Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Pesta (3)

Kami tiba dirumah Ima. Tapi sepertinya pemilik kost belum tiba karena mengantarkan Ojan dan Sayur terlebih dahulu. Sementara mobil Jingga kutu yang membawa para gadis pun belum terlihat. Malam ini kami semua akan meninap di tempat Ima, menghabiskan malam minggu, tanpa para cowok.

“Thanks banget, hari ini gua dapet banyak pengalaman baru.” Kataku pada Lyon. Tentu saja dia akan menemaniku sampai Ima tiba.

“Baru maksud lu?”

“Pengalaman orang kaya.” Aku mengerlingkan mataku.

“Aneh!”

“Serius, Ball Party, Dance time, dan Flower Bucket.” Aku mengacungkan bucket yang kupegang dari tadi, “Semuanya pertama kali buat gua.”

“Serius?” katanya tak percaya, aku mengangguk. “Lu tahu legend dibalik bucket yang lu pegang?”

“Katanya bakal nyusul ya?”

Lyon mengangguk anggukan kepala.

Aku tertawa geli, “Mudah mudahan aja, biarpun gua nggak yakin.”

“Kok gitu?”

Aku menggeleng. Tak ingin menyebutkan isi hati.

“Berdoa itu yang bae bae kenapa!”

“Iya sih.”

“Tapi gua doain kok, kalo lu mau.”

Aku tersenyum.

“Gua juga makasih.” Kata Lyon tulus, “Udah lama gua nggak sepuas ini ngejalanin hari.” Lanjutnya memandang kosong kedepan, tapi sorot matanya hangat. Membuat jantungku tak tenang.

“Lebay ah!” kataku, mencoba mengusir rasa gugup.

“Lu mah orang serius dianggap becanda mulu.” Katanya kesal.

“Iya, sorry! Lu bikin gua geer sih.” Kataku geli dengan ucapanku.

“Ya bagus.”

“Kok gitu?”

“Berarti bukan Cuma gua.”

“Ah, kebawa suasana nih.” Aku memalingkan wajahku dari Lyon yang membuatku tak bisa berhenti menatapnya.

Klakson mobil Radit membuyarkan suasana.

Aku mendesah lega.

Para cewek ternyata sudah tiba, tanpa menungguku mereka masuk pintu gerbang kos mewah itu. Ima sendiri baru turun dari mobil Radit, aku melihatnya lewat spion didepanku.

“Bye bye yah, hati hati dijalan.” Kataku seraya membuka pintu mobil.

“Eh Ga.” Lyon menghentikanku yang baru saja akan keluar mobil, “Gua udah bilang belum sih ama lu, lu cantik loh malam ini.”

“Basi.” Kataku, tapi tetap merasa senang, “Udah ah, gua geer lagi nih!” aku melangkah keluar, “Bye!” lalu berlari mengejar Ima yang menungguku di pintu.

Satu persatu ketiga mobil yang mengantar kami meninggalkan tempat parkir.

Aku masih tak bisa berhenti tersenyum saat masuk kedalam kamar.

“Cie…senengnya!” goda Ima yang menggandeng tanganku saat masuk kamar.

“Apa sih!?” kataku makin geer.

“Lyonel Tarmadi nih!?” goda Haya, Eii dan Sendy ikut ikutan menggodaku.

“Berisik ah kalian, jail mulu!” kataku berusaha setenang mungkin, “Ganti baju ah, mana baju gua?” lanjutku pada Ima, “Tar kotor lagi baju lu.”

Ima tertawa terbahak bahak.

“Perasaan tadi nggak ada Vodka deh disana, lu tebleng dimana, Ma?” kataku bingung kenapa dia tertawa tanpa alasan jelas. Ketiga temanku yang lain juga tampak sama bingungnya.

“Lu yang tebleng!” sengat Ima, masih tertawa tawa. “Lu pake tu baju udah berapa jam yang lalu, tapi kagak tahu kalo itu baju lu.”

“Gua?”

“Iya elu, siapa lagi.”

“Bukannya lu yang tadi nyuruh gua pake.”

Ima mengangguk angguk. Kali ini dia menyalakan rokok lagi, lalu melepas sepatunya.

“Terus kenapa lu bilang punya gua?”

“Lu nggak beli gitu?” sela Haya, aku menggeleng, “Pantes gua pikir keren banget lu bisa beli weadding dress kayak ginian?”

“Weadding?” Eii dan Sendy sepertinya kaget mendengar ucapan Haya.

“Iya, emang.” Kata Ima, aku mencabut rokok dari mulutnya, untukku, “Sialan lu!”

“Gua males nyundut, lu aja ngambil baru!” kataku tak acuh. “Lu masih mesti ngejelasin ma gua ni baju.”

“Kita juga mau tahu.” Timpal Sendy.

Ima menyalakan rokok baru, “Gua ke bridal senen kemaren nganterin oma ngambil kerudung buat akad nikahnya.”

“Pesen disana?” tanya Eii, Ima mengangguk, “Yah, nggak lihat deh.”

“Terus, Terus?” kali ini Haya yang merebut rokok Ima.

“Monyong, maen rebut rebut aja. Nyalain sendiri kenapa!?” Omel Ima, mulutnya monyong menahan kesal.

“Lanjutin cerita lu!” kata Haya nggak sabar.

“Ya kapan gua cerita kalo nyundut rokok mulu.” Ima menyalakan rokoknya sekali lagi, kali ini melatakan zipponya diatas bungkus rokoknya, “Kalo mau nyalain dewe!” katanya.

“Iya, lanjutin.”Sendy meraih rokok dan Zippo ditangan Ima.

“Gua pergi bareng dia.” Ima menudingku, “si Beib, sama si Kucay.” Jelasnya, asap rokok mengepul setiap dia bicara, “Pas lagi liat barang pesenan oma dia ngiler ngeliat tu baju. Ya udah si Lyonel Tarmadi minta manager bridal buat ngepasin di dia.” Ima lagi lagi menudingku.

“Dia yang suruh?” tanyaku tak percaya. Pantas saja SPG itu langsung menuntunku mencobanya. Ternyata memang diminta oleh pelanggannya.

“Gitu aja?” tanya Eii masih tampak penasaran.

Ima mengangguk, “Terus, semalem dia kesini nganterin tuh baju. Punya lu katanya.” Ima menatapku jahil. “Cie….dibeliin ternyata.”

“Duh duh, sampe segitu Lyonel Tarmadi sama neng Sagara!” kata Haya lalu tertawa puas bisa meledekku.

“Utang nih gua.” Kataku berusaha bersikap wajar. Meski sebenarnya hatiku melambung tinggi.

“Utang gimana, jelas jelas dia ngasih.” Sahut Sendy, “Suka kali dia ama lu.”

“Apaan sih ah?” Kali ini aku berusaha keras agar tak tersenyum.

“Nggak apa apa kali Ga, dia kan baik tuh.” Kata Ima.

“Iya cakep lagi.” Susul Haya

“Kaya juga.” Timpal Eii.

“Kalian ada ada aja ah.” Aku mulai lepas kendali.

Keempat temanku saling pandang, lalu menatapku dengan aneh.

“Sama sama jomblo lagi!” teriak keempatnya kompak.

Aku mengerling malas seraya mengibaskan tanganku. Dan berhambur kekamar mandi sebelum tampak oleh mereka aku kegirangan. Kegilaan ini tak boleh berlanjut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel