Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

“Ini, Mbak?” tanyanya. Aku mengangguk. Tampak Ajeng berfoto dengan Mbak Mirna dan Mbak Melda. Namun, bukan itu masalahku sekarang. Fokusku adalah pada gelang yang melingkar di tangan Mbak Mirna. Gelang emas itu sama persis dengan yang kami belikan untuk hadiah ulang tahun ibu.

“Jeng, boleh kirim foto itu ke nomor mbak?” tanyaku. Kedua alis gadis itu saling bertaut.

“Kenapa sih, Mbak?” tanyanya.

“Suka aja lihat ekspresi kamu, cantik,” kilahku agar dia tidak curiga.

“Masa sih? Kayak biasa saja?” Dia tampak tidak puas dengan jawabanku. Namun, jemarinya dengan lincah menggulir layar dan mengirim foto itu pada Whatsapp-ku.

Aku melirik pada Mas Alka yang baru saja menyelesaikan makannya. Begitu pun dengan Gibran. Mereka tampak mencuci tangan dan mengeringkannya dengan tisu.

Ajeng membantuku membereskan bekas makan. Sebagai adik ipar dia cukup luwes dan mudah akrab, bahkan dia tidak segan mencuci piring bekas kami makan.

Setelahnya kami kembali duduk berkumpul di ruang depan.

“Maaf ya, Gibran. Ruangannya sempit. Maklum Cuma kontrakan petakan,” ucapku berbasa-basi.

“Gak apa-apa, Mbak,” selorohnya.

“Makasih makanannya, enak banget … sambalnya mantap,” ucapnya tampak tulus memuji.

“Alhamdulilah kalau suka,” ucapku.

“Jeng, nanti belajar bikin sambel sama mbakmu kalau Gibran suka sambel kayak gitu,” ujar Mas Alka yang sudah sibuk menyiapkan gerobak pecelnya.

“Iya entar aja kalau udah nikah, lagian masih beberapa bulan lagi,” jawab adik iparku.

“Iya, makanya belajarnya dari sekarang,” ucap Mas Alka sambil sibuk wara-wiri menyimpan bahan yang sudah siap ke dalam gerobaknya.

“Iya,” jawab Ajeng sekenanya.

“Iya kamu mau punya calon cuami pemilik restaurant harus pinter masak, lho. Biar suami kangen masakan rumah,” ucapku menggoda Ajeng. Gadis itu malah menyeringai usil.

“Justru aku gak usah masak nanti, Mbak. Suruh Mas Gibran bawa aja setiap hari dari restoran,” ucapnya sambil tertawa.

“Hush, jangan gitu. Tugas istri itu harus melayani suami. Membuatnya selalu merasa nyaman dan merasa mendapat perhatian. Tuh, kayak mbakmu kurang lebih,” ujar Mas Alka dari ambang pintu kontrakan.

“Acie cie cieee … co cweet.” Ajeng malah menggodaku yang kuhadiahi sebuah cubitan kecil di pinggangnya. Sementara Gibran kulihat hanya senyum-senyum saja.

Tiba-tiba aku teringat pada isi kado milik kami yang aku tak pasti apakah sudah diterima oleh ibu mertuaku atau belum? Aku melirik ke arah Ajeng.

“Jeng, tadi siang kan kotak kado Mbak belum sempat dibuka mama, ya? Apa terus disimpan ke dalam?” tanyaku memancing. Mencoba mengorek informasi.

Ajeng mengerutkan dahi. Dia berpikir beberapa lama.

“Rasanya tadi sama mama suruh Mbak Mirna simpan ke dalam, barengan sama kado yang lainnya,” jawab Ajeng membuat perasaan tidak enak semakin menyeruak. Semoga pradugaku tidak benar. Semoga gelang yang dipakai Mbak Mirna bukan gelang yang susah payah kami belikan untuk mama.

“Emang kenapa, Mbak?” Ajeng balik bertanya.

“Kirain sudah dibuka, cuma mau tahu aja mama suka atau enggak?” kilahku lagi. Tidak serta merta mengumbar kecurigaanku, takut jadi fitnah.

“Oh, belum dibuka sih tadi waktu Mbak Mirna bawa ke dalam, sih. Masih dikunci itu,” ucap Ajeng ringan. Aku menarik napas kasar. Kulirik Mas Alka yang sudah siap hendak berangkat. Sepertinya lebih baik membicarakan dengannya sepulang jualan.

“Mas mau berangkat jualan dulu, Jeng. Kalian di sini santai-santai saja, ya. Soalnya takut jam makan sore kelewat, entar gak ada yang beli,” ucap Mas Alka sambil bersiap mendorong gerobak pecelnya.

“Yoyoi, Mas,” ucap Ajeng sambil membulatkan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.

Sepeninggalnya Mas Alka, kami mengobrol ringan. Membahas hal-hal sederhana dan sesekali bertanya tentang bisnis restoran yang dikelola keluarga Gibran. Dalam hati kecilku berdoa, semoga suatu saat nanti Mas Alka tidak hanya berjualan pecel ayam, tapi juga bisa memiliki bisnis kuliner besar.

Sepertinya keluarga Gibran bukan orang yang sok kaya. Terbukti dari tutur katanya yang santun dan membaur. Aku cukup merasa beruntung di antara ketiga iparku yang selalu mengelu-elukan harta masih ada orang seperti Ajeng dan Gibran yang dengan tulus menganggap kami saudara.

Menjelang magrib, Ajeng dan Gibran berpamitan pulang. Aku sendirian. Segera membersihkan diri dan menunaikan kewajiban. Menghadap kepada sang pencipta dan menyerahkan segalanya. Biarkan Allah yang memberikan keputusan atas rencana hidup yang sudah kami rancang. Karena tidak ada sebaik-baik perencanaan melainkan sesuai kehendak-Nya.

Setelah membaca beberapa ayat suci yang bagiku adalah candu. Ibarat air setelah makan, begitulah ayat-ayat itu meski sedikit tetap harus kulantunkan setiap selesai salat. Gegas kumenyusul Mas Alka yang berjualan di depan minimarket. Aku harus menggantikannya sebentar agar Mas Alka bisa menunaikan ibadah juga.

Setibanya di sana, pelanggan cukup ramai. Alhamdulilah. Semoga ada keuntungan dari jualan hari ini.

“Mas, biar aku saja yang layani pembeli. Salat dulu, gih,” titahku sambil berdiri menjejerinya. Mas Alka masih sibuk membungkus beberapa nasi.

“Tapi ini lagi rame banget, kamu gak apa-apa sendirian?” tanyanya menoleh sekilas.

“Ingat, Mas. Allah yang menggerakan hati orang-orang itu untuk membeli dagangan kita. Masa iya, kamu lebih mementingkan apa yang dikirimnya daripada pengirimnya?” sindirku halus. Tampak Mas Alka mengulas senyum.

“Aku hanya khawatir kamu keteteran, nanti pembeli kecewa,” ucapnya sambil mencuci tangan.

“Jangan menakutkan kekecewaan makhluk, Mas. Yang kita meski takutkan bagaimana jika Allah yang kecewa,” ucapku kembali mengingatkannya.

Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Membuat rona wajah ini memerah. Bagaimana tidak, beberapa pelanggan tersenyum-senyum melihat tingkah kami.

“Mas pergi salat dulu, ya, Dek,” ucapnya sambil berlalu. Membiarkan aku menunduk karena menahan malu.

“Cieee … mesra banget sih, Mbak. Kalian seolah memiliki dunia ini berdua, kami yang jomlo ngontrak,” celoteh dua orang remaja yang sedang mengantri pesanan juga.

“Duh, jadi malu. Maaf, ya,” ucapku merasa tidak enak.

“Gak apa-apa kok, Mbak. Justru kami jadi terinspirasi dari kalian. Kalimat-kalimat Mbak yang tadi keren banget, pantas dihadiahi sun dari si masnya,” celotehnya lagi. Aku hanya terkekeh mencoba mencairkan rasa malu yang tak tanggung-tanggung.

Akhirnya, semua pembeli selesai kulayani. Suasana sudah agak sepi ketika Mas Alka kembali. Aku duduk pada kursi plastik dan membiarkan Mas Alka menyelesaikan pesanan pelanggan yang terakhir dari antrian tadi.

“Mas, aku mau membicarakan sesuatu,” ucapku membuka percakapan ketika suamiku sudah mencuci tangan.

“Apa, Dek?” tanyanya.

“Soal gelang yang kita hadiahkan untuk mama,” ucapku.

“Kenapa, Dek. Dengan gelangnya?” tanyanya sambil menatap lekat ke arahku.

Aku mengambil gawai dan mengusap layarnya. Kucari gambar yang tadi Ajeng kirimkan padaku dan kutunjukkan pada Mas Alka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel