Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Wah, Ternyata Bapak Sudah Setua Itu

6. Wah, Ternyata Bapak Sudah Setua Itu

"Sudah siap?" tanya Radith begitu gadis itu menghempaskan diri di jok mobil di sebelahnya. Rena hanya mengulas senyum kemudian mengangguk. Hal yang seketika ditanggapi Radith dengan berlalunya mobil yang ia kendarai dari jalanan di depan indekost Rena.

Obrolan hangat terus bergulir hingga tiga puluh menit perjalanan mereka. Namun Rena seketika mengeryit saat mobil yang ia naiki sudah bergerak menuju gerbang tol.

"Loh, Pak. Ini kan mau masuk gerbang tol. Emang kita mau kemana?" Rena memandang pria di sampingnya yang kebetulan siang itu mengenakan kemeja biru tua dengan lengan yang sudah terlipat setengah. Tangan kokohnya seketika tertangkap mata Rena. Dan mau tak mau membuat pipi Rena bersemu. Entah apa yang dipikirkan gadis itu.

"Tadi katanya mau makan siang kan? Biar nggak bosen kamu saya ajak keluar agak jauh sedikit," Radith menoleh sekilas demi bisa melihat ekspresi wajah gadis di sampingnya.

Gadis yang begitu luar biasa di mata Radith. Gadis yang mengingatkan akan masa-masa ia masih seumuran dengannya. Hidup tanpa beban dan begitu penuh warna juga semangat. Berbincang dengan Rena seolah ia merasa kembali muda. Kembali ke masa belasan tahun silam saat ia masih mulai mewujudkan mimpi-mimpinya.

"Makan siangnya di mana, kok sampai masuk tol?" Rena ingin melontarkan semua pertanyaannya namun ia tahan. Ia masih sungkan jika terlalu banyak berbicara pada pria yang baru dikenalnya itu. Pria itu sudah mengajaknya makan siang, terserah di mana pria itu mau mengajaknya bukan?

"Tenang, Rei. Saya tidak akan menculik kamu," Radith terkekeh. "masuk tolnya cuma sebentar kok. Tiga puluh menit lagi kita sampai. Lokasi yang akan kita tuju tepat di depan pintu tol tujuan kita. Yah kira-kira ditengah-tengah lah. Antara Surabaya – Malang. Semakin bagus kan kalau kita semakin lapar. Waktu tiga puluh menit sepertinya akan membuat kita lebih lapar," lanjut pria itu yang hanya dijawab Rena dengan dengan cicitan pelan.

Sisa perjalanan yang mereka lalui cukup menyenangkan. Rena selalu mampu membawa suasana terasa hidup bagi Radith. Begitu perjalanan mereka berakhir dan mobil berbelok keluar dari gerbang tol, mata Rena seketika terbuka lebar.

"Kita beneran mau ke sini, Pak?" Rena memandang jalanan di depannya. Setelah mobil yang dikendarai Radith keluar dari gerbang tol, pria itu mengarahkan mobilnya menuju kawasan hunian, resort wisata, dan pusat bisnis. Kawasan eksklusif ini sangat menarik, letaknya berada di kaki Gunung Arjuno. Tentu sudah terbayangkan bagaimana indahnya pemandangan dan sejuknya udara di sana.

"Memang kenapa, Rei? Kamu keberatan?" Radith perlahan menghentikan mobilnya. Ia khawatir gadis yang ia ajak merasa tidak nyaman dengan tempat yang akan ia pilih untuk makan siang.

"Tentu tidak. Maksud saya, saya tidak menyangka Pak Radith akan mengajak saya ke sini. Dari dulu saya cuma sekedar lewat saja, dan berharap suatu saat bisa berkunjung ke sini," Rena terkekeh sambil membawa jari telunjuk dan tengahnya ke depan wajah membenyuk huruf V. Radith menarik napas lega. Ia mengulas senyumnya makin lebar.

"Tapi kita tidak makan di sini, Rei. Masih di atas sana," tunjuk Radith pada jalanan di depannya. Rena mengeryit bingung.

"Oh, memang masih ada restoran di atas sana?"

"Tentu saja. Dan yang pasti pemandangan dari atas sana benar-benar memanjakan mata," Radith kembali menjalankan mobilnya melanjutkan perjalanan.

Beberapa menit kemudian setelah berkali-kali melewati jalanan menanjak dan berkelok, Mobil Radith memasuki area parkir resto & lounge yang mengusung konsep outdoor kekinian. Letak resto yang berada di dataran tinggi tentu membuat hawa disana terasa begitu sejuk.

Spot yang terpampang di depan mata juga sangat menarik sebagai tempat nongkrong ideal sembari menikmati hari libur menyenangkan. Rena benar-benar menikmati suguhan alam berupa keindahan area perbukitan hijau yang begitu memanjakan sejauh mata memandang.

Setelah memarkir mobilnya Radith segera membawa Rena mengikutinya memasuki resto. Pria itu memilih tempat duduk di sisi kolam di luar resto sehingga mereka bisa memanjakan mata melihat perbukitan hijau juga daerah perkotaan di bawah sana.

"Pak Radith sering ke sini?" Rena melontarkan pertanyaan setelah matanya berkeliling mengamati sudut-sudut resto. Radith benar-benar pandai memilih tempat untuk mereka makan.

"Yah, lumayan sering sih. Selain perut, mata juga dimanjakan dengan semua yang ada di sana," jawab Radith sambil mengedarkan pandangan pada perbukitan hijau di hadapannya.

"Pasti kalau malam hari pemandangannya jauh lebih indah lagi. Duh, pasti romantis banget kalau bisa makan malam di sini," Rena berucap riang membayangkan suasana pada malam harinya.

"Kalau kamu mau kita bisa ke sini lagi untuk makan malam," Rena membelalakkan mata.

"Eh, nggak usah repot-repot. Saya cuma bercanda kok, Pak."

"Serius pun saya tidak keberatan, Rei," jawab Radith berusaha mengusir kecanggungan Rena.

Hari sudah menjelang sore saat akhirnya mereka meninggalkan Resto. Rena sibuk dengan ponsel di tangannya. Foto-foto yang mereka ambil baik menggunakan ponselnya maupun ponsel Radith tadi benar-benar memanjakan mata. Tak hanya pemandangannya saja yang indah tapi dua sosok yang menjadi objek di dalamnya juga terlihat begitu sempurna. Sempurna menurut Rena.

Ya, sosok itu, Radith dan dirinya yang terlihat... Entahlah. Rena tak bisa mengatakannya. Bahkan ada beberapa foto yang terlihat istimewa dari pada lainnya. Rena bahkan bisa mengatakan foto itu lebih mirip foto pre wedding dari pada foto biasa. Foto yang diambil tanpa sengaja oleh pelayan resto saat mereka meminta bantuan untuk mengambil gambar mereka.

Radith dan Rena saat itu masih berdebat dengan pose apa yang akan mereka lakukan. Namun si pelayan ternyata lebih tanggap. Pria muda itu terus menerus membidikkan kamera ponsel Radith ke arah mereka. Mereka tak menyadari jika pemuda itu terus menerus mengabadikan moment perdebatan ringan mereka.

Dalam gambar itu tampak Rena yang mendongak menatap Radith dengan senyuman lebar. Sebelah tangannya menyentuh dada pria itu dan sebelah lagi tergantung di udara seakan hendak menyentuh wajah pria itu.

Di gambar itu Radith juga tampak tersenyum menunduk memandang Rena dengan mata berbinar bahagia dengan sebelah tangan menyentuh pinggang Rena. Sedangkan tangan lainnya terlihat merapikan helaian rambut Rena yang tertiup angin. Tak hanya itu banyak foto-foto lain yang terlihat..., mungkin Rena bisa mengatakan, intim, akibat jepretan pelayan resto itu.

Saat melihat foto-foto itu untuk pertama kali Rena sempat menganga. Ia tak mengingat jika ia dan Radith terlihat begitu dekat seperti yang terlihat dalam foto itu. Ia tak merasa telah melakukan pose seperti apa yang terlihat. Maka tanpa pikir panjang ia meminta semua foto-fotonya bersama Radith dikirimkan ke ponselnya.

"Terima kasih, Pak."

"Terima kasih untuk apa?" Radith yang berkonsentrasi pada jalanan di depannya sekilas menoleh.

"Untuk semuanya. Saya tidak tahu alasan Pak Radith kenapa mengajak saya makan siang di sana. Semuanya begitu menyenangkan."

"Karena saya menikmati kebersamaan bersama kamu. Kamu orang yang benar-benar menyenangkan. Saat bersama kamu saya merasa lebih hidup, lebih bersemangat dan tentu saja lebih muda," Radit menoleh dengan senyuman di bibirnya. Tentu saja Rena tak bisa untuk tak merona. Wajahnya memanas seketika.

Apa tadi pria itu bilang? Lebih hidup, lebih bersemangat, lebih muda saat bersamanya? Mau tak mau Rena merasa melambung akibat kata-kata sederhana pria itu. Dengan sedikit keberanian Rena membalas ucapan pria itu.

"Pak Radith ada-ada saja. Memang merasa lebih muda seperti apa? Pak Radith kan memang masih muda," saat melontarkan kalimat itu hampir saja Rena menggigit bibirnya. Pertanyaan yang bagi Rena lebih mirip sebuah rayuan.

"Yang pasti lebih muda dari usia saya, Rei. Semuda kamu saat ini," pria itu mengerling. Hei, bagaimana bisa pria itu terlihat jahil dengan apa yang baru saja ia lakukan. Menarik napas sebanyak-banyaknya. Rena memberanikan diri berucap. Ia tahu pertanyaan yang akan ia lontarkan terdengar tidak sopan. Tapi kepalang tanggung. Ia harus menuntaskan rasa penasarannya.

"Memangnya usia Pak Radith berapa sekarang?" hening cukup lama. Entah karena Radith tak mendengar kalimat Rena yang cukup pelan atau memang pria itu enggan memberikan jawaban.

"Bukannya kamu sudah pernah melihat kartu identitas saya saat menemukan dompet saya?" itu bukan jawaban. Rena mengeluh dalam hati. Namun ia juga membenarkan. Dulu saat ia menemukan dompet pria itu, ia memang melihat kartu identitasnya. Namun ia tak memperhatikan tanggal lahir yang tertera di sana.

"Saat itu saya tidak memperhatikan, Pak," jawab Rena jujur.

"Berapa usiamu, Rei. Dua puluh satu? Dua puluh dua?" pria itu malah bertanya balik membuat Rena kembali membuka mulut.

"Dua puluh satu, Pak. Beberapa bulan lagi dua puluh dua."

"Berarti usia kita terpaut tujuh belas tahun," jawab Radith tanpa menoleh. Lebih baik menurut Rena karena pria itu tak mungkin bisa melihat ekspresi terkejut Rena yang terlihat begitu jelas.

Bagaimana mungkin pria ini telah berusia setua itu? Rena mengira pria itu berada di awal tiga puluhan. Namun jika ditilik lebih jauh lagi. Pria-pria mapan dan matang memang kebanyakan berusia di pertengahan hingga akhir tiga puluhan.

Rena seketika menyadari. Pria mapan, tampan, dan matang adalah perpaduan sempurna bagi sebagian besar wanita. Termasuk dirinya. Apa pria ini sudah mempunyai belahan jiwanya? Namun jika dipikir lagi, jika pria ini sudah memiliki seseorang untuk menjadi sandaran hatinya tentu Rena tidak akan terjebak di sini di dalam mobil pria ini berdua setelah menikmati makan siang mereka yang begitu menyenangkan.

Tidak mungkin kan pria itu mengajaknya makan siang hingga sejauh ini, berbincang akrab, bahkan saling mengambil gambar mereka berdua jika pria ini memiliki seseorang yang pria itu cintai. Fix. Rena mempunyai kesimpulan. Pasti pria ini masih sendiri dan tak mempunyai seseorang yang mengisi hatinya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel