Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh nama

Aldrin terpaku di tempat. Kakinya seakan tertanam di lantai. Di ujung jembatan kayu yang kini muncul entah dari mana di dalam gudang sempit itu, berdiri sosok yang menyerupai Raka, temannya yang hilang bertahun lalu. Namun wajahnya... bukan wajah manusia seutuhnya.

Separuh tampak seperti makhluk yang membusuk di dasar sungai, dan separuh lagi tetap menampilkan senyum khas Raka. Sebuah senyum yang justru membuat bulu kuduk meremang.

“Ka… kamu bukan Raka,” bisik Aldrin, suaranya nyaris tak terdengar.

Sosok itu menyeringai. Suara tawanya serak, dalam, seperti berasal dari lorong panjang yang lembap.

"Raka sudah lama tenggelam… Tapi sebagian dirinya masih di sini. Di bawah jembatan, bersama yang lainnya."

Aldrin mundur perlahan. Papan kayu di bawah kakinya berderak. Dari celah-celah lantai, asap tipis mengepul, disertai bisikan lirih yang tak bisa ditangkap jelas.

DUK!

Sesuatu jatuh dari langit-langit. Sebuah lembaran kertas tua, kusam, jatuh tepat di depan Aldrin. Dengan tangan gemetar, ia mengambil dan membacanya.

DAFTAR NAMA:

1. Raka

2. Farel

3. Nadine

4. Gio

5. Sarah

6. Citra

7. Aldrin

Nama terakhir itu membuat napasnya tercekat.

“Kenapa namaku ada di sini…?” gumamnya pelan.

Yang lebih mengerikan, ia tidak mengenali sebagian nama di daftar itu. Farel? Nadine? Citra? Ia tidak yakin pernah mengenal mereka, “Mereka teman-teman masa kecilmu. Kalian pernah bermain bersama di jembatan itu, suatu sore yang tidak pernah kau ingat sepenuhnya…”

Kilatan memori muncul dalam benaknya, menjadi kabur, tapi cukup kuat.

Anak-anak kecil bermain petak umpet. Tertawa. Suara kayu berderak. Jeritan. Lalu, gelap.

Aldrin memegangi kepala. Pusing. Napasnya mulai sesak.

“Kamu satu-satunya yang selamat karena kakekmu menyegel jembatan itu. Tapi kamu kembali… Dan paku pertama telah kamu cabut.”

“Jika tujuh paku dilepas, mereka akan kembali. Tapi bukan untuk pulang. Untuk menggantikan yang masih hidup.”

Tiba-tiba, paku berkarat di tangan Aldrin mulai memanas. Ia menjatuhkannya spontan, tapi suara berdesis menggema seisi ruangan, seperti amarah yang terbangun.

Lalu, suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat, lebih nyata, suara dari bawah papan jembatan:

"Tujuh harus kembali. Atau satu demi satu akan diganti."

Aldrin menoleh. Di sisi jembatan, paku-paku lain mulai menyembul dari lantai, berbaris rapi, tujuh buah. Setiap paku mengunci sesuatu di bawahnya seperti perangkap.

Dan satu di antaranya, ada paku dengan nama "Citra"—mulai bergoyang.

Aldrin hanya bisa membisikkan satu hal sebelum semuanya gelap:

“Maafkan aku…”

Tiba-tiba, papan kayu di tengah jembatan membuka dengan sendirinya, seperti rahang raksasa yang menganga perlahan.

Dari celah gelap itu, sebuah tangan kurus dan pucat menjulur keluar, kukunya hitam, ujung-ujung jarinya retak seperti tanah kering. Tangan itu meraih udara… lalu menunjuk ke arah Aldrin.

“Kamu yang selanjutnya...”

Tepat saat itu, suara dari lantai bawah terdengar:

"Aldrin...? Kenapa lampu mati semua? Kamu di mana?"

Itu suara ibunya.

Tapi... bukankah ibunya sedang dirawat di rumah sakit sejak dua hari lalu?

Aldrin menoleh ke pintu gudang dan melihat bayangan ibunya berdiri di ambang, dengan mata kosong dan senyum yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Nak… ayo ikut Ibu... Kita ke jembatan, ya?"

Lalu… semua lampu padam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel