Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

Aku mengambil gawai dan mengusap layarnya. Kucari gambar yang tadi Ajeng kirimkan padaku dan kutunjukkan pada Mas Alka.

“Ini, Mas,” ucapku sambil menunjukkannya.

Kening Mas Alka berkerut. Diperhatikannya dengan saksama gambar pada layar gawai yang kutunjukkan.

“Ini foto Ajeng, Mbak Mirna sama Mbak Melda, ‘kan? Emangnya mereka kenapa?” tanyanya. Rupanya dia masih tidak sadar poin mana yang kumaksud.

“Iya, itu foto mereka, Mas. Cuma kok itu gelang yang Mbak Mirna pake mirip banget sama gelang yang kita beli untuk hadiah ulang tahun mama, ya?” tanyaku akhirnya.

Mas Alka malah terkekeh. Dia menatapku dengan menautkan dua alisnya.

“Dek, kamu kira di dunia ini hanya ada satu gelang yang berbentuk itu? Kita ‘kan belinya di toko emas biasa. Jadi, pastinya banyak barang yang serupa. Jangan dulu berburuk sangka,” ucap Mas Alka.

Aku menghela napas kasar. Baiklah aku tidak akan memaksakan pendapatku sebelum memastikan sendiri jika gelang itu benar yang kami beli untuk ibu mertuaku.

Beberapa pelanggan pecel datang mengalihkan perhatian kami, Mas Alka kini sibuk kembali melayani pembeli.

Aku duduk sambil memainkan gawai mengusir bosan. Menatap lelakiku yang tampak rupawan meski dengan penampilan bersahaja. Hidung bangir dan rambut ikalnya membuat wajahnya lebih mirip keturunan turki. Namun, kulitnya yang tidak putih menunjukkan kalau dia merupakan warga Indonesia asli.

Aku masih mengamatinya, lelaki yang ternyata berjodoh untuk hidup sesurga denganku itu. Terlalu lembut ternyata hatinya untuk sekadar menaruh prasangka. Namun, dalam hati kuyakin jika semua yang kupikirkan itu benar adanya. Mbak Mirna sudah mengambil gelang pemberian kami untuk mama.

Tidak lagi banyak berdebat. Aku membantunya berjualan hingga masuk waktu isya. Setelah Mas Alka selesai melaksanakan salat, aku bergegas pulang. Bukan apa-apa, Mas Alka pasti berjualan hingga larut menunggu anak-anak pabrikan keluar masuk sift dua dan shift tiga. Biasanya ada saja yang mampir membeli makan.

Beberapa hari berlalu. Mas Alka rupanya masih teringat dengan ucapan Mbak Mirna hari itu di parkiran. Dia sama sekali tidak datang memenuhi permintaan Mas Hamish untuk membantu mengecat rumahnya. Sekali lagi, aku tidak akan bisa membujuknya kecuali dia berubah pikiran. Namun, tanpa kukira, kakak iparku itu sepertinya mengadu.

Menjelang siang, ketika aku sedang menyiangi sayuran untuk membuat lalapan pelengkap untuk pecel ayam. Kulihat sebuah sepeda motor mendekat. Mas Alka sedang mengungkep ayam di dapur kecil kami yang hanya memiliki ukuran dua kali satu meter, di samping kamar mandi persis. Maklum kami itu mengontrak bangunan petakan, bukan rumah. Agar biaya yang dikeluarkan bisa dibawah satu juta per bulan.

“Alka ... Alka.”

Ternyata wanita yang baru saja melepas helm dan turun dari sepeda motor itu ibu mertuaku. Tanpa salam dan tanpa basa-basi dia berteriak. Aku menoleh dan mengulas senyum menyambutnya.

“Asalamualaikum, Ma. Gimana kabarnya, sehat?” Aku berdiri dan menghampirinya yang masih mematung di depan pintu.

“Kamu nyindir mama, ya, karena gak ngucap salam. Sok alim banget kamu, Din,” celetuknya tanpa kukira.

Aku tersentak kaget. Tidak ada maksud sedikit pun terlintas berbuat seperti itu.

“Ya Allah, gak ada maksud seperti itu sama sekali, Ma. Mari masuk, Ma.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah paham. Lalu menggeser tubuh memberikan jalan untuk masuk dan duduk di ruang depan.

Dia hanya mematung. Dipandangnya dengan tatapan nyinyir, ruangan yang sebagiannya kupakai untuk menyiangi sayuran. Ada daun kemangi yang menumpuk, cabai dan bekas petikan batangnya, bawang merah juga baru selesai kukupas. Mentimun masih dalam plastik, setelah pulang dari pasar tadi belum sempat kucuci.

“Kamu nyuruh mama duduk di mana? Tempatnya sempit dan kotor seperti itu?” Dia malah kembali berbicara sinis.

Aku menghela napas, salah apa aku padanya.

Mas Alka kedengarannya lagi di kamar mandi. Sambil mengungkep ayam dia mandi sepertinya. Sepulang dari pasar tadi cukup gerah dan tidak nyaman memang.

Tidak lama, dia keluar dengan handuk menggelayut di lehernya.

“Eh, aku kira siapa? Mama tumben mau mampir ke tempat tinggalku, Ma?” sapa Mas Alka. Dia berjalan dan mencium punggung tangan ibu mertuaku.

“Emang kamu pikir siapa, Ka?” ucapnya sambil menerima uluran tangan Mas Alka. Lelakiku itu berjalan keluar dan menggantung handuk di jemuran.

“Ya gak biasa aja mama ke sini,” celoteh suamiku sambil kembali masuk.

Dia langsung menggeser tumpukan sayur ke tepi. Kemudian bergegas mempersilakan ibunya untuk ke dalam.

Wanita itu melangkah juga. Dia melirik sinis sekilas ke arahku.

Salah apa aku, Bu? Kenapa tampaknya sebegitu tidak sukanya kamu padaku?

“Dek, buatin minum untuk mama, ya?” titahnya.

Aku yang masih berdiri mengangguk dan langsung berjalan ke dapur. Mengaduk ungkep ayam Dan mematikan kompornya, tampaknya sudah matang. Kemudian menuang air panas pada teh manis yang kebetulan masih ada stok.

“Ka, mama kasih tahu, ya. Sesama saudara itu harusnya saling membantu. Apalagi kondisi kamu serba kekurangan kayak gini. Jangan egois, Ka.” Kudengar ibu mertuaku memulai pembicaraan.

Aku berjalan kembali ke ruang depan. Kusimpan teh manis hangat itu di depan wanita yang duduk menyandar. Ada setoples biskuit untuk menemani minumnya.

“Ma, silakan diminum, ya. Maaf, seadanya.” Aku membungkuk hormat dan menghidangkan sajian sederhana itu.

“Maksud Mama apa, sih?” Mas Alka mengerutkan dahi.

Aku beringsut duduk ke tepi pintu. Sambil menyimak obrolan mereka, tanganku kembali melanjutkan menyiangi sayuran kembali.

“Kata Hamish, dia minta bantuan kamu cuma buat ngecat rumahnya saja kamu gak mau datang. Mau jadi apa kamu, Ka? Kalau sama saudara sendiri sudah gak mau saling bantu, kamu mau hidup dengan siapa?” ujarnya sambil melirik kesal ke arah suamiku.

“Bukan gitu, Ma. Maksudnya, aku benar-benar gak sempat,” bela Mas Alka. Tampaknya dia enggan bercerita yang sebenarnya perihal kata-kata kasar Mbak Mirna di parkiran tempo hari.

“Ka, dengerin mama. Hidup kamu itu serba susah. Harusnya bisa menitipkan diri pada kakak-kakak kamu yang hidupnya sudah mapan. Jadi, setidaknya kalau kamu butuh uang, butuh pinjaman, mereka kasihan dan mau membantu kalian. Lagian cuma bantuin ngecat apa sih, susahnya? Kerjaannya juga gak berat. Kata Hamish nanti juga dia mau kasih kamu uang,” ujarnya kembali panjang lebar.

Kulihat Mas Alka menarik napas. Mungkin sedang menetralkan perasaan sebentar.

“Jadi, mama maunya aku gimana?” Mas Alka menatap wanita itu. Sepertinya dia enggan memperpanjang perdebatan.

“Besok kamu datang ke rumah kakak kamu itu. Bantuin dia. Siapa tahu nanti kamu dikasih uang lebih bisa buat beli beras buat makan.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel