Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 4. Doa Yang Tak Naik Ke Langit

BAB 4: DOA YANG TAK NAIK KE LANGIT

---

Hari itu udara terasa lebih panas dari biasanya. Tapi bukan karena matahari.

“Annisa... kamu tuh ngerti nggak sih, kenapa sampe sekarang belum hamil juga?”

Suara Bu Nyai terdengar nyaring dari ruang makan. Satu sendok nasi belum sempat masuk ke mulut Annisa.

“Udah saya bawa ke dokter, Bu,” jawabnya pelan.

“Ya itu kan dokter biasa. Kalau rahimmu tertutup karena dosa masa lalu, ya susah. Mungkin karena kerja di tempat riba itu. Atau... dosa zina sebelum nikah?”

Annisa tercekat.

Zulaikha tersedak teh manis, tapi menahan tawa. “Ih, Bu... jangan asal tuduh gitu dong.”

“Lho, siapa tahu. Di zaman sekarang, mana bisa percaya perempuan kerja kantoran pulang malam-malam. Gaya aja islami, tapi siapa tahu hatinya penuh debu.”

Annisa meletakkan sendok. Tangannya gemetar. Ia menatap Rahman yang duduk di seberangnya.

“Mas... kamu nggak mau ngomong apa-apa?”

Rahman menyeka mulutnya dengan tisu, lalu berkata pelan, “Orang tua cuma khawatir, Sayang. Kamu jangan terlalu diambil hati. Kita introspeksi aja dulu.”

"Introspeksi?" suara Annisa nyaris tercekat. "Introspeksi atas sesuatu yang bahkan bukan salahku?"

Bu Nyai menimpali, “Hidup rumah tangga tuh bukan soal benar atau salah, tapi siapa yang lebih tahan banting.”

Zulaikha bertepuk tangan pelan. “Wah, Bu Nyai, quote-nya bisa masuk Instagram motivasi.”

Satu rumah tertawa. Kecuali Annisa.

---

Di dalam kamar, Annisa menyalakan ponsel. Ia membuka chat lama bersama sahabat kantornya dulu: Dita.

> “Gue capek, Ta. Rasanya kayak hidup ini bukan buat gue.”

Pesan itu tak pernah terkirim.

Ia hapus. Ia takut. Takut akan dinilai kufur nikmat. Takut screenshoot-nya nyasar ke grup keluarga. Takut, takut, takut.

Karena dalam rumah ini, ketakutan adalah kebajikan. Dan bersuara adalah kesesatan.

Tapi malam itu berbeda.

Ia menatap cermin dan tidak lagi mengenali wajahnya sendiri. Pucat, kosong, dan asing. Ia bertanya pada bayangannya sendiri:

> “Berapa lama lagi kamu mau mati perlahan begini?”

Langkahnya menuju kamar Rahman. Ia mengetuk. Rahman sedang menulis naskah ceramah untuk pengajian Ahad.

“Mas... aku mau bicara.”

Tanpa menoleh, Rahman menjawab, “Tunggu ya, lagi nyusun materi.”

“Enggak, Mas. Ini penting.”

Rahman menoleh. “Apa?”

Annisa menatap matanya. “Aku mau pisah.”

Rahman tertawa kecil. “Kamu haid ya?”

“Aku serius.”

Hening.

Rahman bangkit dari duduknya. Wajahnya masih tenang, tapi matanya dingin. “Kamu ini kenapa sih, Nis? Lagi-lagi emosi. Ini semua cuma fase.”

“Fase? Mas, aku udah berhenti kerja, jadi pembantu di rumah ini, dihina setiap hari, disalahin karena belum hamil, dan kamu... kamu nggak pernah bela aku satu kalipun.”

Rahman diam.

Annisa mengatur napas. “Aku bukan mau cerai besok pagi. Aku cuma... aku pengen pulang dulu. Sendiri. Butuh waktu.”

Rahman menghela napas, lalu bicara dengan nada yang mengiris:

> “Kalau kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali.”

Annisa menatapnya lekat-lekat.

> “Kalau itu harga kebebasan, aku terima.”

---

Keesokan pagi, suasana rumah mencekam.

Koper kecil Annisa sudah di tangan. Ia tidak menangis. Ia tidak bicara. Ia hanya lewat, melewati wajah-wajah yang dulu mengaku "keluarga dalam iman".

Bu Nyai berdiri di depan pintu, menyilangkan tangan di dada.

“Nggak ada perempuan baik-baik yang meninggalkan suaminya tanpa alasan syar’i. Kamu itu contoh nyata perempuan modern yang lupa akhirat.”

Annisa menatapnya. “Saya cuma lupa siapa saya. Karena terlalu sibuk jadi apa yang Umi mau.”

Zulaikha memutar mata. “Drama queen.”

Rahman keluar. Hanya berdiri.

“Terakhir kali, Nis. Yakin kamu mau keluar?”

Annisa mengangguk. Tapi sebelum melangkah pergi, ia berkata dengan pelan,

> “Mas... semoga kamu dapet istri baru yang lebih sabar, lebih patuh, lebih diem, lebih ngalah, dan lebih... mati rasa.”

Ia pergi.

Dan pintu ditutup.

---

Beberapa bulan kemudian, Annisa tinggal di sebuah kontrakan kecil. Ia kembali bekerja. Tak mewah, tapi cukup untuk hidup.

Ia menyewa waktu di psikolog, dan menulis surat untuk dirinya sendiri:

> “Dear Annisa, kamu tidak berdosa karena memilih waras.”

Di malam Jumat, saat azan berkumandang, Annisa masih berdoa. Tapi bukan lagi minta suami yang sabar. Bukan lagi minta rahimnya dipenuhi.

Doanya kini singkat, dan jelas:

> “Ya Allah, tolong jaga aku... dari manusia yang mengatasnamakan-Mu.”

Dan kali ini, ia tahu. Doanya naik ke langit.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel