Bab 4 Lahan lain
Keesokan harinya, semangat Bima membara. Dia tiba di rumah Juminten pukul tujuh pagi dengan membawa setumpuk peta untuk mencari lahan lain yang cocok, drone baru pengganti yang masih tersangkut di pohon, dan sebuah alat pengukur tanah yang terlihat sangat canggih sehingga bisa mengukur tingkat kebahagiaan cacing tanah.
Juminten, yang sudah siap dengan pakaian kerja sederhana, terkesima. "Itu semua untuk apa, Mas?"
"Ini untuk menemukan lahan yang sempurna, Bu!" seru Bima bersemangat. "Kita akan menganalisis topografi, komposisi tanah, paparan sinar matahari..."
Dia terhenti karena melihat Juminten sudah mengambil sebatang kayu dan menancapkannya di tanah. "Kalau buat nanem kencur, lihat aja tanahnya gembur apa enggak. Kalau kaki gak tenggelam, berarti bagus." Dia tersenyum. "Itu cara nenek saya."
Bima tercengang. "Tapi... data..."
"Data saya di sini," ucap Juminten, menunjuk hidungnya. "Sama di sini." Dia menunjuk jarinya yang sudah penuh dengan bekas kunyit.
Tepat saat itu, sebuah motor moge (motor gede) yang dikendarai dengan sangat tidak mulus menderu mendekat. Pengendaranya, Pak Kades, mengenakan outfit safari lengkap dengan topi koboi, meski yang ada hanya tambak ikan dan sawah. Dia juga membawa sebuah peta kertas yang sudah sangat tua dan compang-camping.
"Selamat pagi!" seru Pak Kades dengan gagah, turun dari motor dan nyaris terjatuh karena kakinya kesemsem di knalpot. "Saya, sebagai penanggung jawab, sudah menyiapkan lahan yang strategis!"
Dia membentangkan peta itu. Itu adalah peta Sriwedari dari tahun 1975. Ada beberapa daerah yang bertuliskan 'DI SINI ADA HANTU' dan 'TANAH JAWA' dengan spidol.
"Lihat!" kata Pak Kades, menunjuk sebuah area. "Ini lokasi terbaik! Dekat dengan rumah saya... ehm, maksudnya, dekat dengan pusat pemerintahan! Untuk keamanan!"
Bima melihat peta itu dengan skeptis. "Tapi, Pak, menurut data satelit saya, daerah itu adalah rawa-rawa."
"Salah! Itu bukan rawa, itu... tanah basah yang strategis!" bantah Pak Kades. "Dan lihat, di sini ada catatan: 'tanah subur'. Ditulis oleh ahli tanah ternama!"
"Siapa, Pak?" tanya Juminten penasaran.
"Mbah Sri, dukun bayi!" jawab Pak Kades bangga.
Bima menghela napas. "Bagaimana kalau kita survei langsung ke lokasi yang saya dan Ibu Juminten pilih kemarin?"
"Tidak!" bantah Pak Kades. "Kita harus ke tempat pilihan saya dulu! Itu hak prerogatif saya sebagai Kades!" Dia tidak mau kalah. Dia sudah berlatih pidato penyambutan di depan lahan pilihannya semalam.
Akhirnya, mereka berangkat. Pak Kades memimpin dengan motornya, berjalan pelan sambil sesekali melihat ke belakang memastikan Bima dan Juminten mengikuti. Bima mengendarai mobil SUV-nya yang mewah dengan sangat hati-hati di jalan berbatu, sementara Juminten duduk di sampingnya, memandu dengan tenang.
"Belok kiri di pohon beringin yang setengah mati itu, Mas," kata Juminten.
"Pohon beringin yang mana, Bu? Sepertinya semua di sini setengah mati."
"Yang ada sarang burung manyarnya tapi burungnya sudah pada pindah karena kesepian."
Bima hanya bisa mengernyit.
Mereka tiba di 'lahan strategis' pilihan Pak Kades. Pemandangannya... menyedihkan. Itu adalah sepetak rawa-rawa yang dipenuhi eceng gondok dan seekor kerbau yang terlihat depresi sedang meringkuk di lumpur.
"Lihat!" seru Pak Kades, mengacungkan tangan. "Subur! Air melimpah! Kerbau saja betah!"
Bima mengeluarkan alat pengukur tanahnya dan menancapkannya. Alat itu langsung berbunyi bip bip panik dan layarnya menampilkan pesan: PERINGATAN: TANAH BERBAHAYA. KANDUNGAN LUMPUR 90%. KEMUNGKINAN BESAR UNTUK TENGGELAM.
"Seperti yang saya duga, Pak," kata Bima. "Ini rawa."
"Sensor kamu salah!" gerutu Pak Kades. Dia mencoba melangkah ke atas lahan itu untuk membuktikan. PLOMP! Kakinya langsung tenggelam sampai lutut. Dia berusaha menariknya, tapi sepatu boots barunya tertinggal di dalam lumpur.
"Lihat!" seru Bima. "Bahkan sepatunya tertinggal!"
"Itu... itu karena tanahnya terlalu subur! Bisa menyedot segala sesuatu!" bantah Pak Kades, berjingkat dengan satu kaki.
Juminten, yang tidak tahan, akhirnya berkata, "Pak Kades, bagaimana kalau kita lihat lokasi yang saya usulkan?"
Dengan malu-malu dan satu kaki tanpa sepatu, Pak Kades akhirnya setuju.
Lokasi pilihan Juminten adalah sebuah lereng landai yang mendapat sinar matahari penuh. Tanahnya terlihat gembur dan sudah ada beberapa pohon jeruk nipis tumbuh di sana.
"Bagus!" kata Bima, setelah alat ukurnya menunjukkan semua tanda hijau. "Sempurna!"
Pak Kades, yang masih kesal, mencoba mencari-cari kesalahan. "Tapi... tapi di sini terlalu banyak batu!" Dia menunjuk sebuah batu kecil. "Dan lihat! Ada sarang semut! Itu bahaya!"
Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang meliuk-liuk di antara semak. Ular! pikirnya. Ini kesempatannya untuk menjadi pahlawan! Dia akan melindungi Juminten dari bahaya dan membuat Bima takut!
"JUMINTEN! BAHAYA!" teriaknya, lalu melompat ke depan, mengambil tongkat hikingnya dan memukul liukan itu dengan sekuat tenaga.
THWACK!
Tapi yang dipukul bukan ular. Itu adalah selang air tetangga yang sedang disiramkan ke kebun. Air menyembur deras dari selang yang putus, membasahi Pak Kades dari kepala sampai kaki.
"AAAAH! SERANGAN AIR!" teriaknya, berputar-putar seperti kucing yang dimandikan.
Bima dan Juminten hanya bisa terpana. Tukang kebun yang pemilik selang datang dengan marah.
"Pak Kades! Itu selang baru! Itu impor dari kota!"
Pak Kades, basah kuyup, berusaha berunding. "Saya kira itu ular! Ular berbisa! Saya sedang menyelamatkan warga!"
"Ular? Itu selang warna hijau!" geram si tukang kebun.
Sementara itu, Bima yang penasaran mengambil drone barunya. "Saya akan coba pemetaan udara untuk memastikan batas lahannya.
Dia menerbangkan drone. BRRZZZT! Drone itu meluncur... lalu langsung oleng dan mendarat tepat di atas kepala kerbau depresi tadi yang kebetulan lewat. Kerbau itu kaget dan langsung lari terbirit-birit membawa drone yang masih menyala di kepalanya, menerobos sawah dan membuat para petani yang sedang bekerja menjingkat-jingkat ketakutan.
"DRONE SAYA!" teriak Bima.
"KERBAU SAYA!" teriak seorang petani.
"SELANG SAYA!" teriak si tukang kebun.
Pak Kades, yang masih meneteskan air, melihat ini sebagai kesempatan. "Lihat! Teknologi kamu hanya membuat masalah! Kembali ke cara tradisional!" Dia mengambil cangkul dan berjalan ke tengah lahan. "Kita mulai dengan mencangkul di sini!"
Dia mengayunkan cangkulnya dengan gagah. Tapi karena licin oleh air, cangkulnya terlepas dari genggamannya dan terbang tinggi, mendarat di atas atap rumah Juminten yang cukup jauh.
Semua orang terdiam.
Lalu, tawa pecah. Juminten tidak bisa menahan lagi. Dia tertawa terbahak-bahak, suaranya seperti musik di tengah kekonyolan ini. Bima juga ikut tertawa, melihat ironi seorang kepala desa yang basah kuyup, tanpa sepatu, dan sekarang tanpa cangkul.
Pak Kades sendiri awalnya malu, tapi melihat Juminten tertawa, dadanya justru berbunga-bunga. Akhirnya dia tersenyum untukku, pikirnya bodoh.
Akhirnya, setelah kerbau ditangkap dan drone diselamatkan dalam keadaan mengenaskan, selang dibayar ganti rugi oleh Pak Kades, dan cangkul berhasil diambil dari atap, mereka sepakat bahwa lahan pilihan Juminten adalah yang terbaik.
Mereka pulang dengan kelelahan. Pak Kades pulang dengan satu kaki berkaus kaki basah, naik motor sambil membawa cangkul yang sudah bengkok. Bima pulang dengan drone yang hancur dan setumpuk lumpur di mobil barunya. Hanya Juminten yang pulang dengan perasaan senang. Hari ini kacau, tapi dia tidak merasa sendirian.
Dia tidak tahu bahwa Mbak Surti, yang dari kejauhan mengintip semua kejadian itu dengan teropong, sedang merencanakan sesuatu yang lebih kacau lagi.
"Pesta dansa cacing tanah, ya?" geramnya, melihat Bima dan Juminten tertawa bersama. "Kita lihat nanti siapa yang akan menari."
