PART 6. Dua Garis Merah Penuh Luka
> “Mengandung tak selalu berarti ditunggu. Kadang, itu hanya alasan baru untuk semakin dikekang.”
Rahman akan semakin terang-terangan menggunakan nama agama dan surga untuk mengontrol, bahkan menekan Annisa secara fisik dan mental. Sementara kebutuhan kehamilan yang seharusnya diperhatikan, justru ditekan dalam label “kesederhanaan islami.”
---
Part 6. Dua Garis Merah, Satu Garis Luka
Pagi itu langit mendung. Suara azan Subuh masih menggema, tapi Annisa tak bangun untuk menyiapkan teh atau sarapan.
Tubuhnya lemas. Mual. Keringat dingin membasahi kerah mukena.
Ia tahu rasa ini. Sudah tiga hari ini ia mencium aroma dapur dan langsung muntah. Payudara sakit. Dan ada firasat samar yang tak mau diucapkan.
Sore harinya, ia membeli test pack di warung belakang pondok. Harga: 15 ribu. Mahal, jika dibandingkan sisa uang mingguannya: 63 ribu.
Tapi ia beli.
Dan di kamar mandi sempit dengan cahaya lampu remang, muncul dua garis merah.
---
“Istri Solehah Nggak Boleh Banyak Minta” itu yang selalu Annisa dengar dari mulut suaminya.
Saat Rahman pulang dari mengajar tafsir sore, Annisa menunjukkan test pack itu.
Rahman menatapnya sekilas, lalu mengangguk. Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata haru. Hanya satu kalimat:
> “Alhamdulillah. Semoga anak ini jadi penghapus dosamu.”
Annisa diam. Lalu mencoba bicara pelan.
“Mas... kalau aku hamil, boleh nggak aku minta ditambah uang mingguanku?”
Rahman mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Aku butuh periksa ke bidan. Harus rutin. Periksa darah, asupan gizi, vitamin, dan… ya, kehamilan nggak bisa cuma didoakan, Mas.”
Rahman menghela napas panjang.
“Nis... kamu itu terlalu duniawi. Zaman dulu perempuan hamil di gubuk juga bisa lahirin. Nggak serumit sekarang.”
“Tapi Mas…”
Rahman berdiri, menatapnya tajam.
“Lihat ya, aku kasih kamu lima ratus ribu. Itu cukup. Kalau nggak cukup, kamu belajar hidup bersyukur. Anak dalam kandunganmu itu anugerah, bukan alasan buat minta lebih.”
“Mas, aku bukan minta mewah. Aku cuma…”
“Kamu tuh perempuan, Nis. Tugasmu sabar. Jangan dikit-dikit nyalahin keadaan. Dikit-dikit minta tambahan. Surga itu mahal, bukan pakai BPJS.”
Annisa menahan napas. Menahan air mata.
Karena kalau dia menangis, itu dianggap lemahnya iman.
Kalau dia membantah, itu durhaka.
Kalau dia melawan, itu kafir dalam rumah tangga.
---
Hari-hari berikutnya berubah menjadi pertarungan. Bukan antara ibu dan janin, tapi antara Annisa dan dompet Rahman.
Ia belajar menyeduh jahe sendiri. Memakai minyak kayu putih sebagai pengganti vitamin.
Periksa ke bidan hanya sebulan sekali. Bahkan pernah ia berjalan kaki sejauh 2 km ke puskesmas karena ongkos ojek terlalu mahal.
Setiap pulang, Rahman hanya bertanya, “Lancar?”
Dan setiap Annisa menjawab dengan kepala tertunduk, Rahman akan berkata:
> “Lihat? Allah cukupkan. Kamu panik aja lebih dulu dari rezeki.”
---
Saat perut mulai membesar, Rahman mulai lebih sering menghilang.
“Mas sibuk,” katanya. “Mas ngajar santri, bantu ustaz-ustaz muda. Jadi kamu urus kandunganmu sendiri ya, sayang. Tapi inget... dengan syukur. Jangan ngelamun, banyakin dzikir...!"
Annisa hanya mengangguk. Dengan tangan yang gemetar. Dengan rahim yang memberat. Dengan kepala yang nyut-nyutan.
Dan ketika malam datang, ia berdoa dengan suara sangat lirih:
> “Ya Allah, kalau Engkau titipkan anak ini kepadaku… tolong, jangan Engkau wariskan penderitaanku padanya.”
---
Bulan ketujuh, Rahman membawa pulang kitab tipis tentang peran wanita hamil.
“Ini bagus buat kamu baca,” katanya.
Annisa membuka halaman pertama. Kalimat pertama berbunyi:
> “Istri yang sabar dalam hamil dan tak pernah mengeluh, akan diberi kedudukan lebih tinggi dari para syuhada.”
Tapi tak ada bab soal gizi. Tak ada bab soal suami yang pelit. Tak ada bab tentang perempuan yang meminjam uang dari tetangga hanya untuk beli susu hamil.
Bahkan ketika ia jatuh pingsan karena anemia ringan, Rahman hanya berkata:
> “Berarti kamu kurang zikir. Zikir itu menguatkan tubuh.”
Annisa tak lagi menjawab.
Ia tahu, kalau hidup ini teater, maka dia cuma peran figuran.
Dan panggung ini bukan miliknya.
---
Di malam ke-212 sejak ia kembali pada Rahman, Annisa duduk di beranda pondok. Perutnya berat. Kepalanya pusing. Tapi matanya tajam menatap langit.
Langit yang dulu jadi tempat ia gantungkan harapan.
Langit yang dulu jadi saksi air matanya.
Sekarang, ia hanya bertanya dalam hati:
> “Kalau surga adalah alasan semua ini… lalu, kenapa rasanya neraka justru lebih jujur?”
---
