What are you doing with my heart - part 2
“Gimana keadaan Istri saya, Dok?” Tama bertanya dengan gimik wajahnya yang serius.
Ada duka mendalam yang sebenarnya berusaha ia tutupi, dan tentu saja hal tersebut karena ulah bejat Doni.
“Ibu Sarah baik-baik saja, Pak. Dia tidak sakit. Hanya saja dia sedang butuh istirahat banyak dan asupan gizi yang cukup, karena Ibu Sarah sedang
mengandung.”
“Apa?!” pekik Tama, juga Doni dan Andita bersamaan.
“Lho, saya pikir Pak Tama sudah tahu. Lagi pula kalian lima bulan lalu sudah menikah resmi, kan? Berarti nggak ada masalah dong kalau mengandung? ‘Kan bukan kumpul kebo?” heran Dokter Yoga.
“Iy-ya, Dok. Maaf. Saya hanya kaget saja. Jadi—”
“Tenang saja, Pak Tama. Saya juga sebenarnya khawatir karena usia Ibu Sarah yang sudah hampir memasuki empat puluh. Oleh sebab itu, saya anjurkan untuk terus berkomunikasi dengan Dokter spesialis kandungan saja. Secara garis besar, untuk melahirkan sih mungkin Dokter kandungan itu nanti pasti akan meminta agar Ibu Sarah di operasi saja dari pada melalui proses normal. Karena ya itu tadi, usia Ibu Sarah yang menjadi ganjalannya. Tapi ya, kita tidak tahu tentang mukjizat Tuhan. Bisa saja hal tersebut terjadi. Intinya Bapak dan Ibu harus selalu menjaga kesehatan si bayi dalam perut, sehingga tetap sehat sampai tiba waktunya melahirkan nanti,” jelas sang Dokter panjang lebar.
Tama hanya bisa mengangguk sementara Doni secepat kilat menarik tangan Andita dan membawanya ke arah dapur.
“Kak, lepasin! Kita udah—”
“Aku cuma mau minta maaf, Dit. Aku nggak tahu harus bagaimana dengan kenyataan yang datang bertubi-tubi kayak gini. Jadi biarin aku peluk kamu sebentar aja, ya? Aku janji nggak akan melakukan hal itu lagi sama kamu. Aku minta maaf, ternyata aku salah dan lebih mementingkan keinginan ku sendiri. Maafin aku, Sayang.
Maafff...” lirih Doni dengan suara bergetar.
Andita memeluk erat tubuh lelaki yang sejujurnya mulai ia cintai, dan ikut menangis di sana.
Pemandangan itu ternyata tak lepas dari mata Aditama, dan jujur saja ia pun merasa bersalah di sana.
“Papa belum bisa menerima keadaan ini, Don. Papa tahu kamu mencintai Dita, tapi Papa yakin cinta mu itu mungkin hanya sesaat saja. Jadi cobalah untuk menerima takdir ini dan carilah jodoh yang lain terlebih dahulu selain Andita Gunawan, karena dia adalah anak kandung Istri Papa,” batin Aditama melangkah pergi.
Dan sejak hari itu pula, keadaan rumah mewah tersebut tak lagi seindah dulu.
Kini sudah lima tahun berlalu. Doni Anugerah pun sudah pergi meninggalkan kediaman keluarga Aditama Suryo, bahkan hal itu terjadi sehari pasca semua bahagia dan badai besar melanda dirinya sekaligus.
Awalnya ia tinggal di mess kantor perusahaan property terbesar di Indonesia tempatnya bekerja. Namun beberapa bulan kemudian ia ditugaskan untuk ikut dalam tim yang akan menangani beberapa proyek besar di Negeri Jiran, Malaysia.
Kini sudah empat tahun lebih ia berada di Kuala Lumpur, namun hatinya tak pernah sedikit pun melepaskan bayangan wajah cantik Andita Gunawan dari ingatannya.
Sementara Andita sendiri juga begitu, dan perempuan itu sekarang sudah lulus dari perguruan tinggi dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang namanya.
Ia lebih banyak menyibukkan diri untuk membantu Sarah dan Tama menjaga Akbar, putra mereka yang kini pun sudah memasuki usia empat tahun.
Kendati demikian, Andita tidak akan pernah lupa mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan secara online ke beberapa perusahaan di Indonesia.
Harapannya tak muluk-muluk, selain ingin secepatnya bekerja. Jika sudah bisa membiayai dirinya sendiri, tentu saja keluar dari rumah sang Ayah tiri adalah tujuan utamanya.
Sebab selama ini ia merasa dirinya hanyalah penghalang, sehingga Doni sampai sekarang tak mau lagi menginjakkan kakinya di rumah tersebut.
“Dittt... Ditaaa... Tokkk... Tokkk...
Tokkk...”
“Iya, Ma?”
Ceklek
“Kamu ngelamar pekerjaan di mana?
Nih, ada surat panggilan interview nih,” ujar Sarah menyodorkan amplop yang sudah terbuka.
“Kok Mama buka sih?”
“Mama cuma pengen tahu aja. Lagian ‘kan Mama udah bilang, Dit. Kamu kerja ada di perusahaan Papa. Kamu bisa dapat posisi
lebih baik sekaligus berlatih, kan?”
“Tapi aku pengen mandiri, Ma. Anak kandungnya aja nggak sibuk gelantungan sama Papanya. Egh, aku yang cuma anak tiri malah kayak seenaknya aja asal menempati salah satu posisi strategis di sana. Beda lagi kalau Akbar. Dia anak kandung Mama sama Papa. Bener, kan?” sahut Andita berbalik dan meninggalkan Sarah termangu di depan pintu kamarnya.
Wanita empat puluh dua tahun itu tak tahu harus bagaimana lagi mengatasi segala sikap dingin Andita, yang tentu saja terjadi sejak lima tahun lalu.
Ia tak berharap Andita pergi darinya. Sebab sepanjang perempuan itu dilahirkan ke dunia hingga berusia delapan belas tahun, Sarah menitipkan Andita pada Kakak kandungnya di Bogor dan membangun sandiwara seolah status dirinya adalah Tante.
Hal itu karena Sarah hamil sebelum menikah, dan sang kekasih pergi entah kemana. Tapi setelah delapan belas tahun berlalu, akhirnya Sarah memutuskan untuk mengambil kembali sang putri dan kini sudah lima tahun mereka tinggal bersama dengan kebenaran yang sudah terungkap tentang ikatan darah di antara keduanya.
***
“Kenapa mukanya di tekuk terus, Ma? Yang di kantor tadi kurang?” Tama menggoda Sarah dan langsung memeluk wanita itu dari belakang.
“Aku capek, Pa. Nanti lagi aja, ya?” lirih Sarah lekas menyeka air matanya.
“Kamu nangis, Ma? Kenapa? Papa ada salah ya sama Mama?” panik Tama membalikkan tubuh sang Istri.
“Paaa...”
“Jawab aku, Sarah! Apa ada lelaki lain di hati kamu sehingga kamu tidak merasa bahagia hidup dengan ku lagi? Atau permainan ku terlalu kasar makanya kamu kesakitan terus menangis kayak gini karena nggak tahan sama perihnya? Atau kamu—” “Mama sedih karena capek sama sikap Dita, Pa. Dia menerima surat panggilan interview dari perusahaan asing yang membuka cabang di Indonesia. Walaupun Dita hanya mengambil jurusan Ekonomi Managemen, tapi Papa tahu ‘kan selama ini dia kuliah di kampus mana dan lulus dengan predikat cumlaude? Mama yakin dia pasti bakalan di terima untuk bekerja di sana. Mama yakin dia juga bakalan di beri tugas lain untuk berpindah tempat ke luar negeri karena memang pusat perusahaan itu berada di Amerika, cepat
atau lambat!”
“Ya bagus dong, Ma. Bukannya itu akan nambah pengalaman buat Dita? Lalu apa yang Mama takutkan?” tanya Aditama mengerutkan kening datarnya.
Sarah semakin deras mengeluarkan air mata kesedihannya dan lagi-lagi itu membuat lelaki lima puluh delapan tahun itu frustasi.
“Maaa... Kenapa sih? Jawab Papa dong, Ma? Jangan kayak gin—”
“Inilah impian Dita yang sebenarnya, Pa! Ini yang dia inginkan agar bisa ikut seperti Doni yang pergi tanpa memberi kabar pada kita! Apa Papa tidak ingat dengan peristiwa lima tahun lalu? Sampai sekarang Dita bahkan tidak pernah lagi membuka hatinya untuk pemuda lain. Dia sibuk kuliah, belajar, membantu kita merawat Akbar dan ini sangat berbeda dengan Dita ketika masih remaja dulu, Pa. Dia paling nggak betah tinggal di rumah. Dia selalu punya banyak teman main, entah itu cewek atau cowok. Tapi semua berubah sejak hubungannya dengan Doni terlarang. Lalu sekarang, sekali lagi aku jelas akan kehilangan seorang anak dari rumah ini. Aku akan kehilangan Dita seperti delapan belas tahun yang aku jalani dulu, Pa. Aku akan kehilangan anak ku lagi,” tubuh Sarah bergetar hebat dengan isak tangis yang sudah tak lagi bisa ia bendung.
Aditama Suryo pun merasakan sebilah pedang sudah tertancap tepat di jantungnya, hingga rasa perih dan sakit itu benar-benar mengalir di seluruh tubuh.
Lima tahun lalu ia sama sekali tak berpikir jika hal seperti ini akan terjadi secara berkepanjangan dalam keluarga yang sudah ia bangun dan hampir menuju ke garis finish kebahagiaan, namun kini semuanya salah total.
Ia bersikukuh dengan pendiriannya yang menganggap Doni dan Dita tidak akan berjodoh, namun karena keadaan semakin mengarah pada kehancuran? Maka ia mulai berpikir ulang tentang fakta yang selama tiga puluh dua tahun ini ia sembunyikan.
“Sssttt... Jangan kayak gini, Ma. Please, jangan bikin Papa ikutan bingung. Mama tenang aja ya, Ma? Nanti Papa akan coba ngomong sama Dita biar dia nggak kerja di tempat lain. Papa sendiri yang akan menawarkan jabatan baik untuk ia tempati di kan—”
“Dia nggak mau, Pa! Dia bilang Doni yang anak kandung Papa aja nggak hidup di bawah ketiak Papa. Masa dia yang cuma anak tiri malah seperti mengambil kesempatan. Mama tau banget sifat Dita, Pa. Keinginannya keras dan kalau dia sudah bilang kayak gitu? Itu artinya sampai kapan pun kita nggak akan bisa membujuk dia, Pa. Mama akan kehilangan dia, Pa. Mama yakin dia juga bakalan melakukan hal yang sama kayak Doni. Bagaimana ini, Pa? Apa kita
berdua bercerai aja biar mere—”
“JANGAN GILA, SARAH! Aku mencintai mu dan sampai kapan pun kamu tidak akan pernah aku ceraikan!” bentak Aditama, bergegas bangkit dari tempat tidurnya.
Ia mengambil selimut hangat miliknya, dan keluar dari kamar dengan membanting daun pintu putih di sana secara kasar. Tujuan Ayah dua anak itu tentu saja adalah kamar sang putra bungsu, Akbar Anggara. Dan yang tersisa hanyalah isak tangis keras dari pita suara Sarah.
