Gara-gara VCS
Malam itu, Tasya duduk di sofa sambil menatap layar TV yang berkelip-kelip. Tapi, tawa dari acara yang ditonton tak mampu mengusir sunyinya di dada. Jemarinya menggenggam erat remote, lalu dengan napas panjang dia membuang badan ke belakang.
“Mungkin ke pasar malam saja,” gumamnya pelan, berharap suasana baru bisa mengalihkan pikirannya.
Malam minggu memang waktu yang cocok untuk para jomblo seperti dia berkeliaran, sementara yang punya pasangan sibuk menikmati kebersamaan di rumah. Meski usianya sudah kepala tiga, Tasya masih suka berpikir dirinya seperti dua puluh tahun.
Mungkin itulah rahasia awet mudanya, pikirnya sambil menghidupkan mesin mobil maticnya. Setibanya di pasar malam, pandangannya menyapu keramaian yang ramai warna-warni. Dia berhenti di sebuah stan, memilih beberapa barang yang menarik hati dengan senyum kecil di bibir.
"Jus alpukat dan pisang goreng satu porsi ya, Mang," katanya sambil menyerahkan uang. Penjual itu mengangguk singkat. "Siap, neng," jawabnya tanpa ekspresi, lalu segera menyiapkan pesanannya.
Tasya sengaja memilih tempat itu karena hanya di sana ada hiburan musik yang bisa mengusir sepinya malam itu.
Tapi matanya terus saja tertarik pada seorang pemuda yang duduk sendirian, asyik dengan ponselnya.
"Hy, sendirian aja?" sapanya sambil menyunggingkan senyum.
Pemuda itu menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan suara dingin, "Hy juga, iya, lagi sendiri aja."
Nada bicaranya terkesan acuh, bahkan agak ketus. Tasya mengerutkan dahi, rasa penasaran berubah jadi tantangan. Baru kali ini ada pria yang cuek tapi terlihat sombong padanya.
"Boleh aku duduk?" tanyanya sambil mengangkat alis.
Pemuda itu melemparkan pandangan sekelebat. "Duduk aja, ini kan tempat umum." Jawabnya datar, nada ketus tak b
Tasya menghela napas, seolah ingin pergi tapi punggungnya tetap menempel erat di kursi. "Kalau kamu nggak suka, aku pindah ke tempat lain saja!" gumamnya setengah kesal, tapi sorot matanya menantang.
Mata pemuda itu tiba-tiba melebar saat tanpa sengaja melirik ke dada Tasya yang terselip dalam dress selutut dengan belahan dada rendah. Bahkan saat Tasya menunduk, dadanya sedikit menyembul keluar, membuat suasana jadi lebih tegang dan penuh ketidakpastian.
Rico tersenyum lebar begitu Tasya mendekat. "Ngga usah, Mba. Duduk sini aja, aku lagi gabut banget nih!" sergahnya.
Tasya membalas dengan senyum manis yang selalu berhasil membuat Rico terpesona. "Makasih ya!" katanya ringan.
"Kenalin, aku Rico. Kamu siapa?" tanyanya dengan nada santai.
"Salam kenal, aku Tasya. Tapi khusus buat kamu, panggil aja sayang!" goda Tasya sambil menyeringai nakal.
Rico mengerutkan dahi, bingung menebak umur Tasya. Penampilannya yang segar dan muda membuatnya sulit percaya kalau gadis itu bukan ABG. "Hehe, masa sih? Kamu udah pesan minuman belum?" tanya Rico, berusaha menjaga suasana santai.
Tasya melirik penuh arti. "Kenapa? Mau traktir aku?"
Rico terkekeh, kemudian angkat bahu. "Ngga sih, cuma basa-basi doang. Aku bawa uang 20 ribu doang, soalnya." Mata Tasya sempat menatap Rico tajam beberapa detik, seperti mau menguji keseriusannya.
Rico sempat panik, tapi segera tersenyum kembali. Tak lama, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan Tasya. "Ini, neng. Pesanannya. Selamat menikmati!" ucapnya ramah, lalu pergi.
Obrolan mereka berlanjut, tapi mata Rico tetap sulit lepas dari pandangan yang tak sengaja tertuju ke dada Tasya. Ternyata, di balik sikap santainya, Rico masih duduk di bangku SMA—muda, polos, dan penuh penasaran.
"Kamu sering nongkrong di sini, kalau malam minggu?" tanyanya dengan nada sedikit ragu tapi penuh harap.
Tasya tersenyum kecil, matanya yang bersinar menenangkan suasana. "Iya, sekalian refresh otak juga," jawabnya santai.
Rico memberanikan diri lebih jauh. "Boleh tukaran nomor handphone nggak?" tanyanya sambil menunggu jawaban.
Tanpa menunggu dua kali, Tasya mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya cepat mengetik angka-angka. "Ini nomorku," ucapnya sambil menyerahkan ponsel. Rico mengangkat alis, mencoba sedikit iseng.
"Boleh aku telepon nanti?" tanyanya dengan senyum yang berharap.
Tasya menggeleng kecil, ekspresi ragu menghiasi wajahnya. "Hmm, gimana ya, takutnya ada yang marah, Ric!" katanya pelan, nada suaranya mengandung sedikit kekhawatiran.
"Nggak ada kok!" jawab Rico cepat sambil menepuk bahunya sendiri, meyakinkan.
Jam dinding menunjukkan pukul 22.00 ketika Rico berdiri, bersiap pamit. Saat hendak pergi, dia berbalik dan tersenyum nakal.
"Tasya, aku penasaran dengan bentuk p*nyudaramu!" ucapnya tanpa beban.
Tasya tertawa pelan, suara manja mengiringi kata-katanya, "Haha, nggak boleh, cuma cowok spesial yang boleh melihatnya!" mata bulatnya berkedip menggoda.
Wajah Rico seketika berubah, bibirnya menekuk lesu, matanya sedikit tertunduk antara kecewa dan malu. "Hmm, maaf kalau begitu," gumamnya pelan, seakan tersipu oleh candaan itu.
*****
Sesampainya di rumah, Tasya langsung melihat deretan pesan masuk di ponselnya. Jari-jarinya ragu menyentuh layar saat membaca, “Maaf, aku nggak bermaksud berkata begitu, jangan anggap aku pria m*sum,” tulis Rico dengan nada terbata.
Pesan berikutnya datang, “Dari pertama lihat kamu, aku merasa kamu wanita yang sempurna. Aku nggak bisa bohong soal itu.”
Tasya mengerutkan kening, tapi tak melanjutkan baca. Dia lebih memilih bangkit ke kamar mandi, menumpahkan lelahnya lewat air hangat yang mengalir.
Usai mandi, tubuhnya yang basah hanya terbalut handuk, ia merapat ke tempat tidur. Jari-jarinya dingin menggenggam ponsel, lalu mengirim pesan, “Kamu sudah tidur belum?”
Beberapa detik kemudian, balasan masuk dengan emoji berlebihan, “Dari mana aja Tasya, aku stres kalau nggak lihat senyumanmu!” Tasya terkekeh kecil, bibirnya melengkung manis.
Ia mengguling perlahan ke kiri dan ke kanan sambil mengetik balasan, hati yang tadinya berat mulai mencair.
Tutt.. tuut... !
Tasya mengusap layar ponselnya, ragu membalas pesan Rico. Akhirnya dia memberanikan diri memulai video call. "Maaf, aku baru selesai mandi," suaranya agak terbata, berharap terdengar meyakinkan.
Rico menoleh sambil tersenyum nakal, "Mana buktinya? Aku pengin lihat." Tasya mengangkat ponsel, mengarahkan kamera perlahan ke ujung kakinya, lalu menaikkannya kembali ke wajahnya dengan ekspresi serius. "Udah percaya sekarang?" tanyanya, sedikit menantang.
"Hmmm, pantas aja harum semerbak sampai ke rumahku!" Ucap Rico sambil mengangkat alis.
Tasya terkekeh, "Masa sih? Enggak mungkin, Ric!"
Rico malah makin semangat, "Aku serius, Tasya!" Rasa penasaran membuat Tasya menyimpan ponselnya di atas meja rias.
Dia pura-pura berdiri membelakangi kamera. Dengan sedikit dorongan tangannya, handuk yang melilit tubuhnya tiba-tiba terlepas. "Tasya, liat nih! Kameraku udah nggak bisa diem, aku udah ngocok!" celetuk Rico, suaranya terdengar gregetan.
Tasya meledak tertawa, wajahnya memerah malu sekaligus geli.
Setelah mendengar ucapan Rico di balik video callnya, dia mengambil handuk yang sempat terjatuh, lalu dia menghadap kamera lagi, dan ternyata Rico tengah berdiri sambil mengocok p*nisnya, dari segi ukuran milik Rico normal panjang 15CM, diameter 4CM, namun yang membuat Tasya melotot ke layar, dia melihat kepemilikan Rico begitu bersih, memerah akibat kocokan kasarnya dan di sekitarannya hanya di tumbuhi bulu halus.
"Dasar m#sum !" ledek Tasya, kedua belah sisi pipinya kini mengembang dan berwarna merah muda.
"Liatin p*nyudara kamu dong, biar aku cepat keluar !" pinta Rico.
Namun Tasya masih berpikiran jernih, dia tidak ingin menunjukkan di balik ponselnya, jangan sampai videonya tersebar.
"Kocokin aja Ric, biar aku liatin kamu aja!" jawab Tasya.
Tut... Tutt ..tuu !
Tiba-tiba video call mereka terputus, layar di ponsel Tasya berubah menjadi gelap. Jaringan internetnya hilang entah ke mana, tapi gejolak di dalam dirinya tak pernah surut. Dengan napas yang masih tersengal, Tasya membuka lilitan handuk yang menempel di tubuhnya.
Dia berdiri di depan cermin kamar, pelan-pelan mengayunkan pinggul sambil meremas dadanya, wajahnya memerah dan bibirnya bergumam seolah benar-benar melihat Rico di sampingnya.
"Aahh, Rico sayang, emutin pentil aku..." suaranya bergetar, matanya sedikit melotot penuh hasrat.
Tangan kanannya merayap turun, jari-jarinya mulai membelai tempat-tempat yang membuatnya gemetar. Suara basah dan hisapan terdengar jelas di ruangan sepi itu. Langkah kaki Tasya mundur pelan, tak lepas dari gerak jemarinya sendiri. Ketika duduk di tepian kasur, dia membuka lebarkan pahanya, dua jarinya menyelinap masuk dengan ritme mulai cepat.
"Sedot aku, Rik... Aku suka kamu... oohh, lebih dalam... bangsattt... uhhh!" desahnya makin keras, tangan yang memegang dadanya semakin mengguncang-guncang. Ruangan yang sunyi tiba-tiba dipenuhi oleh suara nafas berat dan desahan kenikmatan.
Tasya merasakan gelombang yang terus menggulung dalam dadanya, denyut-denyut yang membuat jemarinya semakin cepat bergerak menyusuri tubuhnya.
Tangannya menggenggam dada dengan kasar, seolah mencoba menahan badai yang berkecamuk di dalam. Detak jantungnya berdentang seperti jam yang berdetak kencang, setiap denyutan membawa desakan yang makin mendesak.
Tubuhnya mulai meliuk tak beraturan, nafasnya memburu sampai bibir bawahnya tergigit erat. Dengan suara yang tertahan, Tasya menggenggam tangan Rik. “Aahhh Rik, aku sudah nggak kuat... lebih dalam, ya... aaahhh!”
Tiba-tiba, tubuhnya mengeras, lalu terjatuh ke kasur dalam posisi telentang, dada naik turun berusaha meredakan gelombang yang masih bergemuruh. Matanya tertutup rapat, namun pikirannya kacau. “Huh, huh, huh... kok aku bisa jadi gini, sih?” gumamnya pelan, suara gemetar menandakan campuran antara lega dan bingung.
