Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Hari ini aku tidak ke club, pikiranku sedang tidak baik. Jadilah aku berakhir di mini bar dalam penthouse, menenggak wine ditemani dengan sebungkus rokok menthol. Hanya dua ini yang bisa menemaniku saat tamu bulananku datang. Ya, mereka cukup menenangkanku. Aku tahu itu tidak baik untuk kesehatanku tapi siapa yang peduli tentang kesehatanku sekarang? Tristan, dia mungkin hanya berbasa-basi mengenai kesehatanku. Sudahlah, aku ingin melupakan Tristan untuk malam ini saja.

Di dunia ini aku hanya memiliki sedikit teman, aku hanya punya 2 sahabat wanita yang saat ini juga sedang tidak ada di dekatku. Mereka sedang berlibur ke Hawaii bersama dengan suami mereka. Well, aku tidak berharap apa yang aku alami terjadi pada dua sahabatku, Ivy dan Berly. Aku sangat berharap mereka hidup bahagia. Ah, tentang perselingkuhan Tristan, mereka tidak tahu sama sekali. Aku tidak pernah menceritakan keburukan suamiku pada orang lain. Jika ada yang dianggap buruk maka itu aku. Aku pikir ini adalah caraku berterimakasih pada Tristan dan Mommy yang sudah menjagaku setelah orangtuaku meninggal.

Asap mengepul di depan wajahku, ku sesap lagi wine yang ada di dalam cangkir. Entah kenapa aku tidak bisa mabuk meski sudah banyak minum. Apakah mungkin karena aku sudah terbiasa dengan minuman itu? Ya, itu mungkin saja terjadi.

Kira-kira apa yang sedang dilakukan Tristan bersama dengan Vanetta saat ini? Apa mungkin mereka sedang membuat adik untuk Estevan? Astaga, kenapa aku peduli tentang apa yang mereka lakukan. Sudahlah, lupakan saja. Kenapa aku harus menyakiti diriku sendiri dengan memikirkan mereka.

♥♥

Jam 10 pagi, aku menunggu kedatangan pria fantasy liarku. Aku pikir dia tidak akan berani tak datang, dia adalah pria yang tidak pernah absen kuliah. Ah, satu lagi, dia adalah mahasiswa yang kuliah karena beasiswa. Well, dia memang pantas mendapatkan beasiswa karena dia sangat berbakat dalam melukis dan membuat patung. Dia pasti akan jadi seniman besar.

Pintu ruanganku terbuka, dia datang. Wajah dinginnya itu yang membuatku sangat merindukannya.

"Well, kau datang ternyata."

"Tidak perlu berbasa-basi. Apa yang harus aku kerjakan?"

"Kau hanya harus melakukan satu hal." Aku menjeda ucapanku, "Meniduriku."

Rahangnya mengeras, wajah kasarnya membuatku tersenyum geli,

"Aku bercanda."

"Berhenti bermain-main, dan katakan!"

"Aku akan memberikanmu nilai A untuk mata kuliahku tapi kau harus melukisku."

"Aku tidak mendapatkan nilai dengan cara menyuap."

"Kau spesial, jadi lakukan saja apa yang aku katakan."

"Kapan dan dimana kau mau dilukis?"

"Di tempatmu, besok pagi jam 9 pagi."

"Aku tidak mengajak orang ke rumahku."

"Well, itu artinya kita tidak mendapatkan kesepakatan."

Matanya yang hijau menyala dengan indahnya, "Pastikan kau tidak terlambat."

"Tentu saja."

Dia keluar dari ruanganku. Well, dia tidak tahu apa yang akan aku lakukan nanti. Ckck, dia pasti akan memakiku jika dia tahu apa yang akan aku lakukan besok.

Mata kuliahku selesai, aku tidak tahu harus kemana. Aku bosan di rumah. "Ah, aku pikir aku bisa melukis saja." Akhirnya aku memilih untuk melukis. Tempat yang aku pikirkan saat ini adalan tepi jurang 10 kilometer dari kediamanku.

Segera kuambil perlengkapan melukisku dan pergi dari kampus.

Aku telah sampai di tepi jurang, tripod dan kanvass sudah berada di tempatnya. Aku berdiri memandangi lautan yang terlihat tenang namun mematikan. Yang paling mematikan di dunia ini adalah, racun, api dan air. Itu yang aku tahu. Jangan berpikir jika aku akan mengatakan cinta adalah hal yang mematikan karena pada dasarnya orang bodoh yang mati karena cinta.

Kanvass mulai terisi dengan warna-warna lautan. Aku suka hal seperti ini. Tenang. Aku memang membutuhkan ketenangan. Tenang untuk beberapa saat sebelum aku kembali ke kenyataan yang mungkin bagi sebagian orang sulit diterima.

Alasan kenapa aku menjadi dosen seni rupa adalah karena aku suka melukis. Melihat keindahan, mengabadikannya dengan mata lalu menuangkannya pada secarik kanvass adalah hal yang menakjubkan bagiku. Dulu, aku sering menggambar. Pensil, kertas dan secangkir kopi yang sering menemani hariku. Entahlah, aku begitu menyukai menggambar.

Aku mencintai keindahan, oleh karena itu aku tidak pernah merusak keindahan. Ada hal-hal yang memang harus dijaga dan ada hal-hal yang tak perlu dijaga. Dan bagiku, keindahan harus selalu dijaga karena buruk akan terlihat jika ada keindahan.

Dua jam lebih aku habiskan dengan kegiatanku di pinggir jurang, lukisanku sudah selesai tapi aku masih belum ingin beranjak. Aku masih ingin tetap berada di tempat sunyi yang menurut rumor sering dijadikan tempat untuk bunuh diri. Ya memang benar, aku yakin orang pasti akan mati jika terjatuh dari sini.

"Sakit jiwa, apa yang mau dia lakukan?"Aku melihat ke arah wanita yang sepertinya hendak bunuh diri.

Aku tidak ingin ikut campur tapi aku tidak mungkin bisa membiarkan dia terjun bebas di depanku. Itu mengerikan. Akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya. Geez, ini benar-benar buruk, kenapa juga aku harus memiliki hati yang baik.

"Jangan melakukan hal bodoh."

Si wanita yang hendak bunuh diri menatapku terkejut. "Jangan ikut campur." Serunya sinis.

"Aku tidak ingin ikut campur tapi aku melihatmu. Kau bisa lakukan ini besok. Jangan hari ini. Aku tidak ingin merusak hariku dengan melihat kau mati. Aku bisa berenang untuk menolongmu tapi aku yakin aku akan mati karena kita tidak akan bisa naik ke atas."

"Pergi dari sini jadi kau tidak akan melihatku."

"Sayangnya aku masih ingin disini." Aku menjawab ucapannya dengan santai. Dari yang aku lihat, wanita ini pasti ingin bunuh diri karena cinta. Dia tidak terlihat kesulitan uang, pakaiannya juga indah dan bermerk. "Baiklah, aku tidak akan melarangmu bunuh diri tapi gantinya kau dengarkan ceritaku dulu." Aku tahu ini bukan saat bercerita tapi tidak masalah aku menceritakan perihal rumah tanggaku pada orang yang mau mati. "Aku tidak bisa menahannya sendirian, aku tidak sekuat itu."

Aku menatap lurus ke depan, memikirkan kembali tentang perselingkuhan Tristan. Cerita mengalir dari mulutku, kisah sedih seorang Kyara. Mungkin itu judul cerpen yang aku bacakan saat ini.

"Aku tidak tahu apakah ada orang yang bernasib sama denganku." Ceritaku selesai, si wanita diam. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Terimakasih karena sudah mendengar ceritaku. Aku pergi, lanjutkan apa yang ingin kau lakukan." Aku membalik tubuhku.

"Tunggu."

Aku kembali membalik tubuhku melihat ke arahnya, "Kau tidak sendirian, aku merasakan hal yang sama." Ah, jadi dia sama denganku.

"Dan hingga saat ini aku masih tetap hidup. Jangan bodoh melakukan hal sia-sia, mereka akan sangat senang jika kau bunuh diri. Kau diselingkuhi maka kau harus melakukan hal lain yang bisa membuatmu senang. Melakukan perselingkuhan juga, mungkin akan menyenangkanmu."

"Kau melakukan itu?"

Aku tersenyum padanya, "Bahkan saat ini suamiku sedang bersama dengan anak dan istrinya yang lain, tapi aku disini bersikap tenang. Aku memiliki banyak hal yang harus aku capai, bukan mati tujuan hidupku. Aku berselingkuh? Ya, aku melakukannya. Aku tidur dengan banyak pria. Itu sebenarnya aib, tapi karena kau merasakan hal yang sama maka aku memberitahumu. Bunuh diri itu dosa, berselingkuh juga dosa, bunuh diri tidak akan memberikan kesenangan untukmu tapi untuk mereka dan berselingkuh akan menyenangkanmu. Dosa mana kira-kira yang akan kau pilih?"

"Aku tidak semenarik itu untuk berselingkuh. Aku bahkan hidup dari uang suamiku."

Aku mendekatinya, "Kau cantik. Kau bisa bekerja dan mandiri. Ah, mari kita lakukan sesuatu tapi jika aku sudah membantumu jangan berpikir tentang bunuh diri lagi."

Dia menatapku lekat, "Aku tidak ingin membuat mereka senang."

"Ini baru benar, bunuh diri bukan penyelesaian. Tunjukan pada mereka bahwa kau bukan wanita yang lemah."

"Terimakasih karena sudah menyadarkan aku." Dia berterimakasih. "Zavannah," dia mengulurkan tangannya.

"Kyara." Aku menerim uluran tangannya. "Kau bawa mobil?"

Dia menggeleng, "Aku berjalan kaki kemari."

"Kau sangat berniat bunuh diri rupanya." "Ayo ikut aku." Aku mengajaknya ke mobilku.

"Masuklah, aku membereskan peralatanku dulu."

Dia menganggukan kepalanya lalu masuk ke dalam mobil.

"Kau pelukis?" Dia bertanya saat aku sudah duduk di kursi kemudi.

"Aku dosen seni rupa."

"Ah, dosen rupanya."

"Pasang sabuk pengamanmu."

"Ya," dia segera memasang sabuk pengamannya. Aku melajukan mobilku meninggalkan tepi jurang.

"Mau tahu tentang rumah tanggaku?"

"Aku bisa menjadi pendengar yang baik." Aku melihatnya sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.

Dia mulai bercerita,suaminya adalah seorang doktor. Mereka sudah menikah 7 tahun dan belum punya anak. Suaminya berselingkuh dengan asistennya sendiri. Mereka melakukannya secara terang-terangan tanpa memperdulikan Zavannah. Aku pikir suami Zava memang tidak lagi mencintai Zava. Entah kenapa cinta itu mudah datang dan mudah pergi.

Mobilku sampai di sebuah salon, sebelahnya adalah butik tempat aku biasa menghabiskan uang Tristan.

"Lucy, buat dia menjadi menarik." Aku berkata pada pria kemayu pemilik salon.

"Percayakan padaku, Kya."

"Zava, aku ke sebelah dulu."

"Euhm, ya."

Zava ditangani oleh Lucky dan aku berbelanja. Kali ini aku tidak memakai uang Tristan, aku akan mentraktir beberapa pakaian untuk Zava. Anggap saja itu adalah hadiah karena kami bernasib sama.

Satu jam kemudian aku kembali ke salon, aku tersenyum melihat Zava yang baru. Dia terlihat sangat cantik, well, dia memang sudah cantik sejak awal tapi dia hanya kurang polesan.

"Kenakan ini." Aku memberinya satu paper bag yang isinya salah satu gaun dariku. Dia memiliki tubuh yang indah jadi aku memberikannya mini dress yang akan menunjukan seberapa sexy dirinya.

Zava mengganti pakaiannya, dia kembali dengan sesuatu yang sudah aku perkirakan.

"Kau sangat cantik." Aku memujinya.

"Aku tidak percaya kalau ini adalah aku."

"Zava, pria berpaling karena kita membosankan. Jadi jangan menjadi membosankan lagi."

"Ya, Kya. Aku akan mendengarkan apa yang kau katakan."

"Baiklah, segera kembali ke mobil, aku akan urus pembayaran."

"Hm."

Usai membayar aku kembali ke mobil, masuk ke dalam sana dan kembali melajukan mobil, "Kau pernah bekerja?"

"Belum. Tapi aku lulusan sekolah sekertaris."

"Itu baik, aku akan mencarikan lowongan kerja untukmu, kau bisa mulai bekerja dan mandiri."

"Kau sangat baik, Kya."

Aku tersenyum kecil, "Aku seperti melihat diriku saat melihatmu. Aku tidak ingin kau terlihat menyedihkan."

"Benar, aku memang menyedihkan. Aku bodoh karena berpikir ingin bunuh diri."

"Sekarang aku yakin otakmu sudah waras, jadi kemana kau ingin aku antar?"

"Entahlah, tak ada yang bisa aku tuju. Rumah terasa bukan rumah lagi. Sudah 3 bulan suamiku tidak pulang."

"Aku antar kau pulang saja, malamnya aku jemput kau dan aku perkenalkan kau pada duniaku."

"Baiklah."

♥♥

Malam tiba, aku dan Zava sudah di club malam. Well, Zava terlihat nakal malam ini. Dia benar-benar cantik dan sexy. Aku memperhatikan orang-orang yang ada di club, mereka melihat Zava dengan tatapan ingin menyeret ke ranjang.

"Lakukan yang kau suka, bersenang-senanglah hari ini."

"Aku akan menikmati hidupku mulai saat ini."

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

"Mau kami temani?" Dua pria tampan berdarah latin datang. Zava melihat ke arahku. Aku menganggukan kepalaku.

"Tentu saja," Zava yang menjawab.

Baiklah, malam ini kami sudah dapatkan pasangan kami. Beberapa saat berbincang, Zava dan teman kencannya pergi. Tinggalah aku dengan pria tampan yang tersisa.

"Hotel atau tempatku?" Tanya pria itu.

"Hotel." Aku turun dari tempat dudukku.

Pria tanpa nama di sebelahku menggandeng pinggangku dan kami segera pergi.

"Ocean." Aku melihat ke pria yang juga menatapku.

"Pelac*r." Aku mendengar jelas dia mengatakan itu sebelum dia mengalihkan pandangannya.

Sudahlah, malam ini bukan waktunya aku dengan dia, aku tidak mungkin mengabaikan pria yang sudah mengajakku ke hotel. Besok aku pasti akan mendapatkannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel