Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 1. Topeng

GAUN PUTIH DAN TOPENG SUCI

“Hari gini masih jomblo, Nis? Jangan kebanyakan milih. Nanti nyesel.”

Kalimat itu, walaupun dibalut tawa khas emak-emak kompleks, selalu sukses menggoreskan luka tipis di hati Annisa. Tapi luka itu kini sudah sembuh. Bahkan nyaris tak berbekas.

Karena hari ini, ia akan menikah.

Dengan lelaki yang dianggap anugerah dari langit: Rahman bin Kyai Mahbub Al-Muqorrobin. Putra sulung dari pemuka agama yang setiap ceramahnya dikutip akun dakwah dengan jutaan followers.

“Insya Allah, suamimu itu saleh lahir batin. Anak pesantren, tiap malam tahajud, hafidz Qur’an, dan sopan. Udah kayak checklist calon imam idaman,” kata Umi Annisa penuh keyakinan, sambil mengecek ulang hiasan mawar di meja tamu.

Ayahnya pun mengangguk setuju. “Keluarga kita jadi naik derajat. Kamu tahu sendiri, Kyai Mahbub itu dihormati sampai ke luar kota. Liat tuh, yang datang ke lamaran aja pakai gamis semua. Gamis, Nis! Bukan jeans robek-robek kayak temen-temen kamu itu.”

Annisa hanya tersenyum kecil. Hatinya belum sepenuhnya tenang, tapi semua ini terlalu megah untuk dibatalkan. Apalagi undangan sudah tersebar, dan rahmat Tuhan tampaknya sedang sangat royal kepada dirinya.

---

Pernikahan mereka digelar di halaman pesantren milik keluarga Rahman. Para tamu duduk bersila, para santri berdiri menyambut seperti pengawal kerajaan. Setiap gerak-gerik Rahman seperti dimuliakan langit. Bahkan saat ia hanya menyebut, “Bismillah,” mikrofon seolah menggaung lebih lembut.

Annisa duduk di pelaminan, mengenakan gaun putih yang disyaratkan “tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menor,” sesuai panduan dari calon ibu mertua. “Gaun harus syar’i, tapi tetap anggun. Bukan kayak pengantin sinetron.”

Dan seperti biasa, Annisa menurut. Karena perempuan yang terlalu banyak protes sebelum ijab kabul, katanya, adalah istri yang kelak durhaka.

Saat tamu-tamu menyalami, ibu Rahman—Bu Nyai Zahra—tersenyum manis sambil berkata lirih pada setiap kerabat, “Semoga bisa jadi istri solehah. Bukan cuma cantik pas make up, tapi juga tahan banting di dapur.”

Annisa tertawa kecil. Belum tahu bahwa kalimat itu akan jadi ramalan lebih tepatnya isyarat neraka menantinya.

---

Malam pertama mereka bukan bulan madu. Tapi “kajian keluarga kecil” bersama Rahman, Bu Nyai, dan Pak Kyai. Duduk bersila di ruang tamu, Rahman membuka kitab kuning, menjelaskan tentang kewajiban istri menjaga kehormatan, kesucian, dan ketaatan mutlak.

“Seperti Siti Hajar yang rela ditinggal di padang pasir,” kata Pak Kyai penuh hikmah.

Annisa hanya bisa mengangguk.

Bu Nyai menatapnya tajam tapi tetap tersenyum. “Nggak gampang jadi istri ustaz, Nduk. Harus bisa kerja tanpa ngeluh, sabar tanpa pamrih, dan jangan sering-sering main medsos. Bikin fitnah. Lagi pula, ibu-ibu solehah itu sibuk di dapur, bukan di TikTok.”

Annisa kembali mengangguk.

Rahman diam saja. Entah setuju, entah hanya menyimak. Tapi tak ada kalimat pembelaan ketika Bu Nyai berkata, “Panggilan buat saya nanti jangan 'Mama' ya. Kamu bisa panggil saya 'Umi'. Lebih berkah. Dan jangan panggil Rahman 'ayang' atau 'sayang'. Itu kebarat-baratan. Panggil 'Abi'."

Pagi pertama sebagai pengantin baru, Annisa bangun lebih pagi karena Bu Nyai menggedor pintu.

“Subuh jam berapa, hah? Jangan kebiasaan molor kayak anak zaman now. Di rumah ini, nggak ada istilah pengantin baru. Yang ada: pengantin harus lebih rajin dari biasanya.”

Dengan mata masih setengah tertutup, Annisa tersenyum kecil. Mengira semua ini hanya bentuk kedisiplinan ala pesantren.

Tapi saat ia turun ke dapur, Bu Nyai sudah siap berdiri dengan daftar menu sarapan.

“Bikin bubur kacang hijau, goreng tempe, tumis kangkung, dan bikin teh manis dua liter. Santri tamu datang sebentar lagi.”

Annisa hanya berdiri diam.

“Lho, kenapa bengong? Mbok ya cepetan. Saya ini udah tua, bukan bisa di dapur terus. Kamu menantu sulung. Harus jadi contoh. Bukan cuma pamer gaun pengantin kemarin.”

Rahman masuk ke dapur, hanya tersenyum, lalu pamit ke masjid.

Tak sepatah kata pun ia ucapkan untuk meringankan beban istrinya.

Dan di situlah, pertama kali Annisa bertanya dalam hati:

Apakah ini rumah tangga? Atau aku baru saja dikirim untuk magang di surga yang penuh aturan, tapi tanpa cinta?

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel