Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 3. Rumah Tanpa Jendela

Part 3: RUMAH TANPA JENDELA

Annisa terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara sendal jepit Bu Nyai yang menyeret lantai ubin.

Tok! Tok! Tok!

“Annisaaa... udah jam lima! Subuh nggak bisa di-qadha, tahu!”

Tanpa sempat mencuci muka, ia langsung menuju kamar mandi kecil di belakang dapur. Handuk masih basah, air dingin menyentak. Tapi dingin itu kalah dengan dinginnya sikap semua orang di rumah ini.

Setelah salat Subuh, ia segera ke dapur. Bukan untuk minum teh atau sarapan romantis dengan suami, tapi untuk mulai memasak buat 13 orang. Iya, tiga belas.

Ada Bu Nyai, Pak Kyai, tiga ipar perempuan yang semuanya lulusan Cairo dan berpangkat ustadzah tapi merasa seperti ratu, dua ipar laki-laki yang doyan tidur dengan dalih ibadah malam sampai subuh dan baru tidur setelah sholat Dhuha, dan enam santri tamu yang entah sejak kapan jadi penghuni tetap.

Dan semua pekerjaan dapur—cuci beras, potong ayam, iris bawang, bikin kopi, sapu halaman—jatuh ke tangan siapa?

Tentu saja, “menantu syar’i, yang lebih sering mereka sebuah menantu baru hijrah”, sebutan yang kedengarannya anggun tapi sejatinya hinaan berkedok pujian.

---

“Lho, teh manisnya mana?” tanya ipar perempuannya yang paling sinis, Hilya, sambil selonjoran di sofa, menonton sinetron dakwah.

“Masih saya bikin, Mbak,” jawab Annisa pelan.

“Duh, di rumah ini jam lima pagi teh udah tersedia di meja makan, ya. Bukan jam tujuh kayak di rumah emak-emak kantoran yang cuma bisa nyuruh ART.”

Komentar sarkastik itu bukan yang pertama hari ini. Dan pasti bukan yang terakhir.

“Kangkungnya pahit,” komentar ipar satunya, Zulaikha. “Masaknya jangan pakai hati dong. Hatinya lagi kotor ya?”

Annisa diam.

“Eh, diem aja. Ditegur bukannya minta maaf, malah ngambek. Ibu, ini menantu kita baperan banget ya.”

Bu Nyai datang sambil membawa ember cucian.

“Nduk, kamu udah nyuci mukena-mukena santri? Kalau belum, jangan makan dulu. Biar niatmu puasa tetap tulus, meski belum sahur.”

Annisa menunduk.

Rahman lewat di depan dapur, melihat istrinya jongkok di depan kompor dengan asap mengepul dan mata merah karena uap cabai.

“Man, bantuin istrimu kek,” celetuk salah satu santri. “Masa istri dijadiin babu?”

Rahman cuma tersenyum. “Annisa tuh kuat orangnya. Aku bangga dia mandiri. Nggak cengeng kayak istri-istri zaman sekarang.”

Ujar Rahman sembari tersenyum enyum. Lalu pergi. Seperti biasa.

---

Malam hari, saat semua sudah tidur, Annisa masih menyikat kamar mandi.

Ia sudah tak menangis. Air matanya seperti ikut dicuci bersama cucian dalam bak plastik.

Setiap kali ia mengadu, jawabannya sama:

> “Sabar, Nis. Ini ladang pahala.”

“Rahman anak baik, kamu aja mungkin belum cukup ikhlas.”

“Kamu jangan rusak citra keluarga Kyai Mahbub.”

Umi dan Ayah Annisa hanya bisa menunduk saat video call. Di balik wajah cemas, mereka menyimpan ketakutan: takut jadi bahan gibah, takut keluarga kecil mereka dibilang durhaka karena “tidak tahu diri menolak keluarga ustaz.”

Sampai pada suatu sore, saat Annisa memberanikan diri bicara pada Rahman di ruang tamu.

“Mas... boleh aku tanya sesuatu?”

Rahman sedang menyusun ceramah mingguan. Ia mengangguk tanpa menoleh.

“Kenapa aku harus masak buat semua orang, nyuci, beresin rumah, bahkan sampai ngurus santri? Bukannya tugas istri itu untuk suami, bukan satu keluarga besar?”

Rahman meletakkan pena, akhirnya menatapnya.

“Kamu ini kok hitung-hitungan? Ibu yang ngurus kita dari awal, masa kamu nggak bisa bantu-bantu dikit?”

“Ini bukan dikit, Mas... ini semua... semua kerjaan rumah...”

“Kamu iri sama siapa? Sama Hilya? Sama Zulaikha? Merekankerja untuk pondok, mereka juga cape ngajar, ada kewajiban mereka di pondok. Kamu beda.”

Annisa menarik napas. “Aku juga manusia, Mas.”

Rahman tertawa kecil.

“Ya manusia yang diberi cobaan. Kalau kamu sabar, pahalanya banyak. Surga kan nggak murah.”

Annisa diam. Lagi-lagi, surga dijadikan alasan untuk membenarkan penindasan.

Bu Nyai menyela dari dapur, seolah telinga mereka punya sensor radar.

“Kalau kamu nggak sanggup, bilang aja. Banyak perempuan di luar sana yang pengin banget jadi istri Rahman. Mereka siap cuci piring sampe Subuh asal bisa tinggal di rumah ini.”

Annisa menatap tangannya. Kapalan. Kukunya patah. Rambutnya rontok.

Tapi topi kebanggaan tetap dipakaikan padanya: menantu solehah.

---

Bulan berganti. Tubuh Annisa makin kurus. Teman-teman kantornya dulu masih suka kirim pesan, tapi semua pesan tak pernah ia balas.

Bukan karena lupa. Tapi karena malu.

Malu harus berkata bahwa wanita mandiri yang dulu mereka banggakan sekarang tidak lebih dari pekerja domestik tak bergaji, dengan senyum palsu sebagai seragam.

Di suatu malam yang sunyi, Annisa berdiri di halaman belakang.

Ia menatap bulan. Lalu berkata pelan:

“Ya Allah... kalau ini rumah surga, kenapa aku merasa mati setiap hari di dalamnya?”

Tak ada jawaban. Bahkan angin pun enggan singgah malam itu.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel