PART 2. Saat Diam Lebih Baik
Beberapa hari setelah resepsi, saat koper-koper belum benar-benar dibongkar, dan bunga pengantin masih setengah layu di meja, Annisa membuka laptopnya. Jadwal meeting pukul 09.00. Ada presentasi evaluasi kredit mingguan yang harus ia kirim.
Namun baru lima menit mengetik, Bu Nyai mengetuk pintu dengan senyum dingin.
“Kamu masih kerja?” tanyanya dengan nada tenang yang menyimpan dentingan peluru.
“Iya, Bu. Eh, Umi maksudnya. Masih WFH, soalnya minggu depan baru masuk ke kantor lagi.”
Bu Nyai masuk ke kamar, duduk di pojok ranjang tanpa permisi, lalu menatap Annisa seperti sedang menilai daging kurban.
“Kamu kerja di mana, ya?” tanyanya, padahal sudah tahu.
“Di bank, Umi. Bank swasta.”
“Oh. Yang bagi hasil atau yang riba?” tanyanya, seperti orang nanya pedas atau tidaknya sambal.
Annisa terdiam.
“Yang... konvensional,” jawabnya pelan.
Tiba-tiba Rahman masuk ke kamar, entah mengapa waktunya begitu tepat. Mungkin sudah diatur semesta.
Bu Nyai menatap anaknya. “Kamu tahu istrimu kerja di bank riba, Man?”
Rahman mengusap janggutnya yang belum seberapa panjang. “Sudah tahu, Mi. Tapi waktu itu masih calon. Sekarang kan bisa dinasihati.”
“Nggak cuma dinasihati. Harus dihentikan. Keluarga kita ini dikenal bersih. Jangan sampai nama kita tercemar karena menantu sok karir tapi gajinya haram.”
Annisa mencoba menjelaskan, “Tapi pekerjaan saya legal, Bu. Saya di bagian pemasaran, bukan di bagian kredit.”
“Pemasaran atau pencucian dosa?” Bu Nyai menyeringai. “Setan juga pintar marketing, Mbak. Tapi tetap aja tempatnya di neraka.”
Rahman hanya mengangguk, seolah pernyataan ibunya adalah sabda.
“Nis,” kata Rahman pelan. “Aku tahu kamu suka kerja. Tapi, mungkin ini saatnya kamu lebih fokus di rumah. Istriku tuh, ya, harus bisa jadi madrasah buat anak-anak kita nanti. Bukan sibuk ngejar target kantor yang nggak berkah.”
Annisa menggenggam ujung jilbabnya. Ia tak ingin menangis.
“Tapi aku sudah delapan tahun di sana. Aku... aku suka pekerjaanku, Mas.”
“Kita juga suka surga, Sayang. Tapi nggak semua orang sanggup masuk. Kadang harus ninggalin dunia buat dapet akhirat,” ujar Rahman dengan senyum religiusnya yang dulu membuat Annisa jatuh hati.
Bu Nyai berdiri, merapikan kerudungnya. “Saya minta kamu bikin surat pengunduran diri hari ini juga. Biar nanti Rahman yang kirim. Keluarga kita nggak butuh uang dari riba. Kita butuh menantu yang taat.”
Dan di situlah, satu per satu dunia lama Annisa dicabut dari akar-akarnya. Tanpa ampun. Tanpa kompromi.
Ia menulis surat pengunduran diri dengan tangan gemetar. Setiap huruf seperti palu yang menghantam dinding kebebasannya.
Ketika HRD membalas dengan kalimat, “Sangat disayangkan Anda mundur, Bu Annisa. Kami menilai Anda sebagai aset yang luar biasa,” ia hampir menangis.
Tapi di rumah, tidak ada tempat untuk air mata.
“Udah, jangan drama. Syukurin aja. Masih banyak ibu rumah tangga yang nggak kerja, tapi bisa masuk surga lebih dulu daripada direktur bank,” kata Bu Nyai sambil menyapu halaman.
Dan Rahman?
Ia hanya menepuk pundak istrinya pelan, lalu keluar dari kamar.
Seperti biasa.
Diam adalah bentuk dukungan paling halus terhadap ketidakadilan.
---
