PART 5. Pelukan Yang Tak Lagi Hangat
Part 5. Pelukan yang Tak Lagi Hangat
Musim hujan baru saja datang ketika Rahman menjemput Annisa.
Bukan dengan mobil, bukan dengan bunga, tapi dengan pesan singkat:
> “Kalau kamu masih percaya pada takdir, ayo pulang. Tapi kali ini bukan ke rumah, melainkan ke tempat baru. Di Bogor. Pondok putri.”
Annisa membaca pesan itu lima kali sebelum membalas.
> “Jauh dari keluarga besar?”
> “Insya Allah. Hanya kita berdua.”
Dan dengan secercah harapan yang bodoh tapi manusiawi, Annisa pulang. Bukan karena cinta yang membara, tapi karena lelah bertarung sendirian.
---
Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di sudut pesantren milik keluarga Rahman yang baru dirintis. Lokasinya sepi di lereng gunung salak. Udaranya dingin. Tetangga hanya pepohonan dan suara adzan dari mushola kayu.
Di hari pertama, Rahman menatap Annisa dengan mata yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Aku tahu aku bukan suami yang baik,” katanya lirih. “Tapi mungkin kalau kita mulai dari nol, jauh dari hiruk-pikuk keluarga... kita bisa belajar lagi.”
Annisa mengangguk. Setengah percaya. Setengah ragu.
“Kalau kamu siap,” kata Rahman, “kita bisa bangun tempat ini bareng. Pesantren ini, rumah ini, kehidupan baru kita.”
Dan Annisa—bodohnya manusia yang hanya ingin damai—mengatakan, “Ya.”
---
Minggu pertama berjalan seperti bulan sabit yang malu-malu menyinari. Hanya ada mereka berdua. Tak ada ipar, tak ada mertua. Tak ada suara sarkastik atau sindiran berjilbab.
Namun satu hal baru muncul: sunyi.
Dan uang.
“Ini,” kata Rahman sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu. Lima lembar. “Lima ratus ribu. Buat seminggu.”
Annisa memandang uang itu. “Ini… untuk makan kita berdua?”
“Untuk kamu,untuk keperluan rumah ini.”
“Lalu Mas?”
“Aku makan ditanggung pondok. Tapi kamu kan sekarang istri ustaz, bukan lagi bankir. Jadi harus belajar hidup sederhana. Nabi aja makan kurma dan air putih.”
Annisa mengangguk, meski tenggorokannya serasa menelan kerikil.
“Lima ratus ribu... untuk semua kebutuhan?” tanyanya pelan.
“Iya. Makan, sabun, kebutuhan pribadi,token listrik. Tapi kan kamu pintar ngatur. Dulu kamu manajer keuangan bank, masa ngurus rumah tangga aja nggak bisa?”
Annisa ingin tertawa. Tapi yang keluar hanya gumaman, “Iya, bisa.”
Dan mulailah kehidupan baru itu. Dengan warteg murah. Mie instan. Teh celup yang diseduh tiga kali. Dan sabun batang yang dibelah dua.
Bukan karena ia tak mau hidup hemat.
Tapi karena cinta dan kemiskinan yang disulap jadi ibadah bisa terasa seperti hukuman jika tak seimbang.
Bagaimana tidak, hampir setiap malam ada saja tamu yang datang yang harus disuguhi kopi atau teh manis, belum lagi kalau udah ustadz atau keluarga santri yang datang, Annisa harus memasak lebih. Dan itu semua dikeluarkan dari uang 500 ribu.
---
Malam itu, Annisa duduk di lantai dapur, menghitung uang receh sambil memegang kalender dinding.
Empat hari lagi baru Minggu. Uang tersisa: 48 ribu.
Sementara beras tinggal satu gelas. Gas hampir habis. Dan Rahman sedang mengisi ceramah via Zoom tentang “Peran Istri dalam Menjaga Rezeki Suami.”
Annisa menatap panci kosong. Lalu tertawa kecil. Tawanya lirih. Hampir seperti batuk.
Ia lalu menulis surat. Bukan untuk Rahman, bukan untuk keluarganya, tapi untuk dirinya sendiri.
> Annisa,
Kamu tidak salah karena ingin hidup yang layak. Kamu bukan kufur nikmat hanya karena tidak kuat makan dua kali sehari dan menyebutnya ibadah.
Kamu bukan istri durhaka karena menginginkan suami yang peduli, bukan hanya memberi nasihat.
Kamu hanya manusia.
Ia lipat surat itu, simpan di dalam laci tempat biasanya menyimpan bumbu dapur.
Di sebelah merica dan garam, surat itu jauh lebih pedas.
---
Di suatu subuh, Rahman berdiri di depan jendela sambil membaca kitab kuning. Suaranya lirih.
Annisa bangun, menyeduh teh dari sisa kantong kemarin.
“Apa kamu bahagia di sini, Nis?” tanya Rahman.
Annisa menatap keluar jendela. Hanya pohon, hujan, dan suara ayam.
“Setidaknya di sini aku bisa diam tanpa disindir. Itu sudah cukup untuk disebut tenang.”
Rahman tersenyum. “Tenang itu awal dari bahagia.”
Tapi Annisa tahu, itu hanya awal. Karena setelah tenang... biasanya datang kosong.
---
