Sang Ratu Jamu dan Pria-Pria yang Tumbang Bergelimpangan
Pagi di Desa Sriwedari biasanya dimulai dengan ayam berkokok. Tapi pagi ini, kokok ayam tenggelam oleh sebuah suara yang jauh lebih mematikan bagi konsentrasi para lelaki: Tek… Tok… Tek… Tok…
Itu adalah suara sandal jepit kayu yang menghantam jalan setapak yang masih basah oleh embun. Sebuah suara yang bagi telinga yang sudah terlatih, adalah alarm yang menandakan bahwa pertunjukan terbesar di Sriwedari akan segera dimulai.
Dan kemudian, sang bintang utama muncul dari balik kabut tipis, membawa bakul kayu besar yang seharusnya terlihat berat, tapi di pinggangnya yang berlekuk, bakul itu terlihat seperti aksesori fashion belaka.
Juminten.
Jika alam ingin menciptakan sebuah paradoks, dialah hasilnya. Seorang penjual jamu gendong yang penampilannya justru bikin sakit, bukan sembuh. Kebaya katunnya yang ketat dan usang bukan lagi sekedar pakaian; itu adalah sebuah pernyataan. Sebuah pernyataan yang berteriak, "Lihatlah semua lekukan ini! Tapi jangan sentuh, karena gue jualan jamu, bukan jualan harapan!"
Setiap langkahnya adalah sebuah pelajaran fisika tentang hukum pendulum dan gravitasi yang diperjuangkan dengan gagah berani oleh sehelai kain hijau toska. Para fisikawan dari seluruh dunia pasti akan menangis menyaksikannya.
Di sawah, Pak Dek, yang sedang mencangkul, tiba-tiba berhenti. Cangkulnya tertancap di tanah, tapi matanya tertancap pada sesuatu yang jauh lebih memesona.
"Dhe…," bisiknya pada Suto, temannya yang juga sudah lama melupakan bahwa dia seharusnya sedang membajak sawah. "Dhe, liat itu. Itu bukan embun pagi. Itu… aura."
Suto mengangguk pelan, mulutnya terbuka. "Aura… aura diabetes. Manis tapi bikin sakit jantung."
Juminten mendekat. Senyum kecilnya, yang selalu tampak sedikit sedih dan sangat tahu diri, membuat dada Pak Dek berdesir.
"Jamu, Pak?" suaranya seperti aliran sirup yang hangat. "Beras kencur, kunir asem… khusus untuk yang kerjanya berat-berat."
Pak Dek mencoba menjawab. Yang keluar dari mulutnya adalah suara mirip katak yang kesetrum. "Eeek… Glek… Ehm…" Dia akhirnya hanya bisa menggelengkan kepala dengan kencang, seperti orang kesurupan.
Juminten melanjutkan perjalanan, meninggalkan dua petani yang sekarang bingung harus melanjutkan hidupnya sebagai apa, karena menjadi petani tiba-tiba terasa tidak cukup gagah.
Tujuan berikutnya: Warung Kopi Pak RT. Markas besar para pensiunan, pengangguran, dan para lelaki yang pura-pura sibuk.
Kehadiran Juminten di depan warung itu bagaikan melemparkan granat ke dalam kolam ikan. Semua obrolan mati. Kopi yang dituang tumpah karena yang menuang tidak lagi melihat gelas. Rokok yang dijepit di jari terbakar sampai ke filter.
Bapak-bapak itu berusaha keras terlihat cool. Ada yang pura-pura sangat tertarik pada corak kayu di meja. Ada yang mendadak jadi ahli meteorologi dengan memandang langit yang biru. Tapi mata mereka, seperti ditarik oleh kekuatan besi magnetik, selalu kembali ke titik yang sama.
Pak RT, dengan kumisnya yang sudah memutih, berdehem keras. "Juminten! Jamu kunyit asemnya tiga botol! Biar… ehm… biar perut enak." Padahal yang ingin dia bilang adalah 'biar mata enak’.
Juminten membungkuk untuk mengambil botol dari bakul. Itu adalah sebuah momen yang ditunggu-tunggu. Sebuah adegan slow motion dalam kepala setiap lelaki yang hadir. Sebuah ujian kesabaran bagi jahitan kebayanya.
CRACK!
Suara kecil tapi nyaring. Sebuah jahitan di bagian belakang kebayanya, yang sudah lama menderita, akhirnya menyerah pada tekanan.
Semua orang di warung itu tersentak, napas mereka tertahan. Sebuah celah kecil terbuka, memperlihatkan sepetak kecil kulit Juminten yang halus.
Itu adalah puncak dari hari mereka. Bahkan mungkin puncak dari tahun mereka.
Seorang bapak tua yang duduk di sudut, Pak Sardi, tiba-tiba terbatuk-batuk hebat. Kopinya tumpah. Dia terkesima, terpesona, dan… tersedak sepotong gorengan.
"Air! Air!" teriak seseorang.
Tapi semua orang masih terpaku pada Juminten, yang dengan tenangnya berdiri lagi, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak sadar bahwa sebuah tragedi hampir terjadi.
Pak Sardi, wajahnya membiru, akhirnya memukul-mukul dadanya sendiri sampai potongan gorengan itu terlempar keluar dan mendarat di telinga Pak Kades, yang baru saja datang.
Pak Kades, Lurah Sriwedari, adalah seorang pria yang yakin bahwa jabatannya memberinya hak untuk memiliki hal-hal terbaik di desanya. Dan dalam pikirannya, Juminten is the best.
Dia mendekat, mengesampingkan insiden gorengan di telinganya. "Juminten…," gumamnya, matanya menyapu dari ujung kepala sampai ujung kaki Juminten, seperti scanner barang di supermarket. "Kamu kelihatan… semakin sehat."
"Itu berkat jamu sendiri, Pak Kades," jawab Juminten cepat, menawarkan botol. "Satu botol, Pak?"
"Bukan satu," sahut Pak Kades dengan maksud. "Saya ingin semuanya." Dia tidak sedang membicarakan jamu.
Dari balik jendela rumahnya, Mbak Surti menyaksikan pemandangan itu dengan mata yang bisa melelehkan es. Iri adalah motivatornya. Dendam adalah sarapannya.
"Dasar!" desisnya pada Mbak Asih. "Liat itu! Itu bukan jual jamu! Itu jual goyangan! Mendingan dia jualan di tikungan jalan raya saja! Lebih jelas!"
Mbak Asih mengunyah kacang. "Lha, kalau menurutku justru warung kopi itu yang jadi tempat maksiat. Isinya para lelaki hidung belang yang minum kopi tapi yang dilihat susu."
Juminten akhirnya pergi, meninggalkan warung kopi dalam keadaan kacau balau. Pak Sardi masih terengah-engah. Pak Kades masih bermimpi di siang bolong. Dan para lelaki lainnya masih berusaha mengembalikan detak jantungnya ke normal.
Perjalanan Juminten berlanjut. Dia melewati sekelompok tukang bangunan yang sedang memperbaiki jembatan. Begitu melihatnya, ritme palu mereka langsung kacau.
Bang! - Palu mengenai jempol.
Dush!- Seorang tukang jatuh dari tangga karena lengannya.
Krek!- Bukan kayu yang patah, tapi semangat untuk bekerja.
"Jamuaaa…," seru seorang tukang dengan suara merdu, mencoba menirukan Juminten, tapi malah kedengarannya seperti kambing disembelih.
Juminten hanya melambaikan tangan dan melanjutkan langkah, meninggalkan proyek jembatan yang tertunda setidaknya tiga hari.
Akhirnya, setelah semua jamunya habis terjual dan semua lelaki di desa mengalami gangguan irama jantung, Juminten pulang ke rumah kecilnya di ujung desa.
Juminten meletakkan bakulnya dengan erangan lega. Juminten masuk, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia bisa bernapas tanpa merasa seperti ikan di akuarium.
Dia berdiri di depan cermin kecil dan melihat jahitan yang putus di kebayanya. Dia menghela napas. "Ini yang ketiga kalinya bulan ini. Modal untuk jahit lagi, untung jamu sudah laku."
Dia berganti baju menjadi kaos longgar dan sarung. Dia adalah Juminten yang berbeda. Juminten yang tidak membuat orang tersedak gorengan atau jatuh dari tangga.
Dia mengambil buku resep jamu tua peninggalan ibunya. Itu adalah pelindungnya. Pengingat bahwa dia lebih dari sekedar tubuh yang berjalan.
Dia mulai meracik jamu untuk besok. Lesung dan alu menjadi perpanjangan tangannya. Di sinilah dia merasa kuat. Di sinilah dia merasa berarti.
Tapi ketenangannya terganggu oleh suara deru motor yang keras dan berhenti di depan rumahnya. Dia mendengar suara beberapa orang. Dan suara Pak Kades yang teriak-teriak.
"Juminten! Keluar! Ada yang perlu kita bahas! Soal keamanan desa!"
Juminten memejamkan mata. Sepertinya hari ini belum berakhir.
Dia membuka pintu. Pak Kades berdiri di sana dengan dua orang hansip. Wajahnya serius.
"Kami dapat laporan, Juminten," kata Pak Kades, mencoba serius berwibawa. "Ada kegiatan mencurigakan. Peredaran… ehm… peredaran jamu tanpa ijin!"
Juminten mengangkat alis. "Peredaran jamu tanpa ijin, Pak? Saya jual dari rumah ke rumah."
"Tepat!" seru Pak Kades. "Itu namanya door-to-door tanpa permit! Itu bisa jadi kedok untuk hal-hal lain!" Matanya lagi-lagi menyapu tubuh Juminten yang sekarang bersembunyi di balik kaos longgar. "Saya harus menggeledah."
Juminten mendesah. Ini akan menjadi hari yang panjang. Dia melihat lesungnya, berharap bisa menjadikannya senjata.
Tapi tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara mobil. Sebuah mobil yang asing. Sebuah mobil yang tidak biasa melintas di jalan desa yang becek.
Semua orang, termasuk Pak Kades dan hansipnya, menoleh. Sebuah mobil SUV berwarna gelap berhenti di depan pagar. Pintunya terbuka.
Dan seorang lelaki tampan, berpakaian necis, dengan sepatu yang terlalu bersih untuk Sriwedari, turun. Dia melihat sekeliling, lalu menatap kelompok yang sedang berdiri di depan rumah Juminten.
"Permisi," ucap orang itu dengan suara yang halus dan terdidik. "Saya mencari Ibu Juminten."
Pak Kades membeku. Siapa orang kota ini? Rival baru?
Juminten sendiri hanya bisa berdiri di sana, lesung di tangannya, dan kebingungan di kepalanya. Siapa pria ini dan mengapa dia bisa membuat Pak Kades tiba-tiba lupa soal 'penggeledahan'?
Pria itu tersenyum, langsung pada Juminten, mengabaikan Pak Kades sepenuhnya.
"Ibu Juminten? Saya Bima. Saya dari PT. Argawana Phytopharma. Saya membawa kabar dari almarhum suami Anda."
Dunia Juminten berhenti berputar. Suara deru motor, kertakan sepatu boots hansip, dan dengus Pak Kades, semuanya menghilang. Hanya ada kata-kata itu.
Dia tidak tahu bahwa kehidupan sederhananya yang penuh dengan lelaki linglung dan jahitan kebaya yang putus, akan segera berubah selamanya. Dan itu dimulai dengan seorang pria tampan dari kota yang berdiri di depan rumahnya, sementara Kepala Desa-nya melihat dengan mata penuh curiga dan… cemburu.
Bab baru yang kacau-balau dan lucu untuk Sriwedari telah dimulai.