Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 5. Keputusan Untuk Meninggalkan

Malam ini, aku akan melepaskan Mas Wandi dari tanggung jawabnya padaku dan kedua anakku.

Tidak akan ada lagi kata kita hanya ada aku dan anak-anak ku.

Dan aku tidak berharap mas Wandi ikut berperan menjadi orang tua untuk anak-anak.

Maafkan Bunda, Nak. Kalian pasti kecewa saat tahu hal ini tapi Bunda tidak bisa berbuat apa-apa, ayah kalian yang memulai maka Bunda akan mengakhiri.

Cukup satu hari ini merasakan betapa sakitnya saat tahu ternyata diam-diam dimadu, setelah apa yang mas Wandi lakulan padaku. Dari mulai pernikahan yang tidak wajar dulu, dan bagaimana mas wandi dan ibunya membuat aku diam dengan semua perlakuan mereka.

Tujuan mereka adalah harta, dan aku akan berikan semuanya, aku tidak mau lagi jadi mesin penghasil uang untuk mereka.

Pagi itu dengan diantar Mang Iwan aku berangkat ke kedutaan Polandia mengantarkan berkas pengajuan visa untuk worker yang working permitnya sudah turun.

Di kedutaan polandia aku bertemu dengan Ivan keponakanku.

" Van, ini diuruskan sampai mereka terbang

,Bibi mau istirahat dulu..!" Pesanku pada Ivan yang menatap ku.

" Bi Nisa, tinggal sama Ivan saja di Garut, bibi ada kami keluarga bibi. Kalau bibi ga ada,kita sua ga ada yang mau kerja buat Mas Wandi,kita cuma ngabisin gelomabg teralhir ini saja kan Bi?" Ujar Ivan. Aku hanya mengangguk.

Ada rasa sakit,tiga tahun membangun perusahaan lembaga pendidikan bahasa asing, dengan kontrak kerja lulusan dikirim ke Polandia, Jerman,Turkey, Taiwan, Singapura dan Korea juga Jepang.

Setelah aku berbicara dengan petugas di Polandia embassy,aku menjelaskan ini gelombang terakhir dan aku akn break entah sampai kapan. Aku menutio akses Mas Wandi dan Agus untuk masuk ke polandia embassy atas nama perusahaan ku. Biarlah perusahaan itu beku,mingkin suatu hari akan dilanjutkan oleh Dheki atau mungkin Enay dan Enat.

Setelah dari kedutaan Polandia bersama Ivan aku ke kedutaan Korea di jalan Gatot Subroto. Tujuan ku sama, menghentikan aktivitas perusahaan ku, perusahaan ku terdaftar di korea embassy karena kami memiliki kontrak dengan hampir lima puluh perusahaan dikorea yang meneeima lulusan kami.

Selesai dari kedutaan Korea aku ke Teto, di gedung Artha graha, juga untuk menghentikan aktivitas perusahaan untik pengiriman ke Taiwan.

Terakhir aku ke kedutaan Jepang,disana aku bertemu dengan sahabat ku Mistar Tan yang sangat menyayangkan perusahaan di non aktifkan walaupun hanya sementara.

Setelah urusan dengan semua kedutaan selesai,aku mengajak ivan makan di pizza hut, kami duduk satu meja bersama dua orang suster yang mengurus enay dan Enat.

"Mbak, terimakasih ya, sudah bekeeja dengan baik mengurus Enay dan Enat. Saya mau istirahat dikampung orang he he he .. ini gaji kalian dan sedikit bonus. Nanti kalian akan diantar Mas Ivan ya." Ucapku oada kedua suster yang selama ini setia padaku.

" Bi, kenapa bibi ga jalanin saja perusahaan dilain tempat. Punteun Bj, bukan karena Ivan pengen kerja, tapi beneran sayang banget Bi, banyak orang akan kehilangan terutama para siswa yang sangat berharap Bibi berangkat kan. Ivan ga yakin Mas wandi dan Pak Agus bisa berangkatkan mereka. Ivan bisa aturkan supaya mereka ikut bibi..." Ujar ivan.

" Ga Van, bibi ingin istirahat. Malah bibi sebenarnya pengen ivan dan teh Maya,teh Rani, tetap bantuin Mas Wandi." Jawabku.

Setelah selesai berbicara dengan Ivan dan dua susterku, aku minta Ivan mengantarku ke stasiun Gambir.

Aku memilih naik kereta untuk pulang ke Bandung.

Alhamdulillah Sepanjang jalan Enay dan Enat sama sekali tidak rewel.

Ada rasa sesak saat aku berdiro mendorong troli dengan dia anak diatasnya menduduki tumpukan tas.

Aku segera memesan taxi online, tujuanku kediaman bu Santi yang beberapa minggu ini intens berkomunikasi dengan ku. Mertua Bu Santi mempunyai beberapa unit rumah kontrakan yang baru jadi.

Sampai di rumah kontrakan aku keluar dari mobil lalu menurunkan koper dan tas pakaian Nayla dan Nathan.

"Assalamualaikum." Kudorong pintu rumah yang memang tidak terkunci.

Senyum Bu santi yang kulihat saat masuk. "Waalaikumsalam. Katanya mau kesini dari kemarin, ibu udah masak banyak. Mana si kembar?"

" Tidur bu,boleh langsung masuk ke kontrakan Bu..?"

" Malam ini tidur disini saja. Besok ibu bantuin beres-beres." Ujar Bu Santi lalu kami ke mobil untuk mengambil Nayla dan Nathan yang tertidur pulas.

Setelah menidurkan si kembar dikamar, aku keluar kamar dan menghampiri bu Santi.

" Nisa khawatir dengan kondisi Ibu,gimana bu setelah operasi kemarin?." Tanyaku oada Bu Santi.

"Ibu sudah sehat mbak Nisa. Apalagi mendengar kalian akan datang, rasanya Ibu tidak bisa tidur karena ingin segera bertemu." Bu santi yang baru operasi kista masih terlihat pucat.

" Ibu masih cuti kan?" Tanyaku, sehari-hari bu santi bekerja di kecamatan sebagai bendahara.

" Iya ibu masih cuti seminggu.." jawav Bu santi.

Setelah Bu Santi pergi istirahat, aku pun beranjak ke kamar.

Takdir yang tidak pernah kusangka, perceraian tidak pernah ada dalam benakku. Bahkan berpikir Mas Wandi mendua saja tidak pernah tapi kenyataannya? Walaupun Mas wandi diam tidak menjawab tapi aku sangat yakin pernikahan dnegan Sheila sudah terjadi beberapa bulan lalu.

Mengingat momen itu membuat air mata bergulir begitu saja. Kuusap pipi dengan kasar. Aku mengaku kuat tapi hati ini tidak bisa dibohongi, aku manusia biasa yang bisa hancur, terpuruk dengan apa yang kualami. Dan sekarang .... Adalah titik terendah hidupku. Dikhianati setelah aku keluar dari keluarga ku, setelah aku dibwnci anak anak ku karena menikahinya.

Tidak akan ada habisnya jika terus mengingat. Aku tidak boleh seperti ini terus. Mencoba menguatkan diri tapi air mata tak mampu dibendung itu adalah hal sangat menyedihkan. Semua nya sudah usai, karir ku pun sudah tinggal kenangan. Tapi untuk melanjutkan usaha yang aku rintis bersama mas Wandi,aku tidak mau

Astagfirullah.

Aku mungkin bisa tegar di hadapan orang-orang tapi di hadapan Rabb-ku, rasa sesak, perih dan sakit kutumpahkan. Berharap setelah mengadu rasanya tidak akan menyiksa seperti ini.

Jika memang ini jalannya, aku ikhlas kehilangan semuanya,haeta hanya titipan. Tapi enay dan Emat adalah amanat. Mempertahankan sesuatu yang bukan menjadi takdir hanya akan menyiksa jadi melepaskan itu lebih baik.

Setelah shalat subuh, aku baru sempat melihat ponsel. Sengaja tadi malam mengubah mode senyap karena tahu Mas wandi pasti akan menghubungiku.

Ada beberapa panggilan dan pesan masuk darinya.

[Bunda dimana?]

[Kenapa pergi tidak bilang-bilang?]

[Jangan kekanakan hanya karena hal sepele begini, Bunda harus bisa mengerti kondisi ayah . Ayah hanya menjalankan amanah Aziz Bun,ayah hanya mencintai Bunda]

Aku tersenyum miris membaca pesan ketiga yang dikirimnya. Sepele dia bilang? Apa dia tidak tahu hancurnya aku seperti apa karena hal sepele yang dia maksud itu. Dia juga ingin aku mengerti dirinya?

Kutaruh benda pipih itu di atas nakas lalu melipat mukenah dan sajadah, menaruhnya ke tempat semula.

Ponsel bergetar, telepon masuk dari Mas Wandi yang sepertinya baru melihat kalau aku sidah membaca pesan nya.

Tumben pagi-pagi sudah bangun, oh mungkin Sheila bisa membangun kan nya. Syukurlah.

" Mbak nisa...." Kudengar suara Bu santi dibalik pintu.

" Mbak,apa mau kerja di kecamatan? Nanti coba ibu tanyakan sama pak camat. Kenapa mbak ga lanjutkan saja pekerjaan mbak, bukannya izin PPAT mbak nisa sidah turun kan...?'

"Lima tahun lalu Bu, lagi pula saya ga bawa dokumen nya, saya hanya bawa dokumen saya dan anak-anak saja." Jawabku.

" Terus rencana Mbak nisa apa?"

" Saya hanya ingin istirahat dulu Bu..." Jawabku.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel