7. Iya dan Tidak
7. Iya dan Tidak
"Kenapa dari tadi diam terus, Rei? Kaget dengan usia saya yang sudah setua itu ya?" Radith memecah lamunan Rena yang sedari tadi membuat suasana di dalam mobil hening. Rena mengerjab, mengembalikan fokus pikirannya pada kalimat pria di sampingnya itu.
"Nggak kok, Pak. Cuma saya agak heran saja. Saya kira Pak Radith berusia awal tiga puluhan," kekehan kecil terdengar dari pria di samping Rena.
"Kamu terlalu melebih-lebihkan. Oh ya, bagaimana skripsi kamu?" pria itu akhirnya merubah topik pembicaraannya.
"Masih baru mulai, Pak. Sepertinya saya tak akan bisa wisuda semester ini. Semoga saja semester depan saya sudah bisa wisuda. Setidaknya terlambat satu semester masih bisa dimaklumi oleh orang tua saya," Entah kenapa Rena tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya pada pria asing seperti Radith.
"Kamu pasti bisa. Yang penting kerjakan apa yang ada di hadapan kamu. Kejar ketertinggalanmu. Pasti semuanya akan selesai satu per satu."
"Sebenarnya saya yang salah. Saya sering mangkir dari jadwal kuliah. Bahkan saya pernah tidak mengikuti Ulangan Akhir Semester. Hal itu berdampak turunnya indeks prestasi saya. Dan akhirnya semester berikutnya saya tidak bisa mengambil mata kuliah dengan bobot SKS dalam jumlah banyak."
"Kenapa sampai tidak ikut Ulangan Akhir Semester, kamu sakit?" Rena menggeleng pelan.
"Masalah pribadi. Saya ketakutan pada seseorang dan akhirnya saya tidak berani berangkat ke kampus karena orang itu selalu menunggu di depan rumah kost saya. Dua hari saya tertinggal dan secara kebetulan saya tidak bisa menyusul ketertinggalan itu. Hal yang sangat remeh bagi orang lain. Tapi bagi saya itu adalah hal besar. Kita tidak bisa mencegah rasa takut kita pada seseorang kan? Sama halnya seseorang yang phobia terhadap sesuatu hal atau benda." Radith terlihat mengangguk. Setelah mendengarkan kalimat panjang Rena.
"Pasti laki-laki. Iya kan?" tebakan yang tepat. Rena mengangguk mengiyakan.
"Dia pasti menyukai kamu," kali ini Rena tak menjawab. Toh Radith juga sudah tahu.
"Tiap pria punya cara berbeda untuk mendapatkan hati orang yang disuka. Begitupun sebaliknya. Wanita juga mempunyai keinginan sendiri, mereka ingin diperlakukan seperti apa. Berarti bisa disimpulkan, apa yang dia lakukan tidak membuatmu menyukainya dan kamu juga tidak nyaman bahkan ketakutan dengan caranya untuk mendapatkan kamu. Apa benar seperti itu?" Rena seketika memandang lekat pria itu yang memandangnya sekilas kemudian kembali memperhatikan jalanan di depannya.
Apa yang Radith sampaikan tak ada yang meleset. Mungkin karena faktor usia. Jadi pria itu bisa paham hal yang sedang Rena alami.
"Mulailah belajar memilah permasalahan. Jangan sampai gara-gara masalah pribadi kuliah kamu tertinggal. Fokus pada tujuan kamu. Kamu ingin kuliah kamu cepat selesai kan? Itu yang harus kamu nomor satukan." Rena mendengarkan tanpa berucap. Perjalanan pulang kali ini terisi oleh kalimat-kalimat motivasi yang Radith berikan. Yah, ternyata cukup menyenangkan mendengarkan motivasi juga pesan dari seseorang yang sudah terbukti sukses menapaki masa depannya.
Hari sudah semakin sore bahkan nyaris gelap saat akhirnya Rena tiba di indekostnya. Sebelum mereka tiba di indekost Rena, Radith sempat membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan cepat saji yang ia lewati. Pria itu mengatakan hari sebentar lagi malam, dan Rena perlu mengisi perutnya kembali, nanti. Maka pria itu memesan beberapa potong ayam goreng untuk Rena nikmati nanti malam. Benar-benar luar biasa. Pria itu bahkan memikirkan kesehatan perut juga kesejahteraan dompet Rena.
"Dari mana, Ren?" Sebuah suara mengagetkan Rena begitu gadis itu membuka pintu pagar indekostnya. Mobil Radith sudah berlalu beberapa saat yang lalu.
"Kamu bikin kaget, Ton," Rena menepuk dadanya pelan begitu menyadari siapa pemilik suara yang membuat jantungnya nyaris copot itu.
"Siapa yang nganterin kamu barusan?" Tony kembali mencecar Rena dengan pertanyaan yang seketika membuat Rena memutar bola matanya. Kumat. Baru tadi pagi pemuda itu bersikap wajar namun kini setelah berselang beberapa jam, sifat mengerikannya kembali lagi.
"Teman," Ucap Rena pelan, berbalik kembali mencoba membuka pintu pagar. Namun tangan Tony sigap menahan.
"Lepas nggak tangan kamu!" Rena menaikkan nada suaranya. Moodnya yang sedari tadi cukup bagus kini lenyap seketika.
"Aku cuma nanya kamu keluar sama siapa tapi kamu kok jawabnya gitu?" Rena mendesah.
"Yang bikin masalah kan kamu, Ton. Aku sudah jawab pertanyaan kamu."
Tony seketika melepas tangannya di atas tangan Rena. Pemuda itu membiarkan Rena memasuki halaman indekost. Lebih baik ia berbicara di dalam dari pada di pinggir jalan seperti saat ini.
"Sejak kapan kamu berteman dengan orang yang nganterin kamu?" Rena menghentikan langkah yang membuat Tony juga ikut berhenti.
"Kenapa kamu mulai lagi sih, Ton? Bukannya tadi pagi kamu sudah berjanji akan bersikap sewajarnya. Aku tak mempunyai kewajiban untuk memberitahu kamu dengan siapa aku berteman atau berhubungan."
"Kamu harus bilang, Ren. Karena aku mencintai kamu."
"Tapi aku nggak!" Rena nyaris berteriak jika ia masih tak memikirkan sopan santun dan harga diri Tony di hadapan penghuni kost lain yang bisa saja mendengarkan perdebatan mereka. "Kamu tadi sudah berjanji kita hanya akan berteman. Aku sudah kasih kamu kesempatan itu. Tolong jangan membuat keadaan semakin sulit. Aku merasa terganggu dengan sikap kamu."
"Aku nggak bisa, Ren. Meskipun baru tadi pagi aku janji sama kamu tapi aku nggak bisa. Dari jam tiga tadi aku nungguin kamu. Aku sudah bertanya pada Pak Ujang. Katanya kamu keluar dari siang. Akhirnya aku nungguin kamu pulang. Tahu-tahu kamunya keluar sama orang," jawab Tony dengan wajah menahan marah. Rena mengembuskan napas berat. Sepertinya ia terlalu berharap banyak pada Tony. Pemuda itu tetap seperti biasa. Menguntitnya kemanapun ia pergi.
"Kamu pulang ya, Ton. Istirahat, sudah sore. Kamu pasti capek. Jangan kayak gini terus. Demi kebaikan kita semua. Dunia kamu tidak berjalan hanya dengan mengikutiku saja. Kamu punya teman juga keluarga. Kita cukup bertemu kalau memang kebetulan bertemu. Entah itu di kampus, di jalan, atau juga seperti sekarang. Tapi tentu saja tidak setiap waktu kamu ada di sini. Kita perlu mengerjakan aktivitas kita masing-masing." Rena mencoba menawar berusaha meruntuhkan kekeras kepalaan Tony.
"Aku bisa gila kalau kayak gini, Ren. Aku nggak bisa kalau nggak lihat kamu."
'Kamu memang sudah gila,' kalimat itu hanya tertelan dalam mulut Rena. Tak sampai hati mengeluarkannya.
"Maaf, Ton. Pulanglah."
"Beri aku kesempatan. Katakan apa yang kamu inginkan?"
"Tepati kata-kata kamu. Jangan mengejarku terus menerus. Kamu sudah menjanjikan itu tadi pagi. Kita hanya bisa sampai pada tahap berteman, Ton. Tidak lebih. Carilah seseorang yang memang benar-benar menyayangimu. Yang lebih baik dari aku. Masa depan kamu masih panjang. Jangan hanya melakukan hal-hal yang tidak berguna seperti saat ini. Pulanglah. Istirahatlah. Kamu pasti capek. Hati-hati di jalan." Rena mendorong pelan tubuh Tony.
"Baiklah. Aku akan pulang. Tapi aku akan kembali. Terima kasih karena sudah mau berbicara denganku." Rena mengangguk mengiyakan. Luar biasa sekali pemuda ini. Dia berterima kasih hanya karena Rena mau berbicara kepadanya. Yah, mungkin itu akibat seringnya Rena menghindar atau juga melarikan diri saat Tony menemuinya.
###
