Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumusalam. Asih, kok, baru pulang?" tanya Ibu heran.

"Dia tadi nungguin aku pulang, Bu. Katanya pengen pulang bareng," jawabku santai, karena aku tahu jika Asih berkata sejujurnya, Ibu pasti akan marah.

"Lain kali jangan gitu, Asih. Kalau udah waktunya pulang, ya, pulang! Bantuin Ibu urus adik-adikmu!" timpalnya.

Asih hanya mengangguk, kemudian masuk kamar dan berganti pakaian. Sebenarnya tidak tega melihat ia terus-menerus dikasari Ibu, tapi mau bagaimana lagi?

"Bu, aku lapar!" rengek Asih.

"Nggak ada makanan! Bapak belum pulang, Ibu nggak punya uang. Minum air putih saja!" jawabnya sedikit keras.

"Tapi, masih ada nasi nggak, Bu?" tanyaku.

"Nggak tahu!"

Kubuka penanak nasi, ternyata masih ada sedikit nasi yang cukup untuk makan.

"Kamu mau?" tanyaku pada Asih.

Dia mengangguk. "Pakai garam saja mau?"

"Iya, Bang, mau."

Kuambil nasi tadi serta kutaburi sedikit garam agar tidak hambar saat dimakan nanti.

"Makanlah!"

"Abang nggak makan?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Abang nggak lapar. Ayo habiskan!"

"Miskin terus! Kapan jadi kaya!" ucap Ibu yang sampai gendang telingaku. Aku segeri menghampiri Ibu.

"Ada apa, Bu?" tanyaku.

"Kamu pake nanya lagi! Kamu nggak sadar kalau kita miskin?!" ucapnya.

Aku tertunduk lesu, karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.

"Kalau Ibu tahu, Ibu nggak akan mau nikah sama bapakmu yang cuma minta jatah, tapi duit nggak pernah ngasih banyak!" tambahnya.

Aku menghela napas. "Ya udah, Bu. Aku pergi aja cari kerja."

"Bocah kayak kamu mau kerja apa? Siapa yang mau nerima kamu?"

"Di warung bakso Pak Sarno biasanya butuh tukang cuci piring, Bu. Nanti aku ke sana, siapa tahu emang butuh. Kan, lumayan," jawabku.

"Ya udah, sana pergi!"

Kemudian aku berbalik badan, tetapi lagi-lagi Asih berteriak memanggilku.

"Bang, ikut!"

"Ngapain, sih, Asih! Di rumah aja, biar abangmu pergi!" sahut Ibu.

"Udah, kamu di rumah aja. Abang cuma sebentar, kok," jawabku santai. Asih pun mengangguk lesu.

***

"Assalamu'alaikum, Pak!" Akhirnya aku sampai di warung bakso milik Pak Sarno.

"Eh, Adrian. Mau beli bakso?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak, Pak."

Alisnya mengernyerit. "Lalu, mau apa ke sini?"

"Emm, anu, Pak. Bapak butuh tukang cuci piring nggak?" tanyaku sedikit gugup.

"Aduh Adrian, jadi gini ...." Pak Sarno tampak berusaha menyusun kata-kata. "Jadi gini, Adrian. Mbak Sukma, keponakan Bapak lagi di sini. Lagi bantu-bantu Bapak," ucapnya pelan.

"Oh gitu, ya, Pak. Ya sudah, aku pulang saja," timpalku dengan agak sedikit kecewa.

"Eh, tapi sebentar Adrian, Bapak bungkusin satu porsi bakso, ya. Tunggu sebentar! Duduk dulu," ucap Pak Sarno.

"Nggak usah, Pak. Aku langsung pulang saja," ucapku walaupun dalam hati sangat menginginkan pemberian dari Pak Sarno.

"Jangan! Duduk dulu sebentar. Cuma satu porsi aja, ya, nggak pa-pa. Bapak nggak bakal rugi."

Akhirnya aku duduk menunggu Pak Sarno membungkus satu porsi bakso yang akan diberikannya kepadaku.

"Ini, bawa hati-hati, ya! Maafkan Bapak cuma bisa ngasih satu porsi," ungkapnya sedikit tersenyum padaku.

"Aku yang minta maaf, Pak. Andai aku punya uang mungkin lebih baik aku bayarkan saja," ucapku.

Namun, Pak Sarno hanya menggeleng. "Pulanglah! Makan baksonya dengan adik-adikmu."

Aku hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkan warung bakso miliknya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku melangkah pelan menuju ruang tengah, terlihat Ibu sedang menimang Zaki, adikku yang paling kecil.

"Kamu nggak jadi kerja di tempat Pak Sarno?" tanya Ibu.

Aku hanya menggeleng.

"Itu apa?" tanyanya.

"Bakso," jawabku singkat.

"Wah, sini, sini." Ibu kemudian membaringkan Zaki yang tadinya ia timang.

"Baik juga Pak Sarno, baru kali ini dia ngasih bakso gratis. Ini gratis, kan?" tanya Ibu.

Aku hanya mengangguk keheranan melihat tingkah Ibu.

"Raya, sini. Ayo makan dulu!" teriak Ibu.

"Asih nggak dipanggil, Bu?" tanyaku.

"Ah, nggak usah. Dia, kan, tadi udah makan pake nasi sisa, kan?"

Kemudian datanglah kedua adikku, Raya dan Asih.

"Lho, kan, Ibu cuma panggil Raya. Kenapa kamu ikut datang?" tanya Ibu.

Aneh memang, aku saja merasa ia sangat pilih kasih dengan semua anaknya.

"Memangnya kenapa, Bu?" tanya Asih dengan polosnya.

"Ini ada bakso, kita mau makan, tapi kamu nggak dapet jatah," ucap Ibu kepada Asih.

"Bu, jangan pilih kasih gitu!" Aku memotong ucapannya.

"Adrian, denger, ya! Ini bukan pilih kasih, Ibu sayang, kok, sama kalian. Tapi, kan, Asih tadi udah makan, jadi dia nggak dapet jatah bakso ini. Nanti jadi rakus," ucapnya sedikit menjengkelkan menurutku.

"Sedikit saja, Bu, memangnya nggak boleh?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Nggak ada jatah buat Asih."

"Sini, Dek. Nanti makan sama Abang aja, ya," bisikku. Aku tak tega jika dia hanya melihat kami makan bakso, sedangkan ia tidak.

"Nanti kita makan di kamar. Biarkan Ibu, Raya, sama Zaki di sini," bisikku lagi, lalu dia mengangguk.

"Ini Adrian, buat kamu." Ibu membagi bakso tadi kepadaku.

"Makasih, Bu, aku makan di kamar saja boleh nggak?"

"Ya udah, sana," timpalnya.

"Ayo makan!" ucapku kepada Asih.

Namun, dia hanya menggeleng, lalu menangis kemudian memelukku.

"Kenapa Asih? Ada apa?"

"Kenapa kita miskin, Bang?" tanya Asih padaku, yang membuatku semakin lemah.

"Kita nggak miskin, kok," jawabku sedikit tersenyum.

"Kalau nggak miskin, kita nggak kekurangan apa pun, Bang. Makan saja kita susah," ucapnya dengan air mata yang terus mengalir.

"Yang bilang miskin siapa?"

"Teman-temanku, Bang. Mereka bilang Asih dari keluarga miskin mereka semua menganggap Asih seperti tidak ada."

Jantungku serasa diremas kuat. Anak sekecil dia ternyata merasakan apa yang aku rasakan juga.

"Mereka, kan, hanya bercanda, Asih."

Dia menggeleng. "Nggak Bang, hampir tiap temanku bicara seperti itu."

"Percaya pada Abang, mereka hanya bercanda saja. Kalau ada yang bilang Asih dari keluarga miskin lagi Asih jangan dengarkan, ya. Nanti nggak sedih lagi," ucapku sedikit gugup dengan air mataku yang dengan terpaksaku bendung.

"Ayo makan baksonya, Abang udah kenyang, nih," ucapku walaupun itu hanya kebohongan belaka.

"Kenyang dari mana, Bang? Kan, Abang belum makan baksonya," ucapnya polos.

"Oh iya, kah? Kirain udah dimakan. Ayo Asih, jangan sedih gitu," tambahku.

"Hei, udah makan belum? Masa makan segitu lama banget!" Tiba-tiba Ibu datang membuka kamarku.

"Belum, Bu," jawabku.

"Dari tadi ngapain, sih?! Makan segitu aja nggak bisa," tambahnya lagi.

"Iya, ini mau dimakan, Bu."

"Ya udah, nanti kalau udah beres ... Asih, dengerin! Nanti kalau udah beres makannya, piringnya langsung dicuci bersih, ya!"

Kami berdua hanya mengangguk.

"Ibu mau pergi ke rumah Bu Puji," tambahnya.

"Ibu Puji siapa, Bu?" tanyaku.

"Itu janda kayak raya yang baru pindahan, Ibu mau ke sana, siapa tahu banyak makanan, kan, bisa Ibu bawa pulang."

"Ya udah, Ibu langsung pergi, ya. Zaki Ibu bawa aja, nanti kalau Bapak pulang bilang aja, Ibu lagi main ke rumah Bu Puji gitu," tambahnya.

Aku hanya mengangguk, kemudian ia pergi meninggalkan kami berdua.

***

"Aku aja, Bang, yang nyuci piringnya," Asih mencoba merebut piring yang sedangku cuci.

"Nggak usah. Kamu main sama Raya aja," ucapku.

Tak lama tedengar bunyi langkah yang mendekat.

"Ibu mana?!"

Suara lantang Bapak mengagetkanku dengan Asih.

"Bapak pulang? Ibu lagi pergi Pak," jawabku.

"Pergi ke mana?"

"Ke rumah Bu Puji, janda kaya raya katanya, Pak," sahut dari Asih.

"Nih!" Bapak menaruh uang lembaran merah di atas meja.

"Uang dari mana, Pak?" tanyaku.

Kemudian dia duduk santai sembari memainkan ponselnya.

"Jangan banyak tanya, Adrian. Nih, uang buat kamu, katanya mau bayar buku." Bapak memberiku satu lembar uang berwarna biru ini.

"Tapi sisanya buat uang saku kamu, ya. Jadi, besok nggak perlu minta ke Bapak lagi. Kalau cukup buat adikmu, kasih saja," ucapnya.

Bagaimana Bapak dapat uang sebanyak ini? Dilihat dari raut wajahnya tak ada rasa lelah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel