan. Lihat sekarang di daerah sini, ada beberapa anak cowok yang sedang bermain mobil-mobilan di sebuah lapangan voli, sedangkan anak cewek sedang bermain barbie-barbiean di sebuah halaman depan rumah. Niat sekali menggelar sebuah tikar untuk mereka duduk dengan nyaman. Ada juga seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya dalam kereta bayi, anak kecil pipi gembul itu memakan makanannya dengan lahap.

Daisy berhenti di sebuah taman, duduk di salah satu ayunan di sana, bermain seorang diri. Rambut panjangnya yang tergerai indah menari-nari riang di terpa similir angin yang berembus. Cukup menikmati segarnya udara sore di atas ayunan, Daisy beranjak menuju berbagai macam bunga dan tanaman hijau lain yang tumbuh subuh di sebelah sisi kanannya. Mengabadikan mereka dengan apik menggunakan kamera ponsel, tak lupa Daisy juga mengabadikan dirinya. Senyum lebar Daisy menciptakan wajah yang manis juga sangat cantik, tidak bosan bagi siapa saja yang memandangnya.

"Cantiknya cewek satu ini, siapa sih? Berasa liat malaikat aja!" katanya sambil tertawa konyol. Tentu saja seseorang yang dia komentari dalam foto itu adalah dirinya sendiri. Daisy tidak pernah bosan memuji apa yang ada pada dirinya. Memang sesempurna itu Tuhan menciptakan rupanya, mubazir kalau tidak sering dipuji, bukan?

Mendengar adzan maghrib berkumandang, mata Daisy berbinar. Segera dia melangkahkan kaki menuju sebuah masjid yang sedang menyeru pada semua orang untuk segera menghadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bersujud kepada-Nya untuk meminta segala harapan. Suara adzan adalah bunyi paling indah menurut Daisy, selalu membuat jiwa dan raganya yang penuh setan julit menjadi damai.

"Ya Allah, semoga aja nanti jodoh aku yang punya suara merdu kayak gini, biar bisa menuntun ke jalan yang benar. Jangan sampai yang punya kelakuan sebelas dua belas kayak aku sekarang, nanti makin sesatlah aku!" pinta Daisy bersungguh-sungguh. Tidak terbayang jika nanti Daisy berjodoh dengan seseorang yang jalan hidupnya tidak jelas seperti dirinya. Gadis itu bergidik ngeri. "Malaikat bakal menunggu di pintu neraka. Tercatat atas nama Daisy Yudhistira masuk neraka jalur di atasnya dari VVIP!" Daisy mengusap wajahnya, apa setragis itu hidupnya kelak di akhirat? Sadis juga!

Daisy mengambil tempat duduk di bagian samping masjid, menyandarkan kepalanya pada dinding beton yang terasa dingin, nyaman, dan menyejukkan itu. Matanya tertutup menikmati setiap alunan adzan yang begitu merdu, membuat dadanya bergemuruh syahdu. Suara siapakah ini? Kenapa setiap bait adzan yang dikumandangkan sangat menyentuh hati?

Sangat, sangat merdu!

Setelah adzan selesai, Daisy mengangkat kepala memandang langit yang mulai beranjak dari keadaan terang menjadi gulita. Katanya, di antara waktu adzan dan iqomah perbanyaklah berdoa karena setiap doa yang kita panjatkan itu akan cepat dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Daisy tersenyum tipis, tatapannya mulai berembun. Daisy tahu dia bukanlah gadis yang baik, bukan pula gadis yang selalu melangkah sesuai perintah-Nya, tapi terlepas dari semua itu dia tak pernah libur berdoa agar dirinya selalu terlindungi dari orang-orang jahat dan selalu hidup bahagia.

Tidak lama setelah itu kembali dikumandangkan iqomah. Masih dengan suara orang yang sana, begitu menenangkan. Kali ini Daisy tak lupa untuk merekamnya, nanti dia bisa mendengarkannya kembali--menjadi teman sebelum tidur atau saat sedang merasa pusing dengan rumitnya kehidupan yang amat kejam.

Saat sholat wajib di mulai, Daisy hanya bisa mengintip dari jendela. Lagi-lagi dia merasa nyeri yang teramat pada uluh hatinya, membuat Daisy sesak. Ketika semua orang berlomba-lomba bersujud dan mengadu kepada Allah akan suatu kebahagiaan maupun kesulitan, Daisy malah selalu merasa tidak pantas untuk melakukannya. Tidak tahu mengapa, Daisy merasa saat ini bukanlah waktunya.

****

Daisy melangkah lebar memasuki rumah Kaily dengan keadaan hati berbunga-bunga. Senyumnya tak henti mereka, dia merasa begitu bahagia.

"Kenapa lo senyam-senyum gitu?" tanya Kaily yang berada balik pantry bersama Angginy, sedang memasak sesuatu di sana untuk makan malam mereka.

Daisy mengambil duduk di sebuah kursi bar dapur, menopang dagu dengan senyum kian melebar sempurna. Tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan. "Gue lagi senang!"

"Habis kelayapan ke mana lo, kok baru pulang sekarang? Gue kira ilang dibawa nenek gombel, abisnya seneng banget ilang tanpa izin pas mau adzan begini!" celetuk Angginy kejam. Teman Daisy satu ini memang ceplas-ceplos, selalu mengatakan apa adanya.

"Tanyain kek gue seneng kenapa!" Daisy balas sewot, matanya memutar malas. Tetapi tidak berlangsung lama, dalam hitungan detik kembali tersenyum lagi. "Gue abis dari mesjid dekat taman. Denger adzan merdu banget!" serunya sambil berdecak kagum. "Gak pernah dengar adzan semerdu itu, dan ternyata orang yang mengumandangkannya ... ganteng!"

Kaily dan Angginy menggelengkan kepala, keheranan. "Lo ke masjid cuman mau denger adzan, gak sekalian sholat?" tanya Kaily, dia menatap Daisy dengan mata menyipit.

Daisy menggeleng tegas, mengiyakannya jika dia tidak ikut sholat bersama yang lain. Melainkan hanya ingin menghayati setiap bait adzan. "Lo berdua tahu gak siapa yang adzan?"

Angginy dan Kaily kembali bertatapan untuk beberapa saat. "Siapa? Mantan lo?" tanya Kaily.

Daisy mendesah sebal mendengar sebutan mantan. Buat apa mengungkit masa lalu kembali, buang saja ke orang yang lebih membutuhkan. Daisy paling anti balikan dengan mantan, seperti barang bekas menurutnya. Sudah tidak layak untuk disayangi kembali. "Bukanlah! Amit-amit kalo mantan." Dia mendengkus. "Yang adzan itu om-om ganteng!" katanya. Daisy menaik turunkan alis, senyum miring dia perlihatkan. "Jiwa penyuka om-om gue meronta seketika."

"Eh, buset! Mengadi-ngadi lo ya, Dez!" Angginy mengangkat pisau yang dia pakai untuk memotong sayuran. "Mau gue lempar pakai ini?"

"Hahahaha! Kenapa sih? Lebih baik kan dari pada gue ngidolain suami orang?"

Kali ini Kaily yang berdecak kesal. "Akal sehat lo emang pantas diragukan, Dez! Ya gak om-om atau suami orang juga, elah! Cari yang aman-aman aja, seumuran kita. Paling enggak tuaan dia setahun atau dua tahun dah terbilang wajar."

Daisy menutup kedua telinganya. "Nye, nye, nye! Gue kan gak sama kayak lo berdua, gue suka yang dewasa-dewasa. Lebih berpengalaman dan hot!"

"Hot pala lo peang! Sekali-kali emang harus dibenturin kepala lo ke tembok, biar agak warasan dikit. Ingat umur, Dez, baru juga delapan belas tahun. Hayalan lo tentang CEO seksi kebangetan, gue takut lo gila masa?!" Angginy menggelengkan kepala, meringis membayangkan jika hayalan terlalu tinggi ditampar oleh kenyataan itu begitu menyakitkan.

Daisy hanya mengangkat bahu cuek, dia tetap pada pendiriannya. Suka om-om, titik!

"Kalau gue gak salah dengar, dia yang bangun masjid sebesar itu. Bayangin aja betapa dermawannya dia. Udah ganteng, suara adzannya merdu, sultan pula. Ck, kalau gue jadi istrinya tentram banget dah dijamin hidupnya!"

Kaily mengernyit, beberapa detik kemudian matanya melebar. "Jangan-jangan yang lo bicarain ini Mas Yusuf, anak tetangga sebelah gue?" tebaknya.

"Hah? Tetangga sebelah mana? Kiri apa kanan?

"Kanan."

Daisy beranjak dari tempat duduknya, berlari gesit ke arah teras, mengabaikan teriakan kedua temannya. Tepat sekali dugaan Daisy, mobil om-om yang di masjid tadi memasuki halaman rumah di sebelah kanan rumah Kaily. Daisy mengambil sebuah kursi, meletakkan di samping tembok. Diam-diam dia mengintip untuk memastikan lebih keyakinannya.

"Argh, bener! Gantengnya ya Allah ciptaanmu! Cocok buat aku yang cantiknya kebangetan gini!" decak Daisy. Dia berniat mengentakkan sebelah kakinya pada kursi, namun tidak tepat pada sasaran. Tubuhnya langsung oleng dan terjungkal ke bawah dengan keadaan menyenaskan. "Aduhhhhh!"

Yusuf yang mendengar pekikan seseorang begitu nyaring, segera mengurungkan niat memasuki rumah. Dia melangkahkan kedua kaki ke arah rumah Kaily.

"Astaghfirullah!" Yusuf kaget melihat Daisy yang nampak sedang meringis melihat bagian tulut dan sikunya terluka. "Kaily, Kaily!" panggil Yusuf dari pintu utama, terdengar khawatir. Tidak lama kemudian Kaily dan Angginy menghampiri dengan tergesa-gesa.

"Astaga, Dezy!" Angginy memekik tak kalah kaget. Tanpa pikir panjang dia kemudian membantu Daisy bangun.

Yusuf menundukkan pandangannya, pakaian Daisy paling terbuka di antara kedua temannya, menggunakan baju tanpa lengan dan celana super pendek. Bahkan celana dalam Daisy hampir kelihatan.

"Saya mendengar dia berteriak, makanya saya hampiri ke sini. Ternyata keadaannya sudah seperti itu." Yusuf berucap datar. Dia mengangkat kepala, menatap Kaily beberapa saat. Untunglah gadis itu mengenakan sweater dan celana jeans panjang.

"Iya, Mas Yusuf. Terima kasih banyak sudah diberitahukan sama kami berdua. Maafin teman aku yang rada-rada ini, dia emang lagi kena karma. Abisnya jelalatan banget!" Kaily memberikan tatapan tajam dan menjengkelkan kepada Daisy yang sedang memberengut.

Yusuf mengangguk. "Saya permisi dulu, Assalamu'alaikum." Lalu beranjak pergi meninggalkan halaman rumah Kaily.

"Wa'alaimussalam."

"Dezy!!!" Kaily menggeram. Kedua tangannya gemas ingin mencekik Daisy saat itu juga. "Lo ya, minta dicubit pake tang emang! Ngeselin banget punya temen."

Daisy semakin memajukan bibir. "Dipending dulu ngomelnya, ya, sekarang tolongin gue dulu. Bakal susah banget ini jalannya," pintanya. Wajah penuh keibaan dia tunjukkan untuk meluluhkan kedua temannya.

Angginy memijit pelipis. "Puyeng gue, Dez, punya temen kayak lo. Besok-besok ruqiah aja. Mau?"

"Jangan jahat, gue jadi makin sayang sama orang kelewat jujur ngatain otak gue gak beres!" balas Daisy sarkas. Dia melingkarkan kedua tangannya pada leher Kaily dan Angginy, meminta bantuan untuk melangkah ke dalam. "Beneran, kaki gue terkilir ini. Abis makan nanti panggilin tukang urut ya?"

"Lain kali jangan pecicilan makanya. Jadi anak baik-baik lebih enak dilihat." Kaily mencibir.

"Nye, nye, nye! Sana gih masak lagi, gue udah lapar nih."

"Sudah gak bisa masak, suka ngerepotin, suka nyuruh-nyuruh orang. Kelewat nguji kesabaran gue!"

Daisy terkekeh. "Allah itu nyiptain temen emang untuk saling melengkapi. Gue gak bisa masak, jadi Allah hadirkan lo berdua. Allah juga nyiptain Mbok Hani di keluarga gue buat nyiapin semua keperluan." Kepala dia terangkat, jiwa sombongnya muncul.

"Gak usah songong!" Angginy datang dengan membawa kotak obat. Dia berniat membersihkan luka Daisy. Angginy tahu jika temannya itu tidak punya keahlian apa pun, mungkin untuk sekedar mengobati luka saja tidak bisa.

"Gue sudah bisa sendiri kalau soal ngobatin luka!" Daisy mengambil kotak obat itu dari Angginy. "Nanti gue belajar yang lain, naklukin om Yusuf tadi misalnya. Hebat gak tuh otak cerdas gue?"

......

Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga cerita ini bisa menjadi pelepas dahaga kalian pencinta romance-spiritual ringan. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love!

Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku.

Jangan lupa simpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat.

Hehehe ....

Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh!

Salam manis,

Novi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel