Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. First kiss

Zaara terlihat mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kamar terbaik hotel yang berada di depannya. Tentu saja kamar Presidential Suite' room itu merupakan ruangan kamar yang selalu ditempati oleh orang-orang kalangan kelas atas. Karena tarifnya yang cukup menguras dompet ketika menginap per malamnya. Di sudut kanan terlihat ranjang king size dengan kain penutup berwarna putih yang terlihat sangat rapi dengan berbagai furniture mahal yang melengkapi ruangan kamar berukuran luas tersebut. 

Dengan sangat ragu-ragu dan hati yang berdebar-debar, Zaara melangkahkan kakinya untuk mendekati pria yang dari tadi terus mengancamnya, terlihat tengah duduk di sofa empuk berwarna hitam yang tak jauh dari tempatnya. "Om, kenapa menyuruhku mendekat? Apa ada yang ingin Om bicarakan padaku?"

"Aku harus berusaha menyelamatkan diri dari niat jahat Om Arkan yang bilang ingin menghamiliku," batin Zaara. 

Dengan mengeluarkan semua kemampuannya, yakni bakat akting menangisnya, Zaara langsung berlutut di bawah kaki pria yang terlihat tengah menyilangkan sebelah kakinya seraya menatap serius ke arah benda pipih di tangannya.

"Om, aku mohon jangan perkosa aku. Aku masih kelas XI, yang harus menyelesaikan sekolah 1 tahun lagi, Om. Jika sampai aku benar-benar hamil anak Om, mungkin aku akan dihujat oleh teman-teman sekolahku dan Ayahku yang punya riwayat penyakit jantung langsung kumat dan anfal."

Zaara langsung menangis tersedu-sedu dan dengan suaranya yang sudah berubah serak dan tubuhnya yang sesekali bergetar, ia melanjutkan keluhannya. "Hanya Ayah yang aku miliki di dunia ini, aku tidak ingin kehilangan orang tua lagi, Om. Karena kehilangan itu sangat menyakitkan dan juga menyesakkan. Bahkan saat Ibuku meninggal, aku ingin menyusulnya dengan mencoba bunuh diri, tapi aku takut dosa. Karena katanya, orang yang mati bunuh diri akan berakhir di neraka." 

Lagi dan lagi, bulir bening air mata sudah menganak sungai membasahi wajahnya. Bahkan suara tangisannya semakin menggema menghiasi ruangan kamar tersebut. Kali ini Zaara sama sekali tidak berakting, karena jika ia menyebut tentang wanita yang paling disayanginya, yakni almarhumah Ibunya, tentu saja ia tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak menangis. 

Kenangan dari ibunya selalu muncul di ingatannya saat dulu ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang selama 12 tahun. Hingga serangan jantung yang merenggut nyawa ibunya, telah mengubah seluruh dunianya. Hidupnya yang semula dilimpahi banyak kasih sayang dari kedua orang tuanya, mendadak berubah penuh penderitaan saat papanya memutuskan untuk menikah lagi. Dan selama 5 tahun terakhir, ia selalu mendapatkan hinaan, dan perbuatan kasar dari wanita yang tak lain adalah ibu tirinya.

Bahkan luka lebam di bagian dalam tubuhnya akibat cubitan dari wanita yang sangat ia benci itu sudah biasa ia rasakan. Ancaman demi ancaman yang ia dapatkan setiap hari seolah menjadi makanan sehari-hari untuknya, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa karena papanya terlihat sangat bahagia bersama wanita yang sangat dibencinya. Hingga ia mengorbankan kebahagiaannya karena ingin melihat papanya tetap hidup bahagia.

Awalnya Arkan hanya diam dan sama sekali tidak menanggapi permohonan dari gadis yang baru ditemuinya di bandara tersebut. Namun, begitu melihat wajah gadis berseragam abu-abu itu sudah menangis tersedu-sedu di bawah kakinya, tentu saja membuatnya merasa sangat iba. Hingga ia pun langsung turun dari sofa dan berjongkok untuk menyamakan kedudukannya di depan gadis yang sudah bersimbah air mata itu.

Tangannya merangkum kedua sisi wajah baby face yang masih menangis terisak dan tubuhnya yang sesekali bergetar. "Dasar gadis nakal bodoh! Diamlah sekarang, atau aku benar-benar akan memperkosamu!" Arkan mengeluarkan ancamannya seraya menatap tajam wajah sembab yang hanya berjarak beberapa centi di depannya itu.

Mendapatkan ancaman sekaligus tatapan tajam dari pria yang hanya berada sangat intim dengannya, bukan membuat Zaara berhenti menangis. Akan tetapi, ia malah semakin mengeraskan suara tangisannya. Bahkan kali ini ia sudah menghambur memeluk erat tubuh kekar pria di depannya yang masih menatapnya dengan tatapan penuh ancaman.

"Om, aku sangat merindukan Ibuku. Kenapa Ibuku secepat itu meninggalkan aku saat aku masih berusia 12 tahun? Aku ingin ikut Ibuku, Om. Kenapa nasibku bisa seburuk ini? Hidupku benar-benar sangatlah menderita setelah Ibu meninggal. Kenapa Tuhan memberikan sebuah cobaan seberat ini padaku?" Zaara masih tidak berhenti menangis, hatinya benar-benar terluka jika mengingat semua perlakuan mama tirinya setelah papanya menikah lagi. 

Arkan terlihat seperti patung saat gadis kecil itu menangis terisak di dadanya dengan posisi memeluknya. Bahkan ia hampir saja terhuyung ke belakang saat tiba-tiba dipeluk tadi. Tangannya tengah menopang di lantai mengkilat berwarna putih di bawahnya. Ia hanya membiarkan gadis kecil itu menangis sesenggukan. Karena merasa iba, ia berniat mengangkat tangannya untuk memeluk tubuh kurus itu. 

Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya karena tidak ingin sampai membuat gadis itu salah paham dengan perhatiannya. Akhirnya ia mengarahkan tangannya untuk menepuk pundak Zaara dan mencoba untuk menghiburnya. 

"Bukankah sudah aku bilang padamu untuk diam? Apa kamu mau aku memperkosamu?" hardik Arkan yang berusaha untuk membuat tangisan dari Zaara berhenti. 

"Maafkan aku gadis nakal, aku tidak bisa menghiburmu karena tidak ingin membuatmu salah paham padaku. Jika aku bersikap manis padamu, bisa-bisa kamu besar kepala dan berpikir kalau aku perhatian padamu," batin Arkan.

Mendengar kalimat terakhir dari pria yang dipeluknya, membuat Zaara langsung tersadar dari kebodohannya. Sehingga ia refleks melepaskan pelukannya dan agak mundur untuk menjauh dari pria dewasa yang mengarahkan tatapan setajam silet ke arahnya. Buru-buru ia menghapus kasar air mata di wajahnya.

"Aah ... maafkan aku, Om. Karena sudah lancang memeluk Om, aku benar-benar jadi melow jika menyebut almarhumah Ibuku. Sekali lagi maafkan aku, Om." 

"Duduklah di atas! Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," sarkas Arkan yang sudah bangkit berdiri dan terlihat menatap ke arah kemejanya yang sudah basah oleh air mata. "Astaga, lihatlah ulahmu ini!" Menunjuk ke arah kemeja miliknya yang sudah basah, bahkan ia bisa merasakan kulitnya pun ikut basah. 

Merasa sangat bersalah, Zaara yang baru saja hendak duduk di sofa, mengurungkan niatnya. Refleks ia langsung berjalan mendekati pria tampan yang selalu dipanggilnya Om itu. Sebelumnya ia meraih sapu tangan dari saku rok pendek di bawah lutut yang dipakainya. "Maaf Om, biar aku bersihkan." Mengusap sapu tangan miliknya ke arah kemeja yang basah akibat ulahnya pada bagian dada pria di depannya.

Arkan menatap perbuatan dari gadis yang tingginya hanya sejajar dengan pundaknya tengah menunduk dan berkosentrasi mengusap dadanya. "Dasar gadis bodoh, jika kamu melakukan hal seperti ini pada laki-laki lain, mungkin kamu benar-benar akan diperkosa," gumam Arkan.

"Menyingkirlah dan jangan menyentuhku, anak nakal!" hardik Arkan yang sudah menahan tangan kanan Zaara yang memegang sapu tangan.

"Kenapa Om? Aku kan hanya membantu Om untuk membersihkan bekas perbuatanku," ucap Zaara yang sudah mendongak menatap wajah tampan pria yang jauh lebih tinggi darinya.

Sontak saja, manik bening miliknya ber-sitatap dengan netra pekat yang saat ini menatapnya dengan tatapan intens. Keduanya kini tengah sama-sama mengamati pahatan sempurna masing-masing dengan tidak berkedip. Bisa dirasakan masing-masing yang sama-sama terlihat mengagumi wajah di depannya.

Arkan mengamati wajah cantik nan manis di depannya tanpa berkedip. Di mulai dari bola mata berwarna kecoklatan dengan bulu mata lentik, serta alis tipis berwarna hitam. Lalu, semakin turun ke bagian hidung mancung, serta semakin ke bawah di bagian terakhir, yaitu bibir tipis mungil di depannya. 

Hingga tanpa sadar, ia mengeluarkan pertanyaannya. "Apakah kamu pernah berciuman, anak nakal?" Arkan masih menatap bibir tipis berwarna merah jambu yang seolah tengah memanggilnya untuk melumatnya. Seolah bibir di depannya itu seperti belum pernah dijamah oleh kaum Adam.

Wajah Zaara langsung merona begitu mendapatkan sebuah pertanyaan bernada sensitif dari pria yang membuatnya sangat terpesona dengan ketampanannya. Apalagi dalam posisi yang begitu dekat itu, ia bisa mencium aroma maskulin dari parfum yang dipakai oleh pria yang masih intens menatapnya. Tanpa bisa mengeluarkan suaranya, Zaara hanya menjawab pertanyaan dari Arkan dengan sebuah gelengan kepala.

Jawaban dari gadis kecil di depannya itu yang menegaskan bahwa ia belum pernah berciuman, membuat jiwa kelaki-lakian Arkan seolah merasa tertantang dan tidak rela untuk melewatkan kesempatan besar itu. Hingga tanpa berpikir panjang, ia semakin mendekatkan wajahnya untuk mencium gadis yang belum pernah berciuman tersebut.

Jantung Zaara mendadak berdebar kencang saat melihat pria yang selalu dipanggilnya Om itu, mulai semakin mendekatkan wajahnya. Tentu saja ia bukanlah seorang anak kecil yang tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria di depannya itu.

"Aarrrh ... apakah Om Arkan mau menciumku? Apa yang harus aku lakukan? Jika benar apa yang aku pikirkan, ini adalah ciuman pertamaku," batin Zaara yang sudah mulai memejamkan kedua matanya dan menunggu first kiss dari pria yang menurutnya sangat tampan dan maskulin yang semakin lama semakin dekat dengannya.

TBC ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel