Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kades vs. Orang Kota: Pertarungan Tiada Tara di Beranda

Suasana di depan rumah Juminten mendadak tegang, seperti adegan stand-off di film koboi, hanya saja para korbannya adalah seorang janda penjual jamu, seorang kepala desa yang cemburu, dua orang hansip yang bingung, dan seorang pria kota yang tampaknya tidak menyadari bahwa sepatu loafernya yang mahal sedang tenggelam perlahan-lahan di lumpur.

Pak Kades memandang Bima dari ujung kepala sampai ujung kaki. Matanya menyorot seperti laser yang memindai barang tiruan. "Dari perusahaan farmasi?" gerutnya, tidak percaya. "Lagi-lagi modus orang kota! Paling nanti bawa-bawa investasi, bagi-bagi janji, eh ujung-ujungnya minta bagi hasil yang tidak-tidak!" Dia melirik tajam ke arah Juminten. "Atau minta jaminan yang... berharga."

Bima, yang masih tersenyum sopan, tampak sedikit bingung dengan permusuhan yang langsung ditujukan padanya. "Saya membawa kabar baik, Pak. Tentang penelitian almarhum suami Ibu Juminten."

"Suami Juminten itu guru!" hardik Pak Kades, merasa paling tahu. "Guru olahraga! Bukan profesor tanaman!"

"IPA, Pak Kades," bantah Juminten lembut. "Dia guru IPA." Suaranya hampir tidak terdengar.

"IPA, olahraga, sama saja! Yang penting bisa ngajar!" bantah Pak Kades, yang jelas-jelas tidak mengerti perbedaannya.

Bima menghela napas. Dia mengeluarkan kartu namanya lagi, menyodorkannya ke Pak Kades. Pak Kades mengambilnya dengan curiga, memeriksanya seperti memeriksa uang palsu. Dia bahkan menggosok-gosoknya untuk melihat apakah tintanya luntur.

"PT. Arga... Arga-wana... Faito... Farma..." lafalnya dengan susah payah. "Kelihatan meyakinkan. Tapi saya tetap harus waspada!" Dia melipat kartu itu dan menyimpannya di saku sendiri. "Saya sita dulu untuk penyelidikan."

Bima mengangkat alis. "Itu... kartu nama saya, Pak."

"Justru! Biar tidak dipake untuk menipu orang lain!" sahut Pak Kades dengan logika yang sungguh mengagumkan.

Salah seorang hansip, yang perutnya buncit, berseru, "Betul, Pak Kades! Itu namanya barang bukti!"

Hansip yang satunya, kurus dan berkacamata, menambahkan, "Iya, nanti kita periksa alamatnya. Kalau alamatnya fiktif, bisa ditangkap!"

Bima memandang mereka dengan rasa heran yang mendalam. Dia seperti terjebak dalam sebuah sandiwara absurd. "Bapak-bapak, saya bisa menjelaskan semuanya. Bisa kita masuk? Dan... kaki saya mulai tenggelam." Dia menunjuk sepatunya yang memang sudah separuh terbenam dalam lumpur.

Juminten, yang merasa kasihan dan juga ingin tahu soal kabar suaminya, akhirnya membuka pintu. "Silakan masuk, Mas. Maaf, rumahnya berantakan."

Pak Kades langsung menyambar. "Tentu saja kami masuk! Untuk pengawasan!" Dia mendorong dirinya masuk lebih dulu, diikuti oleh dua hansipnya yang berusaha terlihat garang dengan mengacak-acak senjata pentungannya.

Ruang tamu Juminten kecil dan sederhana. Pak Kades langsung menduduki kursi tunggu yang paling empuk, mengklaimnya sebagai takhtanya. Dua hansipnya berdiri di belakangnya, mencoba mengesankan, meski salah satunya terus menerus menggeser kacamatanya yang melorot.

Bima duduk di bangku kayu yang lebih kecil, menghadap Pak Kades seperti seorang terdakwa. Juminten berdiri di dekat pintu dapur, tidak tahu harus berbuat apa.

"Jadi," mulai Pak Kades, menyatukan jari-jarinya seperti detektif dalam sinetron. "Ceritakan dari awal. Modus operandi kamu seperti apa?"

Bima menarik napas. "Sederhana, Pak. Suami Ibu Juminten, Pak Budi, adalah seorang guru yang sangat mencintai tanaman obat. Dia mengirimkan sampel dan catatan penelitiannya ke perusahaan kami. Kami sangat terkesan. Kami ingin menghormati karyanya dengan mengembangkan sebuah kebun percobaan dan pusat penelitian kecil di sini, dengan Ibu Juminten sebagai ahli utamanya."

Pak Kades mendengus. "Ah, teori! Mana buktinya? Mana suratnya? Mana... proposalnya?" Dia menyebut kata 'proposal' dengan bangga, seperti baru saja mempelajarinya.

Bima membuka tas laptopnya dan mengeluarkan sebuah map berisi dokumen. Dia menyodorkannya ke Pak Kades.

Pak Kades membukanya dengan gagah. Matanya melirik dokumen itu. Ekspresinya berubah. Dokumen itu penuh dengan grafik, tabel, dan istilah-istilah ilmiah seperti 'kandungan kurkuminoid', 'standardisasi ekstrak', dan 'analisis HPLC'.

Wajah Pak Kades perlahan memucat. Dia pura-pura mengangguk-angguk, membalik halaman dengan cepat, berharap menemukan sesuatu yang bisa dimengerti, seperti gambar atau angka yang besar.

"Hmm... ini... ini menarik," gumamnya, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Tapi di sini, di poin 7.3, saya lihat ada kelemahan fundamental!"

Bima tampak terkejut. "Poin 7.3? Itu tentang protokol sterilisasi. Apa kelemahannya, Pak?"

Pak Kades berkeringat. "Ya... sterilisasinya itu... kurang... ehm... steril!"

Bima menahan senyum. "Saya mengerti. Itu akan kita perbaiki."

Salah satu hansip, yang berkacamata, berbisik, "Lihaatt, Pak Kades pinter sekali."

Hansip yang buncit membalas, "Wajar, dia kan lulusan akademi militer." (Padahal Pak Kades cuma lulusan SMP).

Juminten, yang dari tadi diam, tiba-tiba bersuara. "Mas Bima, suami saya... dia memang sering mencatat di buku notesnya. Tapi saya kira itu hanya untuk dirinya sendiri."

Bima menoleh padanya, senyumnya menjadi hangat. "Dia sangat detail, Bu. Bahkan mencatat waktu panen yang tepat untuk setiap tanaman. Dia adalah seorang yang jenius di bidangnya."

Pak Kades cemburu melihat Bima dan Juminten bertukar senyum. "Oke, oke! Cukup! Jadi intinya, kamu mau buka usaha di sini? Itu artinya kamu butuh ijin dari saya! Sangat banyak ijin!"

Bima mengangguk. "Tentu, Pak. Itu sebabnya saya sangat ingin bertemu dengan Anda."

Pak Kades sedikit tersanjung. "Oh... jadi kamu tahu juga ya, bahwa segalanya harus melalui saya." Dadanya membusung. "Nah, untuk ijin pertama, ijin... ijin... penanaman modal asing!"

"Tapi saya orang Indonesia, Pak," bantah Bima lembut.

"Lho, kamu kan dari kota? Itu sama saja asing bagi kami!" bantah Pak Kades dengan logika ngawurnya. "Kamu harus bayar pajak! Pajak... kecemburuan desa!"

Bima benar-benar tidak mengerti. "Pajak apa itu?"

"Itu pajak untuk... untuk... melindungi warga lokal dari pesona orang kota yang bisa mengacaukan pemikiran!" jawab Pak Kades, sambil melirik Juminten.

Perdebatan itu berlangsung selama setengah jam. Pak Kades terus mengada-adakan ijin dan pajak baru, dari 'Ijin Mengganggu Ketenangan' sampai 'Pajak Polusi Visual (karena kamu terlalu tampan)'.

Bima hanya bisa mendengarkan dengan sabar, sesekali membuat argumen balasan yang membuat Pak Kades berkeringat lebih deras.

Akhirnya, Bima mengambil strategi lain. Dari tasnya, dia mengeluarkan sebuah kotak berisi oleh-oleh. Kue-kue tradisional yang mewah dan beberapa bungkus kopi luwak.

"Saya tidak lupa, Pak Kades," katanya, menyodorkan kotak itu. "Ini oleh-oleh kecil-kecilan dari kota. Sebagai tanda terima kasih atas waktu Bapak."

Mata Pak Kades berbinar. Dia membuka kotanya. "Wah! Ini kue sus! Langka ini!" Dia langsung mengambil satu dan memakannya. "Hmm... lezat!" Ujung-ujungnya, dia lupa dengan semua 'pajak' yang dia ada-adakan.

Dua hansipnya juga diberi masing-masing sebungkus kue. Mereka langsung berubah dari algojo menjadi penggemar.

"Wah, terima kasih, Pak Orang Kota!" seru hansip buncit.

"Kapan-kapan main lagi ya, Pak!" tambah hansip berkacamata.

Pak Kades, dengan mulut penuh kue, akhirnya berkata, "Oke! Proposalnya saya baca dulu detailnya. Nanti saya putuskan. Tapi untuk sementara, kamu boleh tinggal! Tapi ingat!" Dia menunjuk Bima dengan telunjuk yang lengket. "Tidak ada kegiatan mencurigakan!"

Pak Kades berdiri untuk pergi, mengangguk pada Juminten. "Juminten, kamu juga. Hati-hati."

Begitu Pak Kades dan rombongannya pergi, suasana menjadi hening. Bima menghela napas lega, seperti baru saja menghadapi badai tropis yang bernama Pak Kades.

Juminten memandanginya. "Maaf, Mas Bima. Pak Kades memang... begitu."

Bima terkekeh. "Tidak apa-apa. Itu pengalaman budaya yang menarik." Dia lalu menatap Juminten lebih serius. "Jadi, Ibu Juminten, apa ibu tertarik dengan ide ini? Ini akan menjadi penghormatan untuk suami ibu."

Juminten melihat sekeliling rumahnya yang sederhana. Dia melihat buku resep jamu ibunya. Dia melihat hidupnya yang datar-datar saja sejak suaminya pergi. Ini adalah kesempatan. Sebuah hal baru.

"Dia... dulu memang sering bercerita ingin membuat jamunya dikenal lebih luas," bisik Juminten, matanya berkaca-kaca. "Saya... saya tertarik."

Bima tersenyum lebar. "Bagus! Kita akan mulai besok. Saya akan survei lahan."

Tapi yang tidak mereka dengar adalah, dari balik jendela, Pak Kades yang ternyata menyelinap kembali untuk menguping, mendengar semuanya. Wajahnya merah padam. Bukan karena marah, tapi karena cemburu.

"Dia tertarik?" gerutunya pada dua hansipnya yang juga ikut menguping. "Dengan orang kota itu? Kita lihat nanti!"

Sementara itu, di seberang jalan, Mbak Surti juga mengintip dari balik tirai nya. Dia melihat Bima tersenyum pada Juminten. Sebuah rencana jahat mulai terbentuk di kepalanya.

"Orang kota kaya, ya?" bisiknya. "Pasti punya banyak uang. Juminten tidak pantas. Saya yang lebih pantas."
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel